Kala itu, ketika sedang bepergian, mereka bisa mampir ngemil di sebuah thermopolium, semacam bar makanan ringan, untuk mengganjal perut.
Thermopolium merupakan ruangan kecil atau warung makan yang sebagian terbuka di satu sisi. Pelanggan memesan makanan di gerai panjang yang terbuat dari batu. Pemilik toko memasukkan stoples makanan dari tanah liat di atas lubang bundar di atas meja. Beberapa makanan yang masih panas bisa langsung dibeli atau dihangatkan dulu di kompor belakang. Pot lain menyediakan makanan yang tidak dipanasi bagi yang mau membawanya pulang atau dimasak di rumah. Beberapa thermopolium juga menyediakan meja untuk makan di tempat.
Selain thermopolium, ada satu lagi tempat bernama popina atau popinae. Popina merupakan bar anggur pada zaman Romawi Kuno. Di sini tersedia menu terbatas makanan sederhana—zaitun, roti, semur—dan pilihan anggur dengan kualitas berbeda. Popina merupakan restoran cepat saji bagi masyarakat kelas bawah sekaligus tempat untuk bersosialisasi. Dalam sejumlah literatur Romawi, mereka sering dikaitkan dengan perilaku ilegal dan tidak bermoral.
Kala itu, penduduk perkotaan yang tinggal di blok apartemen bertingkat, yang disebut insulae, tidak memiliki dapur di dalamnya dan harus membeli makanan dari penjual makanan. Di beberapa thermopolium dan popina inilah mereka bisa membeli roti yang dibasahi anggur dan makan semur serta memasaknya.
Di sebuah thermopolium dan popina, tersedia sejumlah menu, seperti daging, lentil—semacam kacang yang bentuknya pipih—minyak zaitun, sayuran, dan telur. Untuk rasa ekstra, pelanggan dapat menambahkan garam ataupun saus ikan Romawi Kuno—semacam saus tomat saat ini.
Baca juga: “Junk Food” Picu Stunting?
Para arkeolog menemukan peninggalan sekitar 80 thermopolium atau popina di reruntuhan Kota Pompeii di Italia pada 79 Masehi. Di salah satu stan makanan di Pompeii, mereka menemukan sebuah stoples yang berisi lebih dari 6 lbs (3 kilogram) koin untuk pembayaran atau bisa jadi tempat penyimpanan uang hasil jual-beli. Ada kemungkinan ini semacam kasir seperti saat ini. Pada 2020, sejumlah arkeolog melaporkan sebuah penemuan terbaru, yakni gerai makanan yang terdapat potongan tulang bebek dan ikan, cangkang siput, serta tulang-tulang hewan lainnya dalam sebuah stoples. Tulang-tulang itu masih ada meski sudah berusia ribuan tahun, mengingat abu vulkanik akibat letusan dahsyat Gunung Vesuvius pada 79 Masehi itu mengubur hampir seluruh Kota Pompeii beserta isinya dan membuatnya membatu. Makanan yang diduga berupa bebek, ikan, dan sejenis seafood itu sama dengan sejumlah lukisan di sisi dinding gerai. Para arkeolog juga menemukan lukisan orang-orang yang sedang antre, mungkin semacam iklan untuk gerai makanan ini.
KEBUTUHAN PERADABAN
Penemuan peninggalan restoran cepat saji kuno itu menjelaskan bahwa budaya mengkonsumsi makanan fast food bukanlah gaya hidup modern, melainkan sudah dilakukan manusia beribu-ribu tahun lalu.
Fast food merupakan sebutan untuk makanan yang dibuat dan disajikan kepada pelanggan dalam waktu singkat. Biasanya dibuat dengan bahan-bahan yang dipanaskan atau dimasak sebelumnya, disiapkan dalam jumlah besar dan dijual dalam kemasan untuk dibawa pulang. Sebagai sebuah istilah, “makanan cepat saji” muncul pertama kali dalam kamus Merriam–Webster pada 1951, tapi akarnya jauh lebih tua.
Makanan cepat saji merupakan kebutuhan peradaban. Dari zaman kuno hingga modern, pedagang kaki lima menjual makanan siap saji untuk mereka yang memiliki sedikit uang dan pada masa-masa sulit. Waralaba restoran yang berbeda dapat membuat makanan cepat saji yang sama secara berbeda. Restoran dari waralaba yang sama dapat memiliki jenis makanan yang berbeda, tergantung lokasinya.
Namun sejumlah kalangan mengkritik industri makanan cepat saji ini dan pengaruhnya bagi kemanusiaan, terutama industri makanan instan di era modern. Mereka mengklaim jenis makanan ini tidak sehat jika sering dikonsumsi, kejam terhadap hewan, mengeksploitasi pekerjanya, merendahkan budaya lokal karena mengalihkan selera orang dari masakan tradisional, dan meningkatkan obesitas.
Lalu, apa alasan makanan cepat saji ini diciptakan. Di antaranya, masa perang dan krisis sering bertindak sebagai katalisator untuk melakukan terobosan inovasi. Ketika pemerintah Amerika Serikat memutuskan memasuki Perang Dunia pada 1941, misalnya, mereka menilai Eropa sebagai wilayah yang berpotensi mengalami kelaparan. Untuk memasok kebutuhan pangan para tentara yang dikirim untuk berperang, mereka pun mengembangkan makanan instan berkalori tinggi dan tidak mudah busuk. Ransum yang dikirim terdiri atas tiga makanan standar yang disusun berbeda dengan proporsi air yang diminimalkan. Ini termasuk kaldu, buah-buahan kering, cokelat, daging kaleng, kopi, dan keju olahan. Tinggal menambahkan air panas, para prajurit itu sudah mendapat makanan bergizi yang dapat menutupi asupan kalori dan mineral mereka dalam waktu yang lebih lama.
Pada 1948, administrasi militer Soviet di Jerman memblokade lalu lintas orang dan barang dari dan ke Berlin Barat. Kekurangan makanan yang akan segera terjadi di Berlin Barat bakal mengancam jiwa jika tentara sekutu tidak menyiapkan angkutan udara. Kapasitas pengangkutan udara yang terbatas pun harus disediakan untuk barang-barang yang paling penting, dan hanya makanan tanpa kandungan air yang diangkut. Akibatnya, fasilitas produksi industri makanan kering didirikan di selatan Inggris Raya dengan bantuan AS.
Di Jepang juga ada usaha untuk memproduksi makanan instan setelah perang berakhir. Momofuku Ando mengembangkan hidangan mi instan dengan memasak mi dan mengeringkannya berbentuk balok berpori. Momofuku Ando adalah pengusaha Jepang kelahiran Taiwan yang mendirikan Nissin Food Products—produsen makanan instan Jepang yang tak terhitung jumlahnya— pada 1958 dan menciptakan mi instan pertama di dunia. Ia dilahirkan sewaktu Taiwan berada dalam penjajahan Jepang. Dikemas dalam cangkir berisi minyak bumbu dan penyedap rasa, penikmat mi instan bikinan Ando ini tinggal menambahkan air panas saja.
Pada 2020, salah satu makanan instan Nissin Food membuat terobosan yang mereka sebut space ramen. Makanan ini dipilih untuk perjalanan luar angkasa berawak.
BERKEMBANG PADA ERA MODERN
Di era modern, sejumlah literatur menuliskan bahwa makanan instan sudah ada pada awal revolusi industri pertama, yakni pada 1852. Saat itu, ahli kimia Jerman, Justus von Liebig, menyajikan ekstrak daging kering.
Lalu, sebuah teks Dinasti Han yang berasal dari abad ke-2 menceritakan tentang kedai mi yang tetap buka sepanjang malam. Kota-kota besar di Abad Pertengahan itu memiliki pedagang kaki lima yang menjual pai, pasta, flan (sejenis puding), wafel, wafer, panekuk, dan daging matang. Mereka menjual makanan kepada orang-orang yang tidak bisa memasak makanan sendiri, seperti penduduk miskin dan pelancong. Tempat-tempat yang berada di dekat pantai mengembangkan makanan cepat saji yang mencakup kerang atau makanan laut lokal.
Baca juga: Runtuhnya Tradisi Luhur
“Ikan dan keripik” favorit penduduk Inggris muncul pada abad ke-19 dengan perkembangan penangkapan ikan pukat. Toko “ikan dan keripik” pertama kali dibuka pada 1860 di Pasar Tommyfield di Oldham. Max Sielaff di Berlin menemukan “otomat”—restoran mesin penjual otomatis—pada 1896. Pada 1902, Joseph Horn dan James Hardart membuka sebuah otomat di New York City, yang menandai dimulainya makanan cepat saji di Amerika Serikat.
Gerai hamburger pertama di Amerika Serikat adalah White Castle, yang dibuka pada 1921 oleh Billy Ingram dan Walter Anderson, yang memulainya dengan restoran White Castle pertama di Wichita pada 1916. Waralaba pertama juga muncul pada 1921 (A&W Root Beer mewaralabakan sirop mereka) dan waralaba restoran pertama muncul pada 1930-an oleh Howard Johnson.
Ketika mobil mulai populer, restoran drive-in mulai bermunculan di seluruh Amerika Serikat. Pelanggan di mobil dilayani oleh carhops—pelayan atau pramusaji—yang pada 1940-an mulai memakai sepatu roda. McDonald’s pertama dengan makanan cepat saji dibuka oleh McDonald bersaudara pada 1948 (Mereka memiliki restoran sebelumnya, tapi bukan dari “jenis makanan cepat saji”). Sebelumnya, ada Carl’s Jr. yang dibuka pada 1941. Setelah itu, bermunculanlah Burger King dan Taco Bell pada 1950-an, Jack in the Box pada 1951, KFC pada 1952, dan Wendy’s pada 1969.
Industri makanan cepat saji masih tumbuh meskipun ada indikasi kehilangan pangsa pasar dari restoran fast casual dining. McDonald’s, misalnya, hadir di 126 negara di 6 benua dan memiliki sekitar 31.000 restoran di seluruh dunia. Begitu juga KFC, Burger King, Wendy’s, dan lainnya.
Hamburger tentu saja bukanlah satu-satunya jenis makanan cepat saji yang dijual di dunia. Makanan Cina juga populer, seperti ikan dan keripik, sandwich, pitta, sushi, ayam goreng, kentang goreng, cincin bawang, nugget ayam, taco, piza, hot dog, serta es krim. Untuk memasok semua restoran dengan makanan berkualitas dan standar yang sama, operasi makanan cepat saji membuat makanan dari bahan olahan di fasilitas pemasok pusat, kemudian mengirimkannya ke restoran waralaba.
Erbswurst (sosis tepung kacang polong) tercatat sebagai salah satu makanan instan tertua yang diproduksi secara industri. Ini bukan sosis dalam arti sebenarnya, melainkan sup kacang krim yang dipadatkan dan dikemas dalam gulungan kertas berbentuk sosis yang dilapisi aluminium. Gulungan padat itu bisa “disulap” menjadi sup kacang krim dengan menumbuknya, lalu melarutkannya dalam air dingin, serta memasaknya selama beberapa menit.
Erbswurst dikembangkan pada 1867 oleh juru masak dan pengalengan, Johann Heinrich Grüneberg, dari Berlin. Dia menjual penemuannya seharga 35 ribu vereinstaler—koin perak standar yang digunakan di sebagian besar negara bagian Jerman dan Kekaisaran Austria pada tahun-tahun sebelum penyatuan Jerman—kepada tentara Prusia, yang mendistribusikannya sejak 1870 dan seterusnya dalam Perang Prancis-Prusia. Sebelumnya, ini merupakan uji coba Kementerian Perang Prusia, yang mencoba tentara mereka hanya diberi makan erbswurst dan roti selama enam minggu sembari menjalankan tugas seperti biasa.
Pada awal abad ke-20, “kubus ajaib” Maggi muncul di pasaran sebagai makanan instan nabati. Karena bahan mentah yang lebih murah, Maggi menang melawan ekstrak daging kering. Sampai hari ini, produk sejenis ini menjadi lambang makanan instan siap saji.
Pada 1985, Jepang memperkenalkan apa yang disebut dengan makanan fungsional. Mereka mengklaim makanan ini “meningkatkan kesejahteraan”, “sangat bermanfaat bagi kesehatan”, dan bahkan membantu “mencegah penyakit”. Istilah makanan fungsional digunakan dalam lingkaran B2C—proses penjualan produk dan layanan secara langsung antara bisnis dan konsumen yang merupakan pengguna akhir produk atau layanannya. Dalam makanan fungsional, bahan-bahan aditif ditambahkan. Misalnya, vitamin yang digunakan sebagai antioksidan, serat, nutrisi mineral, probiotik, prebiotik, asam lemak tak jenuh, ekstrak herbal dari ginseng, lidah buaya, ginko, isomaltose, dan sebagainya.
Produsen makanan fungsional, salah satunya, manawarkan janji yang berkaitan dengan aspek diet dalam produk-produk mereka, seperti stimulasi metabolisme alami, kecantikan dari dalam, pengurangan berat badan, nutrisi dasar melawan hiperasiditas, pemurnian dan detoksifikasi sel, vitalisasi regenerasi sel, makanan sehat tanpa gula, keseimbangan batin dan tidur nyenyak, peningkatan kinerja fisik, ketahanan stres, ataupun pembakaran lemak.
Selain Jepang, di India, produsen segmen makanan ringan, yakni Gits Food, menjadi perusahaan pertama yang memperkenalkan konsep campuran instan (siap masak) di India. Dalam klaim mereka, perusahaan makanan yang didirikan pada 1963 oleh Gilani dan Tejani ini menciptakan makanan instan yang memudahkan dan mempercepat proses memasak tanpa mengurangi kesehatan. Sekarang, produk Gits didistribusikan secara luas di seluruh India dan lebih dari 40 negara.
(S. Maduprojo. Tulisan ini diolah berdasarkan bahan rujukan: Commonlit.org; Historyoffastfood.com; Wikipedia.org; dan sumber lain)