25 November 2024
Rumah Cahaya

Ilustrasi: S. Maduprojo

Dua-tiga hari ini aku kerap terjaga pada sekitar pukul 02.00 dinihari. Di saat orang-orang tengah terlelap tidur, samar aku seperti mendengar riuh-rendah suara di samping rumah.

Dari jendela kamarku, aku mengintip untuk mencari sumber suara-suara itu. Rupanya sayup-sayup suara itu berasal dari lantai 2 rumah tetangga sebelah rumah. Entah kenapa, setiap kali aku terjaga, selalu dimulai oleh pendar  cahaya yang ada di ruangan lantai 2 rumah itu. Dari sudut jendela kamarku, aku bisa melihat pemandangan di balik jendela rumah sebelah itu. Nyala cahaya lampu membuat aktivitas di lantai 2 rumah itu bisa aku lihat. Tampak pemandangan keluarga itu sedang berkumpul, bercengkerama, dan seperti tertawa-tawa. Mereka terdiri dari 2 anak kecil, seorang ibu dan laki-laki paruh baya, dan seorang nenek. Tampaknya ini satu keluarga sedang berkumpul di meja makan. Sejenak mereka terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sang nenek selintas aku lihat banyak terdiam. Mereka berkumpul di sebuah meja makan, tapi tidak makan. Tak lama berselang mereka menuntun sang nenek ke ruangan lain. Aku menunggu untuk melihat apa yang selanjutnya terjadi. Satu per satu mereka kembali ke ruangan itu, selain nenek dan 2 anak kecil tadi. Tapi kali ini mereka saling terdiam. Seperti memikirkan sesuatu. Begitulah beberapa hari ini aku melihat pemandangan itu. Kemarin aku sempat membangunkan istri untuk memperlihatkan apa yang terjadi di sebelah rumah itu. Tapi, entah istriku mengantuk berat, dia hanya berujar, “Sudahlah, Yah, suaranya juga lirih. Enggak ganggu kita. Mereka memang terbiasa tidur dinihari kali. Ayah juga lagi capek kali. Yuk, tidur lagi”. Ah, sudahlah, aku coba memejamkan mata. Tapi suara-suara tadi masih mengganggu tidurku.

****

Pagi harinya, aku coba bertanya ke Pak Ranu, tetangga seberang rumah, untuk mencari tahu, siapa sih orang di samping rumah itu. “Kurang tahu, Pak. Pindahan dari mana, belum tahu. Sepertinya belum berkenalan dan belum pernah ketemu. Coba nanti tanya Pak RT. Tapi saya enggak dengar apa-apa Pak kalau dinihari.”  

Hari itu aku belum juga bisa menemui penghuni rumah sebelah. Aku dengar, ada pengontrak baru rumah itu. Memang, sejak aku tinggal di sini sekitar enam tahun lalu, yang aku tahu rumah ini silih berganti dikontrak orang. Hampir setiap tahun berganti orang. Bahkan sempat beberapa lama tidak ada yang mengontrak.  Aku pun bergegas pulang karena gagal bertemu dengan penghuni rumah. Waktu bekerja sudah memanggilku.

****

Malam ini, aku bertekad mau mengintip lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi di lantai 2 rumah itu. Dengan agak bersusah payah, aku tinggalkan istriku yang sudah terlelap, dan mencoba memanjat pagar, turun ke rumah itu, melongok mereka di lantai 2. Ada satu pohon mangga besar yang bisa kunaiki agar bisa lebih dekat ke jendela lantai 2 rumah itu. Aku pun sudah sampai di dahan pohon mangga itu, dan mencari posisi yang cukup leluasa untuk menyaksikan lebih dekat siapa dan apa yang mereka lakukan. Kulihat penunjuk jam di handphone yang kubawa untuk persiapan memotret nanti. Pukul 01.56. Lantai 2 itu masih gelap. Nah, mungkin sebentar lagi nih, gumamku, karena biasanya sekitar pukul 02.00 suara-suara itu mulai kudengar. Tentu saja diawali dengan cahaya lampu yang menerangi ruangan lantai 2 itu.

Benar saja, tak lama, cahaya lampu menyala di ruangan itu. Satu per satu adegan berjalan seperti yang kulihat biasanya dari balik jendela kamarku. Hanya, sekarang wajah-wajah penghuni lantai 2 itu lebih jelas terlihat. Satu per satu mereka muncul. Tapi, kali ini pemandangan yang kulihat berbeda dari biasanya. Sang ayah membuka jendela. Sekejap, aku berusaha mundur bersembunyi di balik rimbun daun mangga itu. Laki-laki itu kembali ke ruangan. Ia menyuruh anak-anaknya ke ruang bawah. “Turun kalian ke bawah,” ujarnya. Kini di ruangan itu tinggal bertiga. Sang ibu, nenek, dan laki-laki itu. Aku juga begitu jelas mendengar suara mereka. “Mama, cepat tanda tangani surat ini sebelum habis kesabaran kami!” ujar laki-laki itu. Rupanya mereka sedang membicarakan persoalan serius. “Tidak, aku tetap tidak mau menyerahkan rumah ini kepada kalian, kalian tidak berhak…,” suara nenek itu lirih aku dengar. “Baik kalau begitu, Ma…kami terpaksa melakukan ini,” ujar sang perempuan. Aku seperti tak percaya atas apa yang aku lihat saat itu. Sang laki-laki mengeluarkan sebuah pisau, sembari menyuruh sang istri memegangi tubuh sang nenek. Pisau itu dihunjamkan beberapa kali ke tubuh sang nenek yang renta itu. Tak sadar, aku bersuara keras melihat pemandangan sadis di depan mata itu.”Oh, tidak, ya Tuhan, kalian keterlaluan!!!” teriakku. Entah mengapa, tubuhku kaku melihat apa yang barusan terjadi. Selanjutnya, laki-laki itu keluar dari jendela, mencengkeram tubuhku lewat dahan yang memang sangat dekat ke jendela, dan menyeretku ke ruangan itu, dibantu istrinya. Tak lama, aku sudah ada di meja makan itu. Duduk menjadi pesakitan. Aku lihat tubuh nenek sudah terkulai bersimbah darah. Laki-laki itu secepat kilat mengayunkan pisau itu ke tubuhku. Aku hanya coba menutupi wajahku dan berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan. “Tolonggggg!!!!! Tolooonggggg!!!!”

Baca Juga: Akar (Cerpen 3 Paragraf)

“Ayah bangun, Yah. Kenapa bisa ada di rumah ini?” ujar istriku. “Pak Dharma—begitu namaku—apa yang sesungguhnya terjadi?” aku lihat Pak RT dan beberapa orang sudah ada di sekelilingku. Aku berdiri, melihat sekeliling. Aku sepertinya masih berada di ruangan lantai 2 rumah itu. Tapi, yang ada hanya ruangan kosong, dan sejumlah barang yang masih dipak kardus. Tidak ada kursi dan nenek yang bersimbah darah. Juga suami-istri tadi. “Pak Dharma, coba ceritakan yang terjadi. Pak Danar, yang belum lama mengontrak rumah ini, terbangun karena mendengar teriakan minta tolong bapak yang sangat kencang. Orang-orang juga berdatangan ke rumah ini, termasuk istri Bapak,” ujar Pak RT. Aku pun menceritakan peristiwa yang terjadi selama lebih-kurang 4 hari ini.

“Pak Dharma, coba istirahat. Mungkin Bapak capek dan berhalusinasi. Yang Bapak ceritakan itu dulu mungkin keluarga Pak Rachmat, pemilik rumah ini dulu, sebelum Bapak pindah ke sini. Rumah ini dijual Pak Rachmat tak lama setelah mertuanya meninggal jatuh dari tangga katanya. Akhirnya rumah ini silih berganti dikontrakkan orang, dan terakhir Pak Danar ini…” ujar Pak RT. “Ibunya meninggal karena jatuh dari tangga, Pak RT?” ujarku. “Iya, keterangan mereka begitu,” jawab Pak RT. Aku pun terdiam.

****

Pukul 02.00. Sebuah kilat cahaya lampu menyala di lantai 2 rumah Pak Danar. Kali ini aku mencoba membangunkan istriku. “Ma, pelan-pelan, aku ingin tunjukkan sesuatu,” ujarku. Kami pun menuju jendela, menyingkap tirai, dan mengintip apa yang terjadi di lantai 2 rumah itu. Tak lama, seorang nenek terlihat menatap rumah kami, atau jendela kamar kami, dari jendela lantai 2 rumah itu. Mukanya terlihat kusut, dan dia seperti melambai-lambaikan tangannya, seperti memberi isyarat agar kami mendatanginya…. Kami pun saling berpandangan…

(S. Maduprojo, Kampung Gedong, 02.00)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *