23 October 2024
Memastikan kata terbaik. (Ilustrasi: Asep Herna)

Memastikan kata terbaik. (Ilustrasi: Asep Herna)

Oleh Asep Herna, Founder The Writers
Bagi seorang penulis, kata bukan sekadar susunan gramatikal semata. Kata adalah citarasa estetika. Demikianlah, penulis, telah seharusnya, memperhitungkan dengan matang, sekaligus memilih kata terbaik untuk mengekspresikan dirinya.

Anak saya mendapat tugas menulis puisi. Sebelum ia kasih ke gurunya, ia memperlihatkan puisi itu ke saya. Begini petikannya:

𝘒𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘰𝘴𝘰𝘬 𝘬𝘶𝘬𝘶𝘩

𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢

𝘚𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘱𝘪

Puisi ini baik-baik saja. Namun bagi saya, ini momen yang tepat untuk mengajarkan anak saya, agar tidak cepat puas dengan hasil karyanya. Sekalian secara tidak langsung saya ingin membuatnya tahu, tentang bagaimana teknik menciptakan efek estetik pada tulisannya.

Beberapa kali saya ingin mengajarkan anak saya bagaimana cara mengekspresikan perasaannya lewat bahasa, tapi, rupanya, ia tak begitu tertarik. Maka, inilah momen yang paling tepat.

Mengutak-atik Kata

“De, sebetulnya, tanpa mengubah susunan yang kamu buat, setiap kata pada kalimat ‘Kau adalah sosok kukuh’ bisa kamu ganti, lho,” kata saya.

“Maksudnya, Pah?”

Agar anak saya lebih mudah memahami maksud saya, akhirnya, kalimat di atas saya tuliskan di kertas:

Kau adalah (sosok kukuh)

“Tanpa mengubah arti, dan dengan mempertimbangkan bahwa kalimat ini tetap punya makna, coba kamu ganti kata yang ada di dalam kurung ini,” kata saya.

Anak saya mulai tertarik, lalu ia mencari pilihan kata lain untuk menggantikan frasa “sosok kukuh” ini.

“Saya ganti dengan kata ‘ayah’ boleh?”

“Jelas boleh,” tukas saya.

“Kalo dengan ‘matahari’ bisa?”

“Lebih keren dari sebelumnya tuh.”

Makin lama anak saya makin hanyut, terus mencari kata-kata alternatif lain di dalam 1 kalimat itu.

Begini kira-kira rangkaiannya:

Kau adalah 𝘀𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗸𝘂𝗸𝘂𝗵

Kau adalah 𝗮𝘆𝗮𝗵

Kau adalah 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶

Kau adalah 𝘁𝗮𝗻𝗮𝗵

Kau adalah 𝗯𝘂𝗺𝗶

Kau adalah 𝗯𝗮𝘁𝘂 𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴

Anak saya kemudian memutuskan frasa “batu karang” sebagai pengganti kata “kukuh” tadi.

“Sekarang, coba kamu ganti pilihan kata yang mana saja, di dalam kalimat kedua ‘Yang tangguh menahan derita’ ini,” tantang saya.

Lalu anak saya kembali mengutak-atiknya, seperti ini:

Yang tangguh menahan 𝗱𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮

Yang tangguh menahan 𝘀𝗲𝗱𝗶𝗵

Yang tangguh menahan 𝗽𝗲𝗱𝗶𝗵

Yang tangguh menahan 𝗼𝗺𝗯𝗮𝗸

Yang tangguh menahan 𝗱𝗲𝗿𝘂 𝗹𝗮𝘂𝘁

Ia berhenti di pilihan kata “deru laut”, karena ia merasa ada keselarasan makna dengan kata “batu karang” di baris puisi sebelumnya.

“Sebetulnya kata ‘tangguh’ dan ‘menahan’ pun bisa kamu ganti, De. Misal menjadi ‘Yang 𝗴𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗲𝗿𝘂 𝗹𝗮𝘂𝘁’, atau dengan yang lain,” saya menawarkan ide. Namun, ia memutuskan dengan pilihannya. Mungkin karena egonya, yang merasa ingin karyanya otentik buah pikir dia.

“Sekarang, coba yang baris ketiga, De.”

Lalu dengan semangat, kembali ia menggerakkan jari-jarinya, tanpa mikir, hanyut dalam pengembaraan imajinasinya.

Sendiri dalam 𝘀𝗲𝗽𝗶

Sendiri dalam 𝘀𝘂𝗻𝘆𝗶

Sendiri dalam 𝗱𝗼𝗮

Sendiri dalam 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗱𝗶𝗵𝗮𝗻

Sendiri dalam 𝗱𝗶𝗻𝗴𝗶𝗻

Sendiri 𝗱𝗶 𝗯𝗮𝘄𝗮𝗵 𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶𝘁

Sendiri dalam 𝗹𝗮𝗿𝘂𝘁

“Aku pilih kata ‘larut’, Pah,” ujarnya sambil nyengir.

“Kenapa?”

“Karena bunyinya selaras dengan ‘laut’, kata terakhir di baris sebelumnya.”

“Kerennnn!” kata saya memahami alasan dari pilihannya.

Keranjingan

Anak saya betul-betul keranjingan dengan metode permainan pemilihan kata seperti ini. Ia tetap merasa bahwa kreativitasnyalah yang bekerja, dan memang begitu adanya. Saya hanya membuka jalan pikir dan caranya saja.

Hasilnya, jelas terasa lebih metaforik dari tulisan dia sebelumnya.

Coba bandingkan petikan puisi yang sudah dia utak-atik ini, dengan petikan puisi dia sebelumnya seperti yang saya tulis di atas:

𝘒𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨

𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘳𝘶 𝘭𝘢𝘶𝘵

𝘚𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘭𝘢𝘳𝘶𝘵

“Benar-benar beda, Pah. Kok bisa ya?”

“Ya bisa lah. Apa yang papa ajarin tadi, sebetulnya terinspirasi dari teori Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik. Ini pernah dicetuskan salah satunya oleh Ferdinand de Saussure, tokoh linguistik struktural,” kata saya, mulai mengarahkan ke hal yang agak lebih rumit.

“Wah … wah … gimana tuh, Pah?” rupanya anak saya tertarik. Padahal biasanya ia langsung menghindar.

Relasi Sintagmatik

Relasi sintagmatik, kata saya, adalah hubungan logis antarunit bahasa, sehingga bahasa itu dipahami. Misal kalau dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, bagaimana kata “adalah” bisa harmonis dengan kata “kau” dan dengan kata “sosok”. Begitu juga kata “sosok” bisa harmonis baik secara fungsi ataupun maknanya dengan kata “kukuh”.

Kata-kata tersebut bisa diganti dengan pilihan kata apapun, sepanjang kata tersebut memiliki hubungan harmonis dengan kata-kata di sampingnya. Jadi, relasi sintagmatik itu relasi linear, menyamping, dalam sebuah kalimat. “Kaya hidup bertetangga aja, relasi sintagmatis adalah hubungan harmonis antara satu rumah dengan rumah lain di sampingnya. Kalau tidak harmonis, pasti 𝘤𝘩𝘢𝘰𝘴,” kata saya membuat analogi.

Coba kita buat contoh hubungan sebaliknya ya, tidak harmonis. Misal, kata “sosok kukuh” dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, diganti dengan kata “merupakan”. Maka kalimatnya menjadi “Kau adalah merupakan”. Kalimat ini jelas tidak dimengerti, kan? Jadi, betapa penting harmonisme dalam hubungan sintagmatik ini.

“Nah, kenapa tadi kamu merasa asyik banget menggonti-ganti kata di setiap kalimat puisimu, bahkan setiap kata bisa kamu ganti, itu karena secara alamiah, kamu sudah punya sekumpulan kata di luar sana, yang punya hubungan erat dengan kata yang kamu pilih sebelumnya. Kamu bisa menggonta-ganti kata tersebut dengan kata sejenis lainnya. Hubungan erat tersebut dinamakan Relasi Paradigmatik.”

“Wah, menarik nih, Pah?” Tumben, anak saya antusias dengan teori linguistik yang jelimet ini. “Jadi, bedanya relasi paradigmatik dengan relasi sintagmatik tadi apa, Pah?”

“Arah hubungannya,” tukas saya. “Kalau relasi sintagmatik hubungannya ke samping, yaitu hubungan antara satu kata dengan kata di sekelilingnya dalam sebuah struktur kalimat. Sementara relasi paradigmatik sifatnya vertikal, yaitu hubungan kata dengan kata lain di luar struktur kalimat tersebut.”

Anak saya yang masih SMP ini terlihat manggut-manggut, walau jidatnya sedikit mulai berkerut.

Relasi Paradigmatik

Contoh hubungan paradigmatik di puisi kamu, kata “Kau” dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, bisa saja kamu ganti dengan kata “Dia”, “Aku”, “Kita”, “Guru”, “Pak Doni”, “Presiden”, “Abang Becak”, dan ratusan ribu kata lain di luarnya, tanpa mengubah struktur kalimatnya.

Relasi paradigmatik sifatnya bebas, yang penting memiliki kelas serta medan makna yang sama. Namun dalam aplikasinya, dia mesti tertakluk pada relasi sintagmatis. Dia harus harmoni dan berterima dengan kata-kata di sekelilingnya.

Kalimat “𝗗𝗶𝗮 adalah sosok kukuh” ketika diganti menjadi “𝗔𝗸𝘂 adalah sosok kukuh”, secara paradigmatik dan sintagmatik tetap harmoni, walau muncul makna dan rasa yang berbeda. Jika diganti dengan kata “𝗔𝘆𝗮𝗺 adalah sosok yang kukuh”, mungkin secara sintagmatik berterima, tapi dari sisi paradigmatik, tidak, karena “Ayam” tidak memiliki hubungan asosiatif dengan “Dia”.

“Asyik banget ya, Pah. Sebenarnya, relasi paradigmatik dan sintagmatik itu bisa diaplikasikan juga dalam kehidupan real kita ya, bukan cuma sebagai fenomena bahasa saja.”

“Contohnya gimana, De?” kini saya yang mulai terpicu mendengar pemikirannya.

“Ini mirip prinsip ‘the right man in the right place’ ya kalau dalam managemen.”

“Waaah, ini betul banget, De. Papa setuju. Misal suatu saat kamu jadi presiden, terus kamu mau milih Menkominfo. Secara paradigmatik semua orang berhak dipilih. Bisa “Ahli Komunikasi”, “Ahli IT”, “Ahli Kebijakan”, “Wartawan”, “Ahli Managemen”, “Politisi”, “Penjudi”, “Penjahat”, “Pengemis”, 𝘺𝘰𝘶 𝘯𝘢𝘮𝘦 𝘪𝘵. Tapi jangan lupa prinsip sintagmatik tadi. Pilih orang yang tepat mengisinya, dan pas dengan lingkungan kerjanya.”

Anak saya tampak mulai merasa 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 enak mendengar celoteh saya. Tapi ia masih sabar menyimak.

“Kalo misal kamu malah milih “Pengemis” jadi Menkominfo, bisa celaka negara kita, ntar, kan?”

Ayo Berlatih

Aduh, lagi bahas estetika kata kok malah ngelantur. Baiklah, sekarang saya giliran menantang Anda, pembaca semua. Kalau Anda ingin menjajal seperti apa asyiknya mengutak-atik kata seperti di atas, sila ganti kata yang ada di dalam kurung di bawah ini. Buat se-estetik mungkin, menurut versi Anda. Bisa semuanya, bisa sebagiannya saja. Bebas. Silakan 𝘤𝘰𝘱𝘺 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘦 dan tulis ulang di kolom komen. Lalu lihat, Anda akan keget sendiri, karena citarasanya pesti berbeda. Selamat mencoba.

Berikut teksnya:

(Matahari) (menerangi) (bumi)

(Sementara) (aku) (sedang) (menapaki) (jalan)

(Angin) hanya bisa (mendesau)

(Berisik) (di sela) (dedaunan)

*

Bila Anda ingin mendalaminya lebih jauh lagi, silakan ikuti Pelatihan The Writers, 6 Juli 2024 besok. Ada 8 sesi yang siap dipandu oleh saya, Asep Herna, dan Om Budiman Hakim.

Daftar segera via WA di: 0811-8774-466. Atau, informasi detail tentang modulnya silakan klik link ini.

2 thoughts on “Menciptakan Efek Estetik pada Kata

  1. Mantap ilmunya kang Asep. Saya coba ya kang

    Sang Terik mencumbu bumi

    Sementara si Lemah sedang mengusut lorong

    Samirana hanya bisa berisik

    Menggemuruh di sela patera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *