Ia ada di ilustrasi buku-buku karya sang penyair itu serta kaus-kaus mahasiswa ataupun anak-anak generasi milenial. Potretnya itu kerap terpampang di pameran-pameran budaya, peringatan bulan bahasa, ataupun kegiatan seni lainnya. Pada Mei 2013, misalnya, dalam sebuah pameran “Quit for Better Life” di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta, seorang pelukis bernama Galih Pratama membuat parodi potret Chairil itu. Chairil tampak berkacamata transparan dan mengisap pensil, bukan sebatang rokok. Pada bagian bawah lukisan tertulis kalimat: “Tanpa merokok, aku akan hidup seribu tahun lagi.” Kalimat ini merupakan parodi dari salah satu kalimat dalam puisi “Aku” karya penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922, itu. Chairil meninggal dalam usia muda pada 28 April 1949 karena kanker paru-paru.
Sosok Sang Fotografer
Tapi, tak banyak yang tahu, siapa di balik potret sang maestro dengan pose seperti itu. Kisah siapa fotografer yang membuat foto “eksistensialis”—begitu majalah Tempo menyebutnya—itu pernah dimuat majalah ini edisi 21 Agustus 2016. Sayang, saya belum menemukan artikel tersebut. Jadi, cerita di balik pemotretan Chairil tersebut belum bisa terinci. Sang fotografer itu adalah Baharudin Marasutan. Di sejumlah artikel, seperti dalam buku Beberapa Seniman Yogyakarta, namanya tertulis Baharudin Marah Soetan. Atau buku Provocative Bodies, Interpreting the Works of Mochtar Apin, 1990-1993 oleh Jim Supangkat, namanya tertulis Baharuddin Marah Sutan. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1911 itu merupakan satu dari dua pionir seni grafis Indonesia. Seorang lainnya adalah Mochtar Apin, kakak Rivai Apin. Paket karya Baharudin dan Mochtar Apin, yang merupakan karya cetak grafis pertama perayaan satu tahun kemerdekaan RI, dikirim ke negara-negara sahabat yang sudah mengakui kedaulatan bangsa Indonesia.
Berdasarkan data dari Galeri Nasional Indonesia seperti dimuat situs web Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Baharudin Marasutan—kerap disapa Baharudin M.S.—dikenal sebagai pelukis sekaligus seniman grafis. Nah, data di sini menyebutkan Baharudin lahir pada 1910. Buku katalog “Pameran Besar Seni Lukis Indonesia III” pada 14-30 Desember 1978 malah memuat profil Baharudin kelahiran 1908. Entah mana yang benar. Dalam profil itu, tertulis, setelah lulus dari MULO pada 1928, Baharudin bekerja di percetakan Albrecht dan Sin Po hingga 1932. Ia kemudian membuat usaha pembuatan klise hingga 1942. Pada awal kemerdekaan Indonesia, ia bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Mochtar Apin, dan Henk Ngantung mendirikan organisasi Gelanggang Seniman Merdeka.
Mengajar di IKJ
Baharudin mulai banyak membuat karya lukis setelah bekerja di Balai Pustaka pada zaman pendudukan Jepang. Pada 1950, Baharudin meninjau kegiatan grafis dan seni rupa di Belanda. Pada 1951-1955, Baharudin mengajar klise, seni lukis, dan apresiasi seni lukis di Sumatera Barat. Ia terlibat dalam pendirian majalah anak-anak Sendi. Pada 1957, ia kembali ke Jakarta, bekerja sebagai desainer grafis dan perancang sampul buku di Balai Pustaka hingga pensiun pada 1967. Salah satu tugasnya adalah memperbarui desain sampul buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka, tipografi, serta tata letaknya. Pada 1969-1977, sejak berdirinya Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta—kini Institut Kesenian Jakarta—pada 1970, ia mengajar seni grafis, kaligrafi, lettering, dan komposisi di Akademi Seni Rupa dan Akademi Sinematografi milik lembaga pendidikan tersebut. Sejumlah pameran yang pernah diikutinya adalah “Pameran Besar Seni Lukis Indonesia DKJ” tahun 1972-1974 dan pameran tunggal sponsor DKJ tahun 1974.
BACA JUGA: “The Prophet”: Awalnya Disangka Buku Aliran Sesat
Baharudin mengasah kemampuan melukisnya di Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho). Ia satu era dengan pelukis-pelukis yang lahir pada masa pendudukan Jepang, di bawah peranan penting Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi. Mereka, antara lain, adalah Otto Djaja, Kartono Yudhokusumo, Henk Ngantung, Djajengasmoro, Basuki Resobowo, Subanto, Rusli, Barli, Mochtar Apin, Dullah, Harijadi, Hendra Gunawan, Kusnadi, Kerton, dan Trubus.
Coretan-coretan grafis Baharudin banyak dipakai untuk ilustrasi/foto reklame dan sampul buku. Nah, potret Chairil sedang mengisap rokok itu—tertulis di teks dokumen foto Chairil merokok di Wikipedia.org—ada dalam buku Tiga Menguak Takdir, yang berisi puisi-puisi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani terbitan Balai Pustaka pada 1950. Karya grafis lainnya yang tersimpan di Galeri Nasional berjudul “Wanita dari Arca Cina”. Lukisan ini menggambarkan sebuah arca perempuan dengan ciri khas/karakteristik arca Hindu-Buddha. Ia bersanggul, setengah badan, tanpa mengenakan busana. Lukisan arca ini memiliki anatomi lengkap, seperti kepala, wajah, mata tertutup, hidung, mulut, tangan, dan badan. Kepalanya sedikit dimiringkan ke sebelah kiri. Pada bagian belakangnya terdapat suatu benda berupa susunan batu yang dijadikan sandarannya. Terdapat bercak-bercak hitam pada beberapa titik di gambar tersebut.
Baharudin Marasutan, atau Baharudin Marah Soetan, meninggal pada 1988.
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)