Setelah divonis hukuman penjara seumur hidup, terdakwa Inspektur Jenderal Ferdy Sambo mengajukan pleidoi berjudul “Setitik Harapan di Tengah Sesaknya Pengadilan”, yang semula dia beri judul “Pembelaan yang Sia-sia”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pleidoi diartikan “pidato pembelaan terhadap terdakwa yang dibacakan oleh advokat (pembela) atau terdakwa sendiri”. Adapun dalam kasus hukum, sidang pleidoi adalah sidang yang digelar dalam upaya pembelaan terhadap terdakwa, yang dalam persidangan tersebut terdakwa berhak membacakan pleidoi atau pembelaannya. Menurut istilah hukum, pleidoi didefinisikan sebagai pembelaan yang diajukan oleh terdakwa atau kuasa hukumnya setelah adanya tuntutan jaksa.
Nah, yang menarik, dari sekian berita, baik di media online maupun televisi, banyak yang menyebutkan pledoi alih-alih pleidoi. Malah, bisa-bisa yang “lebih populer” adalah istilah pledoi. Lalu, mana yang lebih tepat dipakai, ya? Coba kita cari tahu asal kata pleidoi ini.
Dari Kata ‘Pleidooi’
Pleidoi berasal dari kata pleidooi dalam bahasa Belanda dan plaidoirie atau plaidoyer dalam bahasa Prancis, yang artinya lebih-kurang pembelaan. Bentuk jamak pleidooi dalam bahasa Belanda adalah pleidooien, serta bentuk diminutifnya—berhubungan dengan bentuk kata dengan makna kecil, biasanya dengan penambahan sebuah sufiks—pleidooitje. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis plea, yang bermakna serupa, yakni permohonan atau pembelaan.
Baca Juga: ”V” dan ”F” yang Tertukar
Melihat bentukan aslinya, semestinya, bila diserap penuh, kata pleidooi dalam bahasa Belanda ditulis “plei-doi”, tanpa menghilangkan huruf “i”. Kata pleidooi terdiri atas dua suku kata, yakni “plei-dooi”. Nah, mungkin, berdasarkan kata aslinya, KBBI lebih menyarankan penggunaan kata pleidoi dibanding pledoi, yang memang secara lidah orang Indonesia lebih mudah diucapkan.
Dalam bahasa Indonesia, salah satu padanan kata yang mendekati makna pleidoi adalah nota pembelaan. Dan salah satu pleidoi terkemuka adalah apa yang pernah dibacakan presiden pertama RI Sukarno berjudul “Indonesia Menggugat” dalam persidangan di Landraad, Bandung, pada 1930. Sukarno bersama tiga rekannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata, yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), dituduh hendak menggulingkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dari balik jeruji penjara, Sukarno menyusun dan menulis sendiri isi pidato tersebut, yakni tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajahan.
Nah, sekarang, pilih pleidoi atau pledoi?
(S. Maduprojo)