Bagaimana pun, Harley-Davidson adalah salah satu brand yang sudah masuk kategori cult-brand, merek yang dikultuskan oleh para pemujanya. Inilah sejatinya brand, ketika para penggemar tak sekadar menjadi konsumen, tapi juga menjelma kaum evangelist fanatiknya. Harley-Davidson sebagai cult-brand bukan sekadar dibesarkan oleh korporasi, tapi juga oleh komunitasnya yang tersebar di seluruh dunia.
Namun dunia berubah. Di masa generasi boomer dan generasi X, Harley-Davidson memang layaknya “agama” yang mereka anut di atas jalan. Sejauh itu Harley-Davidson adalah brand preference bagi mereka. Lalu bumi berputar, dan para boomer serta generasi X pun menua. Lahirlah generasi milenial yang hingga kini bersama generasi Z menguasai pasar. Di mata mereka, Harley-Davidson tak lebih dari sepeda motor tua dengan segala karakter power syndrome ala para kakek dan ayahnya. Para milenial tak perlu brand preference, paradigma mereka adalah brand relevance. Sejauh mana sebuah brand relevan dengan kebutuhan mereka dan lingkungannya.
Harley-Davidson pun, sebagaimana target audiensnya, memasuki fase senja kala. Dan bila tak melakukan terobosan besar untuk meremajakan brand-nya, maka Harley-Davidson akan segera menjadi sekadar nama.
Sasongko Akhe, kontributor Catatankaki yang juga pengamat brand, menuliskan riset pustaka dan analisisnya lewat tema asyik Story Minggu Ini: “Touring Menuju Senja Kala”.
Silakan baca di:
Sobat Catatankaki tercinta, teruslah setia membaca tulisan Catatankaki, karena kami pun akan terus setia menghadirkan catatan mendalam untuk Anda. Seduhlah kopi, rileks dan ambil napas tenang, lalu, selamat membaca.
Asep Herna, Redaksi Catatankaki