Nama Haji Ali Akbar Navis bisa jadi hanya melintas sekilas di antara pelajaran sastra dan bahasa Indonesia di sekolah. A.A. Navis—begitu namanya dikenal—merupakan salah satu sastrawan beraliran realisme yang tergolong angkatan 1950-an. Namanya mungkin “kalah populer” dibanding sastrawan ternama lainnya, seperti Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, N.H. Dini, Budi Darma, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, W.S. Rendra, Ajip Rosidi, ataupun Subagio Sastrowardoyo. Namun Navis adalah salah seorang sastrawan terkemuka yang dimiliki Indonesia. Dia lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Padang, Sumatera Barat, pada 17 November 1924. Bukan hanya dikenal sebagai penulis/jurnalis dan seniman—Navis juga pelukis—sebagian hidupnya dihabiskan di dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dari Cerpen hingga Tulisan Esai
Karya-karya cerita pendeknya dikumpulkan dalam sejumlah antologi, seperti Robohnya Surau Kami (1956), Bianglala (1963), Bertanya Kerbau pada Pedati (1963)—ini merupakan judul kumpulan cerpen cetakan ketiga Bianglala—Hujan Panas (1964), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)—judul untuk cetakan kedua Hujan Panas—Jodoh (1999), dan Kabut Negeri Si Dali (2001). Sedangkan karya novelnya yang telah dibukukan adalah Kemarau (1967), Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi (1970), dan Gerhana (2004). Adapun buku puisinya berjudul Dermaga dengan Empat Sekoci (1975) dan Dermaga Lima Sekoci (2000). Tak hanya menulis karya sastra, Navis juga menuangkan pikirannya dalam sejumlah esai atau tulisan ilmiah seperti Dialektika Minangkabau (1983), Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984), Surat dan Kenangan Haji (1994), Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996), dan Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999).
Hari Lahirnya Menjadi Perayaan Internasional
Pada Minggu, 17 November 2024, sejumlah pihak menggelar perayaan 100 tahun lahirnya A.A. Navis. Edisi Minggu Tempo, misalnya, mengulas berbagai perayaan 100 tahun Navis di sejumlah tempat. Termasuk penghormatan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Paerserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) berupa acara peringatan 100 tahun A.A. Navis di Paris, Prancis. Dalam acara tersebut, antara lain, dilangsungkan sejumlah diskusi tentang karya-karya Navis. Sejumlah pembicara, seperti Direktur Jenderal Kebudayaan RI Hilmar Farid, sastrawan Ayu Utami, dan Direktur Penelitian Sciences Po Paris Romain Bertrand, sepakat bahwa karya-karya Navis yang penuh dengan satire/kritik dan sosial-religi menandakan kepekaan, kejelian, dan kejernihan berpikir Navis dalam memandang persoalan-persoalan di sekitarnya, baik lokal, nasional, maupun global. Pada 2022, UNESCO memang sudah menetapkan hari kelahiran Navis—bersama pejuang Aceh Keumalahayati—sebagai perayaan internasional.
Robohnya Surau Kami
Salah satu karya fenomenal Navis adalah cerpen Robohnya Surau Kami. Cerpen ini memperoleh hadiah sastra majalah Kisah pada 1955 dan SEA Write Award 1992. Robohnya Surau Kami memang pertama kali terbit di majalah Kisah pada 1955 sebelum dibukukan dalam antalogi pada 1956. Cerpen ini dibuka dengan cerita sebuah surau yang kondisinya memprihatinkan. Bangunannya hampir roboh. Bentuknya tak keruan, menjadi tempat bermain anak, dan dinding-dinding kayunya banyak yang hilang karena dicopoti ibu-ibu kampung untuk bahan kayu bakar. Penyebabnya adalah surau itu sudah ditinggalkan penjaganya, kakek, yang meninggal bunuh diri dan orang-orang kampung yang sudah tidak peduli menjaga surau tersebut sepeninggal kakek.
Sebelumnya, sang kakek penjaga surau hidupnya bergantung pada sedekah dan bantuan warga sekitar. Agar tak melulu hanya menerima bantuan, ia pun menjadi pengasah pisau dan memelihara ikan di depan surau. Si kakek ini yakin bahwa kehidupan duniawi (materi) tidaklah begitu penting. Karena itu, ia tidak mengurusi keluarganya dan berfokus mengabdi di surau. Bagi dia, kehidupan di akhiratlah nantinya yang utama.
Suatu saat, datanglah Ajo Sidi, yang dikenal sebagai pembual desa. Kebiasaan Ajo Sidi adalah menceritakan kisah yang sifatnya menghina orang yang sedang diajak bicara. Dia pandai bercerita tentang sesuatu yang seperti menyindir lawan bicaranya. Dalam pembicaraan dengan kakek tersebut, Ajo Sidi bercerita tentang Haji Saleh, seorang alim yang selama hidupnya ia habiskan untuk beribadah, tapi akhirnya masuk neraka juga.
Singkat kisah, kakek marah atas cerita Ajo Sidi. Ia juga berubah menjadi pemurung dan terus memikirkan obrolannya dengan Ajo Sidi. Pembawa cerita menemui kakek yang sedang mengasah pisau, yang dalam obrolan itu, kakek marah serta tersinggung kepada Ajo Sidi dan berniat menggorok lehernya. Kakek itu pun mencari-cari Ajo Sidi, tapi tidak bisa menemuinya.
Tak lama, warga desa heboh karena kakek didapati meninggal secara mengerikan di surau. Ia menggorok lehernya sendiri. Sang pembawa cerita dengan sigap segera menemui Ajo Sidi karena yakin akibat ulah sang pembual itulah yang membuat kakek bunuh diri. Namun ia gagal menemui Ajo Sidi karena sudah pergi bekerja. Ia hanya bertemu dengan istri Ajo Sidi yang mengatakan bahwa suaminya sudah tahu kakek meninggal dan titip pesan untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk kakek.
Baca Juga: Dari Mana Kata ‘Cerpenis’?
Kepekaan dan kekritisan Navis dalam cerpen ini ditunjukkan dalam bagian tanya-jawab antara Tuhan dan Haji Saleh ketika rombongan Haji Saleh memprotes Tuhan yang telah menjebloskan mereka ke neraka. Dalam obrolan tersebut, terselip sindiran-sindiran tentang negeri Indonesia dan alasan Tuhan membelokkan mereka ke neraka.
“Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?” (Tuhan)
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.” (Haji Saleh dan rombongan)
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak negeri lain?”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”…
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Begitulah Tuhan menceramahi Haji Saleh dan orang alim lainnya yang memprotes keputusan-Nya. Kondisi yang dibicarakan Tuhan dan Haji Saleh tersebut tentu masih relevan dengan keadaan Indonesia sekarang.
Cerpen Kontroversial
Dalam pengantar buku Bertanya Kerbau pada Pedati (2004), A.A. Navis mengungkap bahwa cerpen Robohnya Surau Kami menimbulkan kontroversi pada awal penerbitannya. Juga cerpen Man Rabbuka. Robohnya Surau Kami bahkan pernah diangkat ke sebuah simposium di Malang, Jawa Timur, karena ada masyarakat yang terusik. Setelah terjadi perdebatan panjang, kata Navis, cerpen itu akhirnya bisa diterima. Robohnya Surau Kami juga mendapat pujian setelah menjadi tema skripsi sastrawan Bahrum Rangkuti dan dimuat di majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka pada 1963. Sementara itu, setelah dimuat majalah Siasat pada 1957, cerpen Man Rabbuka dianggap tidak ada setelah diprotes pemuka agama.
Namun, menurut Navis, mengutip pertanyaan Bre Redana kepadanya, “Apakah Robohnya Surau Kami akan ‘aman’ kalau diterbitkan di era sekarang?”, Navis menjawab ada berbagai kemungkinan. Tergantung kondisi dan situasi sampai di mana bangsa ini bisa bebas berkarya dan bersedia menerima polemik serta perbedaan pendapat. Navis menyinggung terkuburnya cerpen Langit Makin Mendung yang dimuat majalah Sastra pada 1970. Kantor majalah Sastra dirusak publik. H.B. Jassin, pemimpin redaksi majalah Sastra, masuk bui. Juga nasib buku Isa di Venus yang ditulis Nazwar Sjamsu pada 1972. Jaksa tinggi Sumatera Barat menyita dan melarang buku tersebut atas permintaan Majelis Ulama Indonesia. Tapi, di Sumatera Barat, kata Navis, buku itu bisa beredar. Menariknya, Navis mengutip ucapan Ketua MUI, “Kalau tidak suka isi buku itu, tulis buku yang membantahnya. Islam tidak melarang ijtihad, malah menganjurkannya.”
Apa yang dirindukan Navis, yakni iklim yang kondusif dan kebebasan berkarya serta kebebasan menyatakan pendapat, tentu masih menjadi PR buat bangsa ini…
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)