Kakak Joe (Foto: Freepik)

Cerpen S. Maduprojo

”Dunia sudah habis! Dunia sudah habis!!! Habisssssss!!!! Gelappp!! Malappp!!!”

Kembali Kakak Joe berteriak-teriak seperti biasanya di depan teras rumah. Namanya Joeliari Soedarjo. Dari kecil aku memanggilnya Kakak Joe, seperti kebiasaan Bapak dan Ibu memanggil kami “kakak” dan “adik”. Kalau sudah seperti itu, aku yang dibikin repot. Aku mesti membujuknya untuk tenang dan masuk ke dalam rumah. Dulu, aku juga yang harus sowan ke tetangga kanan-kiri untuk meminta maaf. Tapi, lama-kelamaan, mereka sudah mafhum akan kelakuan kakakku. Untungnya, Kakak Joe tidak pernah berulah lebih dari itu.

Seperti yang sudah-sudah, aku membawanya masuk ke kamarnya, sembari bicara kepadanya, “Ya, Kak, dunia sudah habis, dunia sudah habis. Yuk, masuk. Minum obat dulu, ya….”

#

Hari ini, sekitar tiga tahun lebih sejak wabah virus corona dikabarkan masuk pertama kali ke Indonesia. Saat itu, awal Maret 2020, Indonesia pertama kali mengkonfirmasi kasus Covid-19. Ada dua warga Indonesia yang diyatakan positif terjangkit virus corona, sebelum akhirnya wabah ini meneror warga Tanah Air dan dunia.Disertai pro-kontra soal penanganan wabah di Indonesia kala itu, bak melodrama, sejatinya sejak itulah kehidupan keluarga kami berubah.

Satu per satu, kami kehilangan orang-orang terdekat. Juga pekerjaan dan tempat usaha. Bagi kami, wabah ini seperti bah yang datang merusak tiba-tiba dan tak terduga. Usaha warung bakmi yang dikelola Bapak dan Ibu pun akhirnya tutup. Pembatasan dilakukan di mana-mana. Orang-orang kehilangan pekerjaan. Anak-anak pun harus bersekolah di rumah. Dunia seperti terbalik. Perekonomian kami pun tak luput dari keterpurukan. Morat-marit, lumpuh. Satu per satu aset yang dimiliki Bapak dilego demi menutupi kebutuhan sehari-hari. Bapak pun berjualan bakmi menggunakan gerobak di depan teras rumah. Meski penghasilannya tak sebanyak dulu, hasil berjualan di rumah itu cukup membantu. Untungnya aku juga masih bisa bekerja dari rumah meski pendapatan dipotong separuhnya. Juga, karena aku masih membujang. Jadi gajiku bisa disisihkan sebagian untuk menutupi biaya listrik rumah dan lain-lain. Aku dua bersaudara. Kakakku, Joe, sudah berumah tangga dan baru mempunyai 1 anak. Sejak pandemi ini pula, aku dengar Kakak Joe juga sedang kesusahan. Perusahaan tempat dia bekerja kolaps, dan dia terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK. Tak lama, dia dan keluarganya diminta Bapak tinggal bersama. “Daripada ngontrak,” kata Bapak saat itu. Toh, rumah kami juga cukup lega untuk ditinggali bersama. Sembari menjadi penulis freelance—Kakak Joe sebelumnya menjadi jurnalis seni-budaya di sebuah penerbitan—Kak Joe akhirnya menjadi pengemudi ojek online. Lumayan, untuk menyambung hidup, katanya. Sesekali, dia masih mengais rezeki dengan mencari obyekan lain. Dia memang terkenal gigih sejak remaja.

Beratnya beban ekonomi sebenarnya masih bisa kami atasi. Intinya, makan, mah, masih bisa. Tapi, cobaan yang lebih berat mesti kami alami. Ketika corona merajalela, kami adalah bagian dari malapetaka itu. Entah ketularan dari mana, Bapak, Ibu, Kakak Joe, istrinya, anaknya yang saat itu berusia 10 tahunan, dan aku terjangkit virus jahanam ini. Selama tiga hari, kami merasakan demam tinggi. Kami sudah pergi ke klinik, dan disarankan melakukan tes antigen. Hal yang kami takutkan itu pun terjadi. Setelah melakukan tes antigen, kami sekeluarga dinyatakan positif Covid-19.

Saat itu semua serba krodit. Di wilayahku zona merah. Banyak warga yang terkena Covid-19. Orang seperti cari selamat sendiri-sendiri. Rumah sakit penuh sesak. Orang-orang juga takut pergi ke rumah sakit. Yang ada, akhirnya kami melakukan isolasi mandiri. Kami menuruti saran sejumlah orang untuk mencoba menyembuhkan diri sendiri, dengan beristirahat, berjemur, dan mengkonsumsi sejumlah vitamin.

Bantuan para tetangga dan pengurus RT juga tak banyak. Ada memang satu-dua tetangga yang masih berbaik hati memberi perhatian dengan mengirimi makanan dan vitamin. Tapi setelah itu kami harus berupaya sendiri. Bantuan sanak-keluarga juga tak berlangsung lama. Atau, bisa jadi mereka enggan merapat karena takut tertular.

Dari hari ke hari, kondisi kami semakin mengkhawatirkan, hingga akhirnya bantuan dari Satgas Penanganan Covid-19 datang. Entah siapa yang melapor ke mereka. Belakangan, saya mendengar kabar sejumlah kader RT dan tetangga berhasil mendatangkan petugas Satgas untuk mengevakuasi kami. Namun, yang terjadi memang di luar kemampuan kami. Nyawa Bapak, Ibu, istri Kak Joe, dan anaknya tak tertolong. Saat itu ruang instalasi gawat darurat di sejumlah rumah sakit penuh. Kegaduhan dan kepanikan ada di koridor-koridor dan ruangan rumah sakit. Entah kenapa pula, aku dan Kak Joe berhasil bertahan, dan terselamatkan setelah beberapa hari dirawat di ruang isolasi. Setelah dirawat hampir dua minggu, kami pun dinyatakan sembuh. Tapi sesungguhnya hati kami berdua sudah goyah dan terluka.

Kematian Bapak, Ibu, serta istri dan anak Kak Joe jelas memukul kami. Apalagi saat itu kami tidak bisa mendampingi mereka untuk terakhir kalinya karena mereka dimakamkan secara protokol kesehatan di sebuah tempat pemakaman umum khusus korban Covid dan kami masih dalam ruang perawatan. Kami hanya bisa melihat mereka secara daring lewat panggilan video telepon seluler. Hati kami campur-aduk saat itu.   

Terutama Kak Joe, ada sesuatu yang aku lihat berubah dan berbeda sejak kematian istri dan anaknya. Raut mukanya kusam, penampilannya kumal, dan hidupnya seperti tak bergairah. Dia kini menjadi irit bicara. Sering tidur, melamun, jarang makan, apalagi mandi. Aku tentu saja khawatir atas kondisinya saat itu. Aku berupaya terus mengajaknya mengobrol, atau sekadar memancingnya bercanda. Tapi semua upaya itu seperti sia-sia. Aku juga membujuknya berobat ke psikiater untuk menenangkan pikirannya. Satu-dua kali berobat dia masih mau, sebelum akhirnya dia menolak untuk berobat. Belakangan, aku hanya menebus semacam obat penenang yang sebelumnya diresepkan dokter.

Seiring dengan berjalannya waktu, wabah corona mereda. Virus yang telah merenggut ribuan nyawa di Indonesia dan jutaan orang di seluruh dunia itu lama-lama tak lagi ganas. Entah karena vaksinasi atau semakin melemahnya virus itu. Meski tak benar-benar hilang, daya serangnya tidak lagi sejahat sebelumnya. Kehidupan pun mulai bergerak. Orang-orang pun mulai bisa beraktivitas seperti sediakala, meski tetap dibatasi dan dianjurkan mematuhi protokol kesehatan. Tapi, tidak dengan Kak Joe.

Alih-alih membaik, kelakuan Kak Joe malah semakin parah. Kali ini dia sering ngedumel dan mengomel. Dia seperti tetap tidak bisa menerima apa yang telah menimpa keluarganya. Kali ini aku tak lagi melihat aura kegigihannya seperti dulu. Rasa sayangnya kepada keluarganya sampai dibawanya seperti ini. “Dunia sudah habis! Gelap! Adinda…Anakda… bawa aku dalam senyap! Ha-ha-ha-ha…,” dia berseloroh. Kak Joe agak tenang setelah obat penenang aku minumkan lewat secangkir kopi ataupun teh manis.

Praktis, hampir setiap hari aku menjaga Kak Joe. Siapa lagi? Bukan tak pernah dia kubawa ke rumah sakit jiwa. Pernah dirawat di RSJ Grogol beberapa bulan, terlihat sembuh, tapi setelah itu dia kumat lagi. Ah, sudahlah, memang sudah nasib. Biaya untuk pengobatan di RSG juga tidak kecil. Yang penting, dia tidak membahayakan diriku dan orang lain. Ya, Kak Joe hanya sering termenung dan sesekali bicara lantang dengan kalimat-kalimat khasnya tadi. Itu saja. Dia tidak pernah mengamuk dan selalu menurut apa yang aku perintahkan. Untungnya juga perusahaan tempat aku bekerja masih memberiku kesempatan untuk bekerja dari rumah setelah aku melakukan negosiasi dan menceritakan kondisi Kak Joe. Hanya, sesekali aku datang ke kantor, dan meninggalkan Kak Joe dengan menguncinya. Semua seperti dimudahkan. Tapi, entahlah nanti setelah aku menikah.

#

Dinihari itu,di antara temaram lampu, selintas aku melihat bayangan Kak Joe berjingkat keluar dari kamarnya. Di antara rasa sadar-tak sadar setelah aku terlelap, aku sempat melihatnya celingak-celinguk, seperti memperhatikan sesuatu. Ah, aku tak kuasa untuk menangkal rasa kantuk ini agar bisa mengetahui apa yang dilakukannya pada pagi buta seperti ini. Mustahil memang terus menjaganya sepanjang waktu. Apalagi hari ini aku cukup lelah karena pekerjaan tadi siang menumpuk. Maka, aku biarkan saja dia. Mungkin dia hanya ingin ke belakang dan tidak mau mengganggu tidurku. Begitu pikirku. Toh, seharian tadi dia tak banyak merepotkanku; malah tidak merepotkan. Dia begitu gampangnya meminum obat penenang yang biasanya aku larutkan di air teh manis atau kopinya. Makan pun dia lahap. Penampilannya juga bersih, karena dia mau mandi dan tak banyak bergerak seperti biasanya. Celotehannya hari ini juga terdengar lirih, tidak meledak-ledak seperti biasanya. “Dunia sudah habis. Tercerabut dari akarnya…. Sudah tak sanggup menahan luka. Kini aku tinggallah senja. Gelappp…Malappp… Anakda, Adinda. Kita akan bersua….” Ah, masih saja dia bisa mencipta dan mengingat kalimat-kalimat puitis kegemarannya dulu itu. Ya, meski sudah “soak”, masku yang satu ini masih sanggup menulis dan merangkai kalimat-kalimat puitis.

Kenanganku dinihari itu tentang perilaku Kak Joe hari ini seperti menambah lelap tidurku. Aku sudah tak sadarkan diri lagi. Aku pun tak menduga akan kejadian beberapa jam kemudian di rumah ini.

#

Ya, bagiku, saat ini dunia benar-benar sudah habis. Aku terngiang akan kata-kata yang sering dicelotehkan Kakak Joe itu. Juga kalimat-kalimat puitisnya kemarin siang. Gelap, malap, dan tak sanggup menahan luka. Kini aku menjadi sebatang kara, lemah, goyah, dan seperti telah kehilangan akar. Pagi ini, aku harus kehilangan lagi anggota keluarga terdekatku, yang ditemukan warga menggantung di pohon nangka belakang rumah…

Depok, 15 September 2021

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *