23 October 2024
Diverse people with negative emoticons using mobile phones

Hal negatif selalu memancing hal reaktif (Foto: Freepik)

Saya pernah menulis sesuatu, di status media sosial yang dengan sangat sadar saya bungkus secara positif. Saya kaget, ketika membaca komen yang nadanya nyinyir: “Jangan percaya, ini tolol dan menyesatkan.” Komennya pun nggak memberi pendapat atau data lain untuk meluruskan. Intinya, nyinyir dan ingin nulis yang menyakitkan saja.

Di sisi lain, saya lihat seseorang memposting sebuah berita baik. Saat saya baca komen di bawahnya, eh, ada saja haters yang menghujatnya.

Di lain waktu, muncul link provokatif, hoax, fitnah dan sejenisnya. Saya nilai link itu tidak penting samasekali. Uniknya, link itu mendapat jumlah share yang naudzubillah banyaknya. Di bagian komennya pun ramai, ada hujatan, ada pujian, lalu antarkomentator berantem dan saling memaki.

Pokoknya riweuh dan sadis banget deh! Semoga saja Anda bukan bagian dari salah satunya ya.

Kenapa sih, kok kita begitu mudah mereaksi hal negatif, bahkan memproduksinya dengan sangat asyik dan menyenangkan?

Menurut saya, hal negatif, termasuk kecepatan menyebarnya, terkait dengan cara kerja otak kita. Saya yakin, hal nyinyir dan negatif lain pasti terhindar seandainya pada prosesnya disaring dulu oleh otak logis kita (neo cortex kalo dalam bahasa triune brain).

Persoalannya, hidup kita 88% sangat didominasi oleh subconscious kita, yang di dalamnya ada spontanitas, insting, hal yang berhubungan dengan tendensi untuk survive (ini kalo di triune brain dikendalikan reptilian brain), dan emosi (kalo di triune brain dikendalikan mamal brain).

Di mamal brain ini ada bagian yang dinamakan Amygdalae. Karakternya sangat sensitif terhadap data-data negative. Data negatif yang diterima secara otomatis masuk sebagai bagian dari memorinya; sementara data positif ada delay 12 detik dulu untuk menjadi bagian dari memori panjangnya. Itu sebabnya kita jadi lebih mudah mengingat hal negatif daripada hal positif.

Pernah ada eksperimen di sebuah perusahaan otomotif di Jakarta, yang dipimpin oleh salah satu temen saya. Para karyawan diminta untuk menuliskan hal apapun di secarik kertas tentang perusahaannya, baik positif maupun negatif. Yang negatif ditaruh di kotak kiri, dan yang positif ditaruh di kotak kanan. Apa yang terjadi?

Kotak kanan benar-benar kosong! Artinya, hampir 100% memori negatif yang spontan ditulis para karyawan.

Bukti lain yang saya baca, ada antropolinguis pernah meneliti, dalam kamus bahasa Inggris, 62% di antaranya adalah kata-kata dengan muatan emosi negatif, dan hanya 38% kata-kata bermuatan emosi positif.

Dari sini semoga sudah cukup jadi gambaran kenapa hal negatif lebih mudah diproduksi dan direaksi.

Tapi sekali lagi mohon maaf, ini baru analisis sekilas, yang kebenarannya masih harus diuji lagi. (Asep Herna)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *