Pinokio, boneka kayu yang mendunia, adalah tokoh protagonis dari novel fantasi anak-anak yang terkenal: The Adventures of Pinocchio. Buku ini ditulis oleh Carlo Lorenzini alias Carlo Collodi, jurnalis sekaligus penulis yang lahir dan tinggal di Florence, Italia, antara tahun 1800-1900.
Cerita Pinokio awalnya diterbitkan bersambung, berjudul The Story of a Puppet, yang dimuat di The Giornale per I bambini, salah satu majalah mingguan anak-anak Italia, mulai 7 Juli 1881. Awalnya, cerita berhenti setelah delapan episode (diterbitkan selama empat bulan) di Bab 15, dengan ending kematian Pinokio karena digantung oleh musuh bebuyutannya! Namun para pembaca cerbung ini marah dan mengirimkan ribuan surat protes ke surat kabar tersebut. Karena banyaknya permintaan, episode-episode tersebut dilanjutkan pada 16 Februari 1882 hingga bab ke-36. Tahun berikutnya, 1883, cerita tersebut diterbitkan dalam bentuk buku.
Saat ini The Adventures of Pinocchio telah diterjemahkan ke lebih dari 240 bahasa berbeda dan diterbitkan di seluruh dunia. Ini adalah buku kedua yang konon paling banyak diterjemahkan dalam literatur dunia. The Adventures of Pinocchio juga sudah diadaptasi dalam film, dari film bisu Lost and Found (1911) karya Giulio Antamoro, versi animasi ikonik Walt Disney tahun 1940, versi live-action Robert Zemeckis tahun 2022 untuk Disney, hingga animasi stop-motion gelap Guillermo del Toro tahun 2022 yang telah lama ditunggu-tunggu untuk Netflix. Sejumlah film lain adalah Pinocchio (1940), The Adventures of Buratino (1959), The Adventures of Pinocchio (1972), The Adventures of Pinocchio (1976–1977), The Adventures of Pinocchio (1996) dan sekuelnya pada 1999, Pinocchio (2012), serta Pinocchio (2019).
Tapi, siapa sangka, di balik banyak versi kisah filmnya yang “khas untuk anak-anak”, Pinokio yang semula bandel, suka berbohong, lalu menjadi anak yang baik, dalam versi asli The Adventures of Pinocchio ternyata banyak tersisip cerita suram yang dipenuhi dengan kekerasan, kelaparan, ataupun penyakit. Sejumlah cerita bahkan menjadi pro-kontra apakah kisah Pinokio sebenarnya patut untuk konsumsi anak-anak.
Roberta Eaton Cheadle, seorang penulis dan penyair Afrika Selatan yang banyak menulis dan mengulas novel serta cerita pendek sejarah, paranormal, dan horor, mengungkapkan secara singkat sisi muram kisah asli Pinokio itu.
Alur Cerita
Roberta menuturkan alur cerita The Adventures of Pinocchio. Di Tuscany, Italia, seorang tukang kayu bernama Master Antonio menemukan balok kayu yang akan segera ia ukir menjadi kaki meja. Tapi balok kayu itu menjerit saat ia memotongnya. Antonio jatuh ke lantai karena terkejut dan tepat pada saat itu tetangganya yang sangat miskin, Geppetto, mengetuk pintu. Potongan kayu itu memicu pertengkaran di antara keduanya. Akibat perkelahian itu, Antonio mengalami dua goresan di hidungnya. Geppetto kehilangan dua kancing mantelnya. Setelah menyelesaikan masalah, mereka berjabat tangan dan bersumpah akan menjadi teman yang baik selama sisa hidup mereka.
Kemudian Geppetto mengambil potongan kayu yang bagus itu, mengucapkan terima kasih kepada Antonio, dan berjalan tertatih-tatih menuju rumah. Begitu Geppetto mulai mengukir kayu itu, yang kemudian dinamai Pinokio, sudah terlihat bahwa boneka ciptaannya itu tidak memiliki karakter yang baik.
Saat hendak memberikan sentuhan terakhir pada ujung-ujung jari Pinokio, Geppetto merasakan rambut palsunya ditarik. Ia mendongak dan apa yang dilihatnya? Rambut palsu kuningnya sudah ada di tangan Pinokio. “Pinokio, berikan rambut palsuku!” ujar Geppetto.
Baca Juga: 30 Alasan Mengapa Orang Berbohong
Namun alih-alih mengembalikannya, Pinokio menaruhnya di kepalanya sendiri, yang setengahnya tertelan oleh rambut palsu itu.
Atas tipu daya yang tak terduga itu, Geppetto menjadi sangat sedih dan murung, lebih dari sebelumnya. “Pinokio, anak nakal!” teriaknya. “Kau belum selesai, dan kau mulai bersikap kurang ajar kepada ayahmu yang malang. Buruk sekali, anakku, buruk sekali!”
Dan ia menyeka air matanya.
Kaki dan telapak kaki Pinokio masih harus dibuat. Begitu selesai, Geppetto merasakan tendangan keras di ujung hidungnya.
“Aku pantas mendapatkannya!” katanya pada dirinya sendiri. “Aku seharusnya memikirkan ini sebelum aku membuatnya. Sekarang sudah terlambat!”
Geppetto tetap mengajari Pinokio cara berjalan, dan Pinokio langsung kabur. Boneka yang tidak tahu terima kasih itu ditangkap oleh petugas penegak hukum yang bertindak atas dasar keyakinan keliru bahwa Geppetto telah menganiaya boneka itu. Aparat lantas menangkap Geppetto dan memenjarakannya.
Pinokio kembali ke rumah kosong dan bertemu jangkrik yang bisa bicara, yang memperingatkannya tentang bahaya ketidakpatuhan. Sebagai balasan, Pinokio melemparkan palu ke jangkrik dan secara tidak sengaja membunuhnya.
Setelah mencoba mencari makanan, tapi gagal, boneka itu pun tidur di atas tungku. Ketika ia bangun, kakinya telah terbakar. Beruntung bagi Pinokio, Geppetto dibebaskan dari penjara dan kembali ke rumah. Ia membuatkan kaki baru untuk Pinokio. Karena rasa terima kasihnya yang tak kunjung pudar, Pinokio setuju untuk bersekolah dan Geppetto menjual satu-satunya mantelnya untuk membelikannya buku pelajaran.
Pinokio tidak pernah masuk sekolah pada hari pertama dan ketidakpatuhannya itu membuatnya mendapat masalah besar. Ia nyaris dijadikan kayu bakar untuk memasak makan malam seorang dalang yang lapar. Lalu, seorang nelayan melapisinya dengan tepung dan mencoba menggorengnya. Sebagai hukuman karena menolak belajar, Pinokio diubah menjadi seekor keledai dan dibuang ke laut.
Petualangannya yang paling buruk adalah ketika Pinokio digantung di pohon oleh musuh bebuyutannya, Rubah dan Kucing. Semula, para musuh Pinokio itu hendak mencabik-cabiknya. Beruntung, Pinokio terbuat dari kayu yang sangat keras dan pisau-pisau musuhnya pecah menjadi ribuan keping. Mereka saling memandang dengan cemas, memegang gagang pisau di tangan mereka.
“Saya mengerti,” kata salah satu dari mereka kepada yang lain, “tidak ada yang tersisa untuk dilakukan sekarang selain menggantungnya.”
“Menggantungnya,” ulang yang lain.
Mereka mengikat tangan Pinokio di belakang bahunya dan menyelipkan jerat di lehernya. Melemparkan tali ke dahan pohon ek raksasa yang tinggi, mereka menarik sampai boneka marionette—salah satu jenis boneka yang dikendalikan dari atas dengan menggunakan kabel atau tali—yang malang itu tergantung jauh di angkasa.
Puas dengan pekerjaan mereka, para musuh itu duduk di rumput menunggu Pinokio mengembuskan napas terakhirnya. Namun setelah tiga jam mata Pinokio masih terbuka. Mulutnya masih tertutup dan kakinya menendang lebih keras dari sebelumnya.
Lelah menunggu, para musuhnya memanggilnya dengan nada mengejek: “Selamat tinggal sampai besok. Ketika kami kembali di pagi hari, kami harap kamu cukup sopan untuk membiarkan kami menemukanmu mati dan pergi dengan mulut terbuka lebar.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka pergi.
Beberapa menit berlalu, angin kencang mulai bertiup. Saat angin menjerit dan mengerang, Pinokio tertiup ke sana-kemari seperti palu lonceng. Goyangannya membuatnya mabuk laut dan jerat itu mencekiknya. Sedikit demi sedikit, matanya tertutup.
Kematian semakin dekat dan dekat, dan boneka itu masih berharap ada jiwa baik yang datang menyelamatkannya. Tapi tidak seorang pun muncul. Saat hampir mati, ia teringat ayahnya yang malang. Ia pun bergumam pada dirinya sendiri: “Oh, Ayah, Ayah terkasih! Kalau saja Ayah ada di sini!”
Itulah kata-kata terakhirnya. Ia memejamkan mata, membuka mulut, meluruskan kaki, dan tergantung di sana, seolah-olah ia telah mati.
(Di titik inilah Collodi mengakhiri seri majalah Pinokio aslinya. Hanya karena permintaan dan protes dari para pembacanya, Collodi lantas menghidupkan kembali tokoh boneka pahlawannya).
Selanjutnya, kisah Pinokio kemudian melanjutkan rangkaian kejadian suramnya hingga akhirnya ia belajar untuk tidak lari dari tanggung jawab dan “menjadi anak kecil yang baik”. Pinokio, misalnya, tetap menjadi pemalas dan mengeluh karena pekerjaan membuatnya lelah. Pinokio yang malang meringkuk dekat rumah anjing, lebih seperti orang mati daripada hidup karena kedinginan, kelaparan, dan ketakutan. Sesekali ia menarik dan menyentak kerahnya yang hampir mencekiknya dan berteriak dengan suara lemah: “Aku pantas mendapatkannya! Ya, aku pantas mendapatkannya! Aku tidak lebih dari seorang pembolos dan gelandangan. Aku tidak pernah menuruti siapa pun dan aku selalu melakukan apa yang aku suka. Kalau saja aku seperti banyak orang lain dan telah belajar dan bekerja dan tinggal bersama ayahku yang malang, aku tidak akan menemukan diriku di sini sekarang, di ladang ini dan dalam kegelapan, menggantikan posisi anjing penjaga petani. Oh, kalau saja aku bisa memulai dari awal lagi! Tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat dibatalkan, dan aku harus bersabar!”
Terpengaruh Masa Kecil Sang Penulis?
Dari sebagian narasi di atas, jelas Pinokio adalah kisah yang gelap, yang dipenuhi dengan kekerasan, kelaparan, dan penyakit. Untuk memahami bagaimana kisah ini muncul, sebuah artikel di Metro.co.uk mengulik sekilas masa kecil penulis. Rumah tempat Carlo Collodi lahir—menurut Metro, Collodi lahir di Florence pada sekitar 1826—berada di jalan perumahan yang panjang dan sempit, yang tidak memungkinkan masuknya sinar matahari. Collodi adalah anak tertua dari sepuluh bersaudara dan, untuk meringankan beban orang tuanya, ia dikirim ke sebuah desa bersama keluarga ibunya selama sebagian besar masa kecilnya. Selama ia pergi, keluarganya mengalami serangkaian tragedi. Enam dari sembilan saudara kandungnya meninggal sebelum mencapai usia dewasa. Beberapa orang meninggal saat masih bayi, sedangkan yang lain hidup cukup lama untuk menjadi bagian dari keluarga yang mapan, tapi meninggal kemudian saat masih kanak-kanak. Aspek latar belakang keluarga Collodi ini pun lantas dikait-kaitkan dengan tema kemuraman hidup yang sangat menonjol sepanjang cerita The Adventures of Pinocchio…
(S. Maduprojo, bahan rujukan Writingtoberead.com, Metro.co.uk, serta bahan lainnya)