Mengapa saya awalnya berniat untuk berhenti? Karena saya mengalami culture shock atas budaya digital kali ini.
Apakah maksudnya soal penguasaan teknologi? Bukan. Saya bisa beradaptasi soal itu.
Apakah mengenai behavior audiens kekinian yang berubah demikian cepat, sehingga menjadi lebih rumit lagi memetakan mereka? Juga bukan. Saya sudah terbiasa seperti itu.
Yang paling bikin prustrasi adalah soal rate card, baik strategi, konsep kreatif, sampai produksinya. Dan perubahannya benar-benar drastis, seperti sejauh mata memandang.
Ide dan Strategi itu Mahal
Memang hidup tidak sebatas angka-angka rate card, tapi, rate card sangat penting untuk bisa hidup. Rate card, seandainya ujungnya adalah cash, itu, ibarat aliran darah dalam tubuh kita. Saat cash flow berhenti, maka bisnis berhenti, layaknya kehidupan yang juga berhenti ketika alir darah berhenti.
Lha, kan anak-anak sekarang fine-fine saja dengan rate card saat ini, kenapa saya harus shock?
Itu dia bedanya. Saya adalah generasi ketika strategi, konsep dan kreativitas dihargai sangat mahal. Anda ingin tahu rata-rata rate dari sebuah strategi, konsep kreatif dan produksi dari sebuah campaign?
Baca juga: E-motion Campaign: Politisi Harus Ngerti Ini
Walau di setiap perusahaan berbeda, angka minimal di masing-masing item tetap berpuluh kali lipat dari angka saat ini. Taruhlah sebuah communication strategy, dari mulai kanvasing sampai merumuskan perencanaan jangka pendek atau panjang, minimal rate-nya sekitar Rp 150 juta.
Lalu strategi ini kemudian diimplementasikan ke dalam konsep-konsep kreatif dengan media macam-macam. Saya ambil simpelnya, ke dalam iklan TV (TV Commercial yang biasa disebut TVC), maka, konsep ceritanya saja dibayar minimal Rp 50 juta. Lalu cerita dieksekusi lewat visual lengkap dengan copywritingnya. Visualisasinya/storyboarding minimal ratenya Rp 5 juta, dan copywritingnya juga Rp 5 juta. Ini semua belum termasuk produksi yang jauh lebih mahal lagi, karena melibatkan berbagai hal. Seperti production house, talent/model, sutradara, produser, kru, peralatan, art direction, wardrobe, lokasi dan tetek bengek lainnya. Dulu saya masih ingat, kisaran produksi antara Rp 200 juta sampai Rp 4 miliar untuk 1 TVC, tergantung tingkat kerumitannya. Bahkan di tahun 2000-an saja, perusahaan saya pernah membatasi hanya menerima produksi TVC dengan budget minimal Rp 800 juta.
Saya belum bahas soal rate print ad (iklan cetak), billboard, dan media kreatif lainnya. Kita fokus saja dulu di film commercial. Tapi, ya, nasibnya juga serupa.
Nah, bagaimana dengan rate saat ini?
Unlogic!
Tau nggak, sih, saya pernah kaget ada seorang pemilik brand yang bilang bahwa ia pernah ditawari untuk memproduksi sebuah film commercial hanya dengan harga Rp 5 juta saja. Dan itu sudah include dengan ide, art, serta copywriting serta eksekusinya. Jangankan saya, si pemilik brand (perusahaan cat terbesar di Indonesia) ini pun kaget
Bayangin, bagaimana hal ini terjadi?
Tentu saja semua bisa dilakukan, dalam hal ekseksuional. Saya bahkan pernah membuat 2 iklan tanpa shooting, hanya layar hitam dan audio saja. Tidak perlu production house, cukup dikerjakan di laptop atau desktop di kantor saja. Bahkan, kedua iklan tersebut mendapatkan gold award di beberapa festival iklan. Yang satunya medapat anugerah the best copywriting dan the best idea; yang satunya malah mendapat penghargaan the best crafting (sound music design). Mengalahkan iklan-iklan berbiaya ratusan juta dan miliaran rupiah.
Tapi, itu kan special case, di mana motivasi saya adalah motivasi murni idealis untuk creative achievement saja (mendapatkan creative award). Sehingga, ada elemen-elemen lain yang saya nihilkan, seperti biaya konsep, biaya talent, biaya editing dll., yang kesemua itu bernilai rupiah tinggi. Jadi, kondisi seperti ini tidak bisa dilakukan terus menerus dalam kerangka bisnis dengan orientasi profit.
Nah, culture shock seperti ini, yang membuat saya berniat berhenti. Di mata saya, logika bisnis kini sudah terbalik. Ketika harga, seiring perkembangan waktu karena aspek inflasi dan sebagainya, seharusnya mengalami kenaikan, eh, ini, makin ke sini malah makin turun alias makin murah saja. Aneh.
Baca Juga: The Amazing Jamu
Unlock the Unlogic Factor
NAMUN, saya kembali ke kalimat saya paling awal, bahwa ketika saya bertemu dan mencoba berkolaborasi dengan anak-anak milenial-Gen Z, saya mulai memahami ruang-ruang unlogic tersebut. Di antara energi mereka yang selalu memiliki solusi atas segala hal, penguasaan teknologi, kecepatan yang didasari skill, dengan masih bertumpu pada idealismenya yang kuat, saya terbakar kembali untuk bergerak. Tentu dengan semangat dan spiritualitas baru yang berbeda dengan saya di masa lalu.
Saat dulu saya masih berorientasi pada brand-brand besar baik nasional maupun multinasional, bersama anak-anak muda ini, saya mengalihkan perhatian untuk menjadi bagian dari brand-brand lokal. Brand yang sedang bergairah untuk meledak menjadi panglima di negerinya sendiri.
Spirit seperti ini yang menurut saya melebihi segalanya, dan bisa membuka ruang kepala saya untuk selalu bisa menyiasati kendala, termasuk soal kendala harga.
Bersama anak-anak muda, saya siap jadi orang di balik brand-brand Indonesia. Salah satunya adalah projek BUM, yang menghimpun para musisi berbakat dengan kapabilitas musik juara nasional; dan para desain grafis Gen Z yang kiprah karyanya malah sudah dinikmati pasar internasional. Anda bisa melihat beberapa karya mereka di sini.
Lagi-lagi, tiba-tiba dan terus-menerus, saya mendapatkan energi baru mereka. Silakan kalau Anda, para pemilik brand, ingin merasakannya juga. Dan saya, tentu, tetap ada di balik mereka, merancang value, serta brand wisdom yang mengisi kegilaan kreativitas muda mereka.
(Asep Herna, Konsultan Brand)