25 July 2024

Tangkapan layar sampul lagu Gloomy Sunday versi Billie Holiday.

Belum lama ini, tepatnya Sabtu, 28 Januari lalu, grup band lawas Sheila on 7 sukses menggelar konser di JIExpo Kemayoran.

Ketika penjualan tiket konser bertajuk “Tunggu Aku di Jakarta” itu dibuka beberapa bulan sebelumnya, dalam waktu lebih-kurang 30 menit, sekitar 22 ribu tiket ludes terjual! Pun dengan sejumlah grup band besar yang pasca-pandemi ini mulai menggelar konser. Sebut saja Dewa 19, yang baru saja menggelar konser di Jakarta International Stadium (JIS), yang ditonton lebih dari 80 ribu orang; Noah, Gigi, Padi, Slank, hingga Kangen Band. Tiket pertunjukan mereka boleh terbilang laris manis. Kerinduan para penggemar pun terobati. Jauh sebelum pandemi menghajar Indonesia, di sejumlah spot berlangsung sejumlah konser grup-grup musik lintas zaman, baik yang berskala kecil maupun konser besar. Ada zona 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. Tak ketinggalan penyanyi-penyanyi solo yang sukses dengan sejumlah lagunya.

Apa yang membuat orang-orang rela mengeluarkan uang ratusan hingga jutaan rupiah untuk melihat dan bernyanyi bersama dengan para idolanya itu? Apa pula yang membuat orang-orang menyukai kelompok-kelompok musik ini, atau larut dalam lagu-lagu ciptaan mereka?

Terprovokasi Lirik

Ada banyak penyebab. Selain apresiasi pada aransemen dan teknik bermain musik kelompok musik itu, alasan lainnya adalah alunan dan kekuatan tema dalam lagu-lagu yang mereka ciptakan. Ketika mendengar alunan dan lirik lagu Sephia, misalnya, ingatan penggemar Sheila on 7 yang berusia remaja saat band ini tercipta tentu akan mundur puluhan tahun untuk mengenang momen apa yang terjadi dan selaras dengan lagu ini. Atau kenangan itu terus membekas hingga sekarang kalau mendengar alunan lagu tersebut. Mereka bebas menerjemahkan lagu Sephia dengan kesenduan seseorang yang diam-diam mencintainya, cerita kasih tak sampai, kekasih yang sudah mendahului, atau malah hal-hal mendalam yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan kisah cinta. Pun begitu dengan single hit lainnya. Meresapi lagu Bongkar karya Iwan Fals, semangat para demonstran ataupun aktivis akan menggelora. Di jalanan (demo), mereka menyandarkan cita-cita karena di rumah (DPR) tak ada lagi yang bisa dipercaya. Menghayati Berita kepada Kawan dari Ebiet G. Ade, menjadikan perjalanan hidup ini terasa sangat menyedihkan. Lagu ini pun menjadi lagu wajib saat bencana alam melanda dan mengiringi sejumlah tayangan tentang laporan beritanya. Mendalami lagu Yogyakarta dari KLA Project, setiap orang yang punya kampung dan merantau akan larut dalam kenangan abadi untuk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa terobati. Setiap sudut kota menjadi saksi perjalanan hidup seseorang, baik pribadi atau bersama si mantan. Atau lagu-lagu Rhoma Irama, yang amat lekat dengan perkara sehari-hari rakyat kebanyakan, dari derita seorang pengemis dan tunanetra, rupiah, yang kaya semakin kaya-yang miskin semakin miskin, miras, sampai beragam budaya dan jumlah penduduk Indonesia.

Dari Anjuran Kebaikan ke Ajakan Berbuat Sesat

Banyak lagu, baik lagu Barat maupun lagu-lagu Indonesia, yang menjadi latar cerita seseorang bangkit dari keterpurukan dan bersemangat lagi untuk memulai hidup. Tapi, bagaimana kalau ada lagu yang justru menginspirasi dan ditiru orang untuk melakukan sesuatu yang negatif seperti yang disuarakan dalam lagu itu? Dan, seruan atau ajakan itu malah bikin bulu kuduk merinding: bunuh diri atau membunuh orang-orang?

Pada 1984, John McCollum, 19 tahun, ditemukan meninggal bunuh diri dengan cara menembak dirinya di kamarnya, di Indio, California, Amerika Serikat. Kematian penggemar lagu-lagu metal itu menyeret nama Ozzy Osbourne, sang vokalis dan frontman grup band heavy metal Black Sabbath, ke pengadilan. Pasalnya, McCollum ditemukan meninggal setelah mendengarkan album Blizzard of Oz, milik kelompok musik itu. Dalam album tersebut memang ada lagu Suicide Solution, yang diduga mempengaruhi McCollum menyudahi hidupnya.  

Ada lagi Adam’s Song punya kelompok musik Blink 182. Pada 2000, lagu ini menjadi kontroversi karena diduga menjadi penyebab Greg Barnes, pelajar di Columbine High School, Colorado, Amerika Serikat, mengakhiri hidupnya. Kabarnya Barnes melakukan bunuh diri setelah mendengarkan Adam’s Song. Sebelumnya, masih di sekolah yang sama, pada 1999, terjadi pembantaian terhadap 15 pelajar oleh Eric Harris dan Dylan Klebold, yang juga pelajar di sekolah ini. Nama grup musik asal AS, Marilyn Manson—dimotori Brian Hugh Warner yang dikenal dengan nama panggung Marilyn Manson—terseret dalam kasus ini. Pasalnya, Harris dan Klebold adalah penggemar berat kelompok musik tanz-metal Rammstein dan KMFDM asal Jerman serta Marilyn Manson. Dari semuanya, nama Manson yang menjadi bulan-bulanan kritik media dan masyarakat karena image, lirik, dan musiknya dinilai berpengaruh buruk bagi remaja AS.

Dalam sejumlah literatur, sederet lagu juga menjadi latar atau inspirasi dari peristiwa pembunuhan yang tercatat dalam sejarah. Sebut saja lagu Helter Skelter milik The Beatles dalam “The White Album” (1968) yang diduga menjadi inspirasi Charles Manson melakukan pembunuhan berantai bersama kultusnya (The Family) pada 1960-an. Bagi Manson, Helter Skelter adalah ramalan tentang perang antar-kelompok ras, dan ia bersama kelompoknya telah memulai perang itu. Lalu Better By You, Better Than Me yang dipopulerkan Judast Priest—lagu ini sebenarnya milik Spooky Tooth, band rock asal Inggris—juga dikabarkan menjadi biang keladi James Vance dan Roy Belknap, dua remaja di Nevada, AS, melakukan bunuh diri di sebuah pelataran gereja Lutheran pada 1985.


Baca Juga: Sisi Muram “Knockin’ on Heaven’s Door”


“Kutukan” Gloomy Sunday

Namun, dari sekian lagu yang menjadi pemengaruh orang untuk berbuat nekat, antara lain dengan melakukan bunuh diri atau membunuhi orang, tak ada yang sepilu lagu Gloomy Sunday. Boleh dibilang, ini adalah “lagu bunuh diri” sepanjang masa. Hal itu terungkap dalam sebuah artikel majalah Time berjudul “Music: Suicide Song”, yang diterbitkan pada 30 Maret 1936. Penulis tanpa nama bercerita tentang sejumlah kasus bunuh diri yang terkait dengan Gloomy Sunday. Time mengaitkan setidaknya 19 kasus bunuh diri, baik di Hungaria maupun Amerika, berurusan dengan lagu ini. The New York Times juga pernah menulis tentang tema yang sama. Hal itu bisa ditelusuri pada tulisan berjudul “Rezsoe Seres Commits Suicide; I Composer of ‘Gloomy Sunday’ I” yang ditulis New York Times pada edisi 14 Januari 1968. Diduga, Gloomy Sunday telah menginspirasi ratusan orang  melakukan bunuh diri sejak lagu ini diciptakan.

Gloomy Sunday juga menjadi salah satu topik hangat dalam bidang psikologi-kesehatan. Sejumlah artikel ilmiah yang menyinggung kaitan lagu ini dan keinginan orang untuk bunuh diri dimuat di situs web Pubmed.ncbi.nlm.nih.gov. Salah satu artikel menyebutkan bahwa dugaan peningkatan bunuh diri pada 1930-an terkait dengan pemutaran lagu Gloomy Sunday mungkin disebabkan suasana hati pendengarnya, terutama oleh kehadiran sejumlah besar orang yang mengalami depresi. Dilaporkan, pengaruh musik pada bunuh diri mungkin bergantung pada kondisi sosial dan individu, seperti resesi ekonomi; keanggotaan dalam subkultur musik, serta gangguan kejiwaan. Ada kemungkinan periode waktu inilah, alih-alih nada dan lirik lagu ini, yang menyebabkan banyak orang bunuh diri. Depresi Besar, atau Great Depression, dimulai pada 1929 dan berlangsung selama lebih-kurang 10 tahun. Ini adalah sebuah peristiwa menurunnya tingkat ekonomi yang terjadi secara dramatis di seluruh dunia, membuat orang-orang frustrasi dan kesusahan. Selama periode ini, tingkat bunuh diri berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah, dan bisa jadi Gloomy Sunday menjadi nada yang tepat untuk mengiringi keinginan keluar dari berbagai masalah.

Lantas, seperti apa sih kisah di balik lagu ini?

Lagu Ajakan Bunuh Diri Sepanjang Masa

Gloomy Sunday disusun oleh pianis dan komposer Hungaria, Rezső Seress, dan diterbitkan pada 1933. Lirik aslinya berjudul Vége a Világnak—dunia akan berakhir—bercerita tentang keputusasaan yang disebabkan oleh perang dan diakhiri dengan doa yang tenang tentang dosa-dosa rakyat. Penyair László Jávor lantas menulis liriknya, yang diberi judul Szomorú Vasárnap—minggu sedih. Lirik itu bercerita tentang seseorang yang ingin bunuh diri setelah kematian kekasihnya. Lirik terakhir inilah yang akhirnya menjadi lebih populer. Sedangkan lirik aslinya seperti terlupakan.

Versi lain menuliskan Rezső Seress menulis Gloomy Sunday lantaran tunangannya meninggalkannya karena menganggap Seress sebagai musikus pecundang. Lalu Seress menulis lagu untuknya. Cerita lain mengatakan bahwa László Jávor sedang patah hati, dan meminta Seress membuat musik untuk puisi yang ia tulis tentang mantannya.

Keduanya lantas memproduksi lagu ini dan mencoba menjualnya. Namun hal itu tidak mudah. Salah satu perusahaan rekaman yang tertarik memproduksi lagu ini mengatakan, “Ada keputusasaan yang mengerikan di lagu itu….dan kami rasa tidak ada gunanya mendengarkan lagu itu.” Namun akhirnya Gloomy Sunday direkam oleh penyanyi pop Hungaria, Pál Kalmár, pada 1935 dan diterima dengan baik. Seress dan Jávor pun akhirnya memiliki lagu hit, meski melankolis.

Tapi, kemudian, apa yang dikhawatirkan perusahaan rekaman itu terbukti. Pada 1935, seorang pembuat sepatu bunuh diri di Budapest, dan diduga mengutip lirik Gloomy Sunday dalam catatan bunuh dirinya. Cerita lain mengklaim Jávor atau tunangan Seress bunuh diri dengan racun, hanya menyisakan dua kata dalam catatan bunuh dirinya: “Gloomy Sunday”. Dua pria juga diduga menembak diri mereka sendiri setelah mendengarkan sebuah band memainkan lagu ini. Itulah serangkaian awal peristiwa yang menjadikan Gloomy Sunday sebagai “lagu kutukan” bunuh diri.

Pemerintah Hungaria pun melarang lagu itu diputar. Tapi kasus bunuh diri tidak berhenti. Di Wina, seorang wanita menenggelamkan dirinya sembari mencengkeram lembaran lirik Gloomy Sunday. Di London, seorang wanita overdosis sembari mendengarkan lagu ini berulang-ulang. Suatu kali, seorang pria meminta lagu itu di sebuah klub, lalu berjalan keluar saat lagu itu diputar dan menembak kepalanya sendiri.

Di Hungaria, cerita tentang banyaknya kematian yang terkait dengan Gloomy Sunday membuat mitos urban ini tetap hidup, bahkan memicu penyelidikan ilmiah. Seperti diketahui, Hungaria tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.

Pada Januari 1968, sekitar 35 tahun setelah menulis lagu tersebut, Rezső Seress melakukan bunuh diri. Dia selamat melompat dari jendela di Budapest. Tapi, di rumah sakit, dia mencekik dirinya sendiri hingga mati dengan kawat.

Gloomy Sunday pertama kali direkam dalam bahasa Inggris oleh Hal Kemp pada 1936, dengan lirik oleh Sam M. Lewis. Versi lain dirilis oleh Billie Holiday pada 1941. Lirik Lewis juga mengacu pada bunuh diri, dan pada label rekaman digambarkan sebagai “Lagu Bunuh Diri Hungaria”.

Versi lagu Billie Holiday adalah yang paling terkenal dan terdengar sangat menyedihkan. Pada 1941, BBC melarang versinya disiarkan karena mereka merasa hal itu merusak moral di masa perang. Larangan itu tidak dicabut sampai 2002.

Pada 17 Juli 1959, Billie Holiday meninggal di New York pada usia 44 tahun. Holiday memiliki pengaruh penting pada jazz, blues, dan musik populer. Kehidupan Holiday diwarnai dengan kekerasan, prostitusi, narkoba, dan alkohol. Pada 1950-an, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, dan hubungan yang tidak baik dengan kekasihnya menyebabkan kesehatannya memburuk.

Pada awal 1959, dia didiagnosis menderita sirosis hati. Dia berhenti minum untuk sementara waktu tapi kemudian kambuh lagi. Pada 31 Mei, dia dibawa ke Rumah Sakit Metropolitan di New York karena penyakit hati dan jantung. Dia ditangkap karena kepemilikan narkoba saat dia terbaring sekarat dan berada di bawah penjagaan polisi ketika meninggal karena edema paru dan gagal jantung pada 17 Juli. Di tahun-tahun terakhirnya, ia banyak ditipu, dan meninggal dengan hanya menyisakan 70 sen di bank. Ini adalah akhir yang kejam dan tragis dari kehidupan keras yang dijalani oleh seorang penyanyi cantik dan luar biasa. Tapi ada beberapa yang mengatakan Billie Holiday dikutuk di awal karirnya ketika dia merekam lagu Gloomy Sunday.

Terlepas dari kontroversi dan reputasinya, lagu ini tetap populer. Gloomy Sunday telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Inggris, Prancis, Finlandia, dan Spanyol. Gloomy Sunday juga setidaknya telah dirilis dalam tujuh versi oleh 56 penyanyi yang berbeda, termasuk versi Heather Nova, Bjork, Ray Charles, Sarah Brightman, dan Sinead O’Connor. Pada 1999, Gloomy Sunday juga diadaptasi dalam sebuah film berjudul Gloomy Sunday—Ein Lied von Liebe und Tod oleh sutradara Jerman, Rolf Schübel.

Pengin tahu lirik Gloomy Sunday versi Billie Holiday? Seperti ini bunyinya, tapi jangan terlalu diresapi, yaaa….

Sunday is gloomy, my hours are slumberless
Dearest, the shadows I live with are numberless
Little white flowers will never awaken you
Not where the black coach of sorrow has taken you

Angels have no thoughts of ever returning you
Wouldn’t they be angry if I thought of joining you?
Gloomy Sunday

Gloomy is Sunday, with shadows I spend it all
My heart and I have decided to end it all
Soon there’ll be candles and prayers that are said I know
But let them not weep, let them know that I’m glad to go

Death is no dream, for in death I’m caressin’ you
With the last breath of my soul, I’ll be blessin’ you
Gloomy Sunday

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep in the deep of my heart here
Darling I hope that my dream never haunted you
My heart is tellin’ you how much I wanted you
Gloomy Sunday

Ini link-nya di YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=XQ2AuLaClmk

(S. Maduprojo, rujukan: www.americanhauntingsink.com, www.nytimes.com, Billieholiday.com, dan berbagai sumber)

2 thoughts on “Tersesat dalam Lirik dan Kisah Kelam “Gloomy Sunday”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *