27 July 2024

Ilustrasi: Freepijk

Apa itu stunting? Berdasarkan sejumlah literatur, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), misalnya, mendefinisikan stunting sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial—rangsangan perkembangan dari situasi-situasi sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan di luar diri anak yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak—yang tidak memadai.

Adapun Kementerian Kesehatan merumuskan stunting sebagai (1) bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama, dari masa kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah oleh tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai. Lalu, (2) masalah kurang gizi kronis dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi pada janin yang masih dalam kandungan dan baru tampak saat anak berusia 2 tahun. Kemudian (3) salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis. Definisi berikutnya (4) adalah anak usia balita yang memiliki nilai z-score—z=nilai standar, yaitu besarnya penyimpangan suatu nilai terhadap rata-rata—kurang dari -2.00 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3.00 SD (severely stunted). Penghitungan stunting dilakukan dengan cara mengurangi tinggi anak dengan angka 2 sesuai dengan standar deviasi dari kurva pertumbuhan anak menurut WHO.

Menurut Kementerian Kesehatan, intinya, kurang gizi dan stunting merupakan dua hal yang berkaitan. Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi alias kekurangan giziselama 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang tak dapat diubah (irreversible) sehingga menyebabkan penurunan performa kerja. Anak stunting memiliki rata-rata skor intelligence quotient (IQ) sebelas poin lebih rendah dibanding rata-rata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh kembang pada anak akibat kekurangan gizi ini, bila tidak mendapat penanganan sejak dini, akan berlanjut hingga anak dewasa.

Lalu, apa indikatornya sehingga anak dikatakan mengalami stunting? Salah satunya, jika anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibanding anak lain seusianya, atau tinggi badan anak berada di bawah standar kurva pertumbuhan yang dibuat oleh WHO. Selain itu, anak terlihat lebih kurus. Sedangkan gejala klinis lainnya tidak spesifik. Tapi, apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium, mungkin saja anak tersebut kekurangan makronutrien—zat yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk hidup, tumbuh, dan berkembang; hara. Khususnya protein dan beberapa mikronutrien, seperti vitamin A, vitamin D, atau mineral seperti zat besi ataupun zink.


Anak-anak stunting bisa dilihat dari beberapa cirinya, seperti tanda pubertasnya terlambat, kemampuan yang buruk dalam menyerap pelajaran, pertumbuhan gigi terlambat, menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang di sekitarnya, wajahnya lebih muda dari usianya, dan pertumbuhan tinggi badannya terhambat.

Dalam jangka pendek, stunting mengakibatkan gangguan pada tumbuh kembang otak, IQ, serta sistem imun. Sementara itu, dalam jangka panjang, stunting menyebabkan perawakan menjadi pendek, berisiko mengidap diabetes dan kanker, risiko kematian pada usia muda, hingga produktivitas menurun.

Baca juga: Teror Maut Makanan Instan

Angka Stunting di Indonesia

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), tercatat 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (30,8%berdasarkan Riskesdas 2018 dan 27,67% berdasarkan SSGBI 2019).

Angka stunting pada 2018 itu mengalami penurunan dari 37 persen pada 2014. Data pada 2022, angka stunting turun lagi menjadi 21,6 persen. Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting terus menurun menjadi 14 persen pada 2024.

Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting-nya lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional, masalah stunting di Indonesia tergolong kronis. Terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional. Di tingkat global, pada tahun lalu, Indonesia menempati urutan ke-115 dari 151 negara dengan angka stunting tertinggi di dunia.

Pada tahun lalu, Kementerian Kesehatan merilis data lima provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai provinsi dengan angka stunting tertinggi, yakni 35,3 persen; disusul Sulawesi Barat (35 persen); Papua (34,6 persen); Nusa Tenggara Barat (32,7 persen); dan Aceh (31,2 persen). Sedangkan Bali menjadi provinsi dengan angka stunting terendah, yakni 8 persen.

Makanan Instan Versus Stunting

Seperti telah disebutkan di atas, kurang gizi dan stuntingmerupakan dua hal yang saling berkaitan. Lalu, adakah hubungannya “kurang gizi” itu dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan-makanan instan alias fast food alias junk food?

The Lancet—salah satu jurnal kesehatan publik paling terkenal dan tertua di dunia—melaporkan, di seluruh dunia, lebih-kurang 114 juta bayi berusia di bawah 5 tahun mengalami kelebihan berat badan yang berkaitan dengan stunting, 81 juta di antaranya kelebihan berat badan dan 33 juta masuk kategori obesitas. Ditambahkan, total 300 juta anak di bawah usia 18 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut peneliti di Lancet, obesitas merupakan “bom waktu” dalam perawatan kesehatan.

Para peneliti di Lancet menawarkan beberapa saran untuk memerangi obesitas. Salah satu yang terpenting adalah mempromosikan preferensi makanan sehat pada anak-anak dengan menjauhkan mereka dari junk food.

Cara lain yang disarankan adalah mengatur penjualan makanan tidak sehat bagi anak, dengan mendesak pemerintah membuat peraturan yang lebih ketat terhadap “pemasaran makanan tidak sehat yang canggih kepada anak-anak” oleh industri makanan. Penelitian menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, setiap hari, anak-anak makan rata-rata 200 kalori lebih banyak dibanding yang seharusnya. Kalori ekstra itu dikonversi menjadi sekitar US$ 20 miliar per tahun untuk perusahaan makanan.

Studi terbaru di sejumlah negara, seperti di Nepal dan Mesir, juga menemukan bahwa makanan instan, seperti biskuit, keripik, mi instan, dan minuman manis, membuat bayi di sana kekurangan gizi dan mengalami pertumbuhan buruk. Selain itu, makanan cepat saji diklaim membuat bayi kehilangan vitamin, mineral, dan nutrisi penting lainnya yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang mereka. Dalam penelitian di Mesir yang dimuat di situs web Mchip.net itu, misalnya, disebutkan bahwa frekuensi konsumsi makanan junk food atau fast food pada anak-anak setiap hari mencapai 28 persen. Di Mesir, junk food merupakan bagian penting dari makanan anak kecil hingga mereka berusia 2 tahun. Sedangkan frekuensi konsumsi produk susu setiap hari di sana sebesar 20 persen, sereal dan biji-bijian 20 persen, buah dan sayuran 14 persen, minuman teh dan herbal 7 persen, kacang fava 5 persen, serta lemak 3 persen.

Bisa dimengerti bahwa angka-angka itu menunjukkan contoh korelasi bahwa kekurangan gizi—salah satunya akibat mengkonsumsi makanan instan—menyebabkan pertumbuhan anak terganggu serta memunculkan risiko masalah kesehatan yang serius. Akibatnya, data di Mesir menunjukkan, 1 dari 3 anak berusia di bawah 5 tahun di sana terhambat pertumbuhannya, menempatkan Mesir di antara 34 negara dengan beban malnutrisi tertinggi di dunia.

(S. Maduprojo; Ditulis berdasarkan rujukan dari Mchip.net; Smartparenting.com; Data-kesehatan.bappenas.go.id; serta bahan lainnya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *