Delapan botol jamu gendong menandakan 8 arah mata angin dan lambang Majapahit, surya wilwatika.Delapan botol jamu gendong menandakan 8 arah mata angin dan lambang Majapahit, surya wilwatika.

Matahari baru saja membuka pagi. Di halaman rumah, di Bogor, saya dan keluarga, juga Si Bibi, mencoba ritual seduhan Jamu Gendong. Ada 8 botol dengan 8 rasa berbeda pada bakul si Mbok Jamu Gendong, yang masing-masing memiliki filosofinya sendiri.

Menurut data yang saya baca, 80% penduduk Indonesia mengkonsumsi jamu. Tentu dengan tujuan berbeda. Kebugaran. Relaksasi. Pencegahan penyakit. Pengobatan penyakit. Pemulihan kesehatan. Bahkan untuk kecantikan atau vitalitas kejantanan bagi laki-laki.

Jamu adalah Kultur Kuat

Bagi masyarakat Indonesia, jamu memang bukan cuma sekedar gaya hidup sehat, tapi adalah kultur yang sangat kuat!

Tak heran, bila menurut Gabungan Pengusaha Jamu, kini ada sekitar lebih dari 1100 industri jamu yang tergabung di asosiasinya. Industri ini mampu menyerap total 3 juta tenaga kerja, dengan omset tahun 2008 saja mencapai lebih dari Rp 7,2 triliun. Fantastis!

Kepenasaranan saya akan jamu membawa saya pada usaha untuk menelusuri sejarahnya. Saya coba searching membaca dan menemukan beberapa arsip sejarah, arkeologi, kesusastraan lama, dan pendapat para pelaku industri jamu. Berikut kira-kira sepintas catatan saya.

Riwayat Jamu dalam Relief

Jamu, menurut sejarawan, berasal dari gabungan kata dalam bahasa Jawa Kuno, Djampi dan Oesada. Djampi berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat-obatan, doa-doa, dan ajian-ajian. Sementara Oesada bermakna kesehatan.

Tradisi pengobatan dengan menggunakan ramuan ini ternyata memang sudah melekat lama. Tradisi pengobatan dengan menggunakan ramuan dan pemijatan sudah terdokumentasi dalam relief Karmawipangga di Candi Borobudur. Kemudian di relief Candi Brambang, kompleks Candi Prambanan yang dibangun abad ke-8-9 Masehi. Juga ada di Candi Panataran, Sukuh, dan Tekalwangi.

Di relief Candi Borobudur digambarkan proses pembuatan jamu dengan menggunakan pipisan, untuk perawatan kesehatan lewat pemijatan dan pemanfaatan jamu atau Saden Saliro.

Jamu dalam Manuskrip

Selain relief, banyak juga bukti-bukti tertulis mengenai penggunaan jamu. Antara lain prasasti Candi Perot tahun 772 M; Haliwangbang tahun 779 M; dan Kadadu tahun 1216 M. Pada abad ke-13 juga terdapat prasasti Madhawapura yang menyebut profesi Acaraki, sebagai peracik jamu.

Selain dalam prasasti, resep-resep mengenai pembuatan jamu juga banyak terdapat pada lontar yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali, dan Sansekerta. Lontar yang ditulis dengan Bahasa Bali antara lain Usada atau Lontar Kesehatan, yang disusun pada tahun 991-1016 M.

Dokumen terlengkap mengenai jamu baru ditulis jaman Kerajaan Kartosuro, dalam “Serat Centhini”. Serat ini disusun atas perintah Kanjeng Gusti Adipati Anom Amengkunegoro III yang memerintah Kartosuro tahun 1820-1823. Juga dalam “Serat Kawruh Bab Djampi-djampi”, sebuah pengetahuan lengkap tentang jamu Jawa yang ditulis tahun 1858, dengan memuat 1734 ramuan djampi.

Catatan yang sudah memuat kata “Jamu” baru ada di naskah “Serat Parimbon Djampi Ingkang Sampoen Kangge Ing Salami-laminipoen”, tahun 1875 M.

Baca Juga: Aroma Mewah Kopi Indonesia

Cita Rasa dan Tradisi Sejati

Kelekatan jamu nusantara bukan hanya sebatas catatan sejarah yang tertuang dalam relief, prasasti atau lembaran serat. Jamu adalah cita rasa, tradisi dan filsafat berpikir.

Sebagai cita rasa, jamu memiliki nilai kulinasi hebat, berasal dari formula gubahan ramuan-ramuan khas nusantara.

Sebagai tradisi, kebiasaan minum jamu sudah dikenal sejak jaman Majapahit berdiri. Jamu adalah minuman kebesaran raja sekaligus menjadi trendsetter bagi para pembesar dan mitra kerajaan di luar Majapahit. Kebiasaan minum jamu ini dimulai sejak jaman Raja Brawijaya III yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Brawijaya V.

Di akhir periode Majapahit, Raden Patah, penerus trah Brawijaya V sekaligus pendiri Kerajaan Demak, mulai mempromosikan jamu sebagai ilmu sekaligus tatanan sakral keraton. Raden Patah-lah yang menjadikan jamu bukan sekedar minuman kalangan istana, tapi juga merambah ke kalangan rakyat bawah.

Memasuki Gerbang Industri

Pada abad ke-16, jamu mulai masuk ke ranah industri. Diawali dengan produksi Jamu Gendong yang bertahan hingga sekarang, lalu pada tahun 1825 masuk ke industri jamu skala rumahan yang dipelopori oleh Ny. Item dan Ny. Kembar di Ambarawa, Jawa Tengah.

Industri dalam skala besar baru dimulai tahun 1910 di Surabaya. Tan Swa Nio dan Siem Tjiong Nio mendirikan Djamoe Industrie en Chemicalien Handel “IBOE” Tjap 2 Njonja. Dan sejak itu, jamu mulai dikenal ke mancanegara, hingga kini.

Sebagai sebuah filosofi, jamu menyimpan sebuah pemikiran yang dalam. Tengok saja apa yang ada di bakul jamu, tepat di hadapan saya ini.

Semiotika Jamu

Jumlah jamunya ada 8. Ini menunjukkan jumlah arah mata angin, sekaligus melambangkan surya Majapahit ri Wilwatika.

Delapan jenis jamu itu antara lain Kunir Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, Uyup-uyup/Gepyokan, dan Simon.

Ke-8 jenis ini merupakan urutan ideal dalam minum jamu, mulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga manis kembali, yang kesemuanya adalah simbol dari kehidupan.

Begitulah. Indonesia adalah negara jamu, dengan 9000 spesies tumbuhan obat, walaupun baru 3-4% atau cuma 350 spesies saja yang tereksplorasi. Darinya, tercipta kekayaan hidup yang luar biasa.

Lihat saja. Dalam gelas demi gelas jamu yang dinikmati saya dan keluarga, sesungguhnya ada banyak simbol di dalamnya. Simbol kekayaan hayati, yang melahirkan simbol kekayaan tradisi, sekaligus simbol kekayaan filosofi.

(Asep Herna, dari berbagai sumber)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *