27 July 2024
Touring menuju senjakala (Foto: Jan Kopriva, unsplash.com)

Touring menuju senjakala (Foto: Jan Kopriva, unsplash.com)

Bagian 1: Touring Menuju Senja Kala
Tiga kata yang paling sering disematkan pada nama Harley-Davidson (HD) adalah big, loud and heavy. Besar, berisik, dan berat. Ya, memang itulah keadaan sebenarnya dari sebuah sepeda motor Harley-Davidson.

Tongkrongannya sangat besar dan berat, terutama model-model yang dominan warnanya chrome mengilap di kisaran 200-300 kilogram, tergantung tipe. Suara mesinnya begitu membahana, biasanya sudah bisa kita dengar dan kenali dari jarak yang jauh. Suara yang sudah seratus dua puluh tahun memenuhi jalanan ujung-ujung Amerika. Meraung dari New York ke California juga Montana dan Texas.

Namun, semua itu bisa jadi akan berakhir. Mengapa?

Pertama, Persaingan dari Merek Lain

Merek-merek Ducati, BMW, Royal Enfield, Triumph, Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki masuk ke Amerika dan menggempur HD dengan berbagai jurus. Mereka punya tipe cruiser dan touring besar mirip dengan HD. Mereka tidak ragu mengeluarkan motor-motor dengan cc mesin kecil (125-200). Bahkan tipe scooter (skuter) yang dianggap anak bawangnya sepeda motor, sesuatu yang sepertinya haram bagi HD. Tapi bagi konsumen, hal ini justru memperbanyak jenis dan model sehingga memudahkan mereka untuk memilih.

Tunggu dulu! Harley haram bikin skuter? Mari kita lihat ke belakang. Tahun 1961, HD mengeluarkan The Topper. Bentuknya mirip-mirip dengan skuter Vespa keluaran Piaggio. The Topper diproduksi sampai 1965, dan berhenti. Lalu pada 2019 HD mengeluarkan konsep skuter elektrik. Namun ini hanya sampai tahap konsep. Tidak ada tanda/data yang menyatakan model ini sudah diproduksi dan mengaspal dengan resmi. Justru, yang muncul adalah merek Onan. Motor elektrik buatan Cina yang desain dan konsepnya amat sangat mirip dengan konsep HD.   

Jangan pula dilupakan ancaman dari pesaing bebuyutannya, yaitu Indian. Indian adalah saudara setanah air HD, bahkan lebih tua dari HD. Indian lahir pada 1901, sedangkan HD pada 1903. Keduanya merupakan motor resmi militer Amerika di dua perang dunia. Sama-sama motor besar dan modelnya mirip-mirip. HD memang lebih populer, tapi Indian dikenal memiliki kelebihan di bidang inovasi teknologi. Menarik sekali melihat pertempuran head-to-head di antara keduanya.

Kedua, Masalah di Dealer-dealer HD

Sebuah laman Motorcyclepowersportsnews menyebutkan bahwa penyebaran dealer-dealer HD lebih banyak di luar daerah metropolitan. Hal ini justru bertentangan dengan kecenderungan terkini di Amerika yang lebih banyak memilih tinggal di pusat kota.

Kemudian, di kolom-kolom komentar pada unggahan-unggahan tentang dealer HD, banyak calon pelanggan yang menyatakan kecewa karena mereka tidak bisa melakukan test-ride. Lucu sekali memang, bila ada orang yang ingin membeli sebuah motor tidak bisa mencobanya lebih dulu.

Lalu dari sisi biaya, ada banyak tagihan di luar harga motornya sendiri. Misalnya, untuk pengiriman dari pabrik ke dealer, ada prep-fee (jasa menyiapkan dan membereskan motor agar bisa dibawa pulang oleh pembeli). Seperti membersihkan motor, memasang aksesori, test-ride 4-15 kilometer, memasukkan oli, dan lainnya. Ada juga registrasi surat-surat motor. Yang banyak membuat marah pembeli biasanya karena prep-fee-nya bisa gila-gilaan tingginya, seperti yang dilontarkan oleh James Hollywood Macecari dan InfamousCreep di akun YouTube mereka masing-masing.

Ketiga, Mengeruk Cuan dari Cara Pembayaran

Berikutnya adalah masalah cara pembayaran. Dealer pasti akan menawarkan cara kredit bulanan. Dan, proposal kredit yang mereka ajukan selalu untuk jangka waktu selama mungkin. Bisa sampai 84 bulan. Tujuh tahun! Berlaku pula untuk tukar tambah. Jadi motor lama milik pembeli akan “diperiksa” dulu oleh mekanik mereka. Mereka akan mengatakan bahwa kondisinya kurang baik. Ini, itu, ada yang harus diganti dan lain-lain alasan, sehingga motor itu menjadi turun nilainya. Bila harga awal dari pemilik tetap dipakai, mereka akan menaikkan harga motor baru yang ingin ditukar tambah. Ya itu, dengan memperlama masa kreditnya. Juga berbagai cara lainnya. Mereka jago untuk itu. Demikian yang diungkapkan oleh YouTuber Insane Throttle BIKER NEWS.

Baca juga: Harley-Davidson di Ujung Waktu?

Selanjutnya, yang satu ini mungkin hanya soal printilan, tapi bisa jadi signifikan. Dealer adalah surga bagi pencinta aksesori HD. Di sana, selain bisa mengagumi motor-motornya, pembeli bisa cuci mata menikmati berbagai pernak-pernik suvenir D. Kaus, jaket, topi, dompet, sepatu, gelas, kalung, tas, gantungan kunci, botol wiski, pembuka botol, miniatur motor dan apa pun benda yang ada logo HD-nya. Lengkap. Nah, ini juga yang akhirnya menambah kekesalan calon pembeli. Suvenir ditawarkan ke pembeli layaknya sebuah keharusan untuk dibeli. Kalau naik HD, kaus, jaket, topi sampai gantungan kuncinya ya harus ada logo HD-nya. Beberapa komentar di sebuah unggahan akun Fast Lane TV di YouTube secara sinis mengatakan bahwa bisnis aksesori HD ternyata lebih menguntungkan dibanding bisnis motornya sendiri, hehehe…   

Keempat, ini Masalah yang Harus Dipikirkan Serius oleh HD: Milenial!

Seperti yang sudah kita ketahui, milenial adalah generasi yang benar-benar berbeda dengan dua generasi pendahulunya, boomer dan gen-X. Apa yang menjadi gaya hidup boomer dan gen-X bisa jadi hal yang dijauhi bahkan ditentang oleh milenial. Kalau boomer dan gen-X banyak yang suka HD, maka tidak dengan milenial.

Kenapa? Mari kita lihat bagaimana sebenarnya para milenial berperilaku.

Bersambung Ke Bagian 2: Harley-Davidson versus Millennial Insight

(Sasongko Akhe, Kontributor Catatankaki dan Pengamat Brand)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *