25 November 2024
K.H. Imaduddin Utsman Al Bantanie (kanan) dan K.H. Muhammad Abbas Billy Buntet (kiri), dua ulama yang mengkritisi para pengaku cucu Nabi (foto: Isimewa)

K.H. Imaduddin Utsman Al Bantanie (kanan) dan K.H. Muhammad Abbas Billy Buntet (kiri), dua ulama yang mengkritisi para pengaku cucu Nabi (foto: Isimewa)

“Kalau kalian mengimani Kakek Saya…”
“Menurut Kakek Saya…”
“Sabda Kakek Saya… “
Kata-kata seperti cuplikan di atas, saya dengar dalam sebuah ceramah dari seseorang yang menyebut dirinya, Cucu Nabi.

Ada yang aneh terasa. Pilihan kata “Kakek Saya” untuk menyebut nama Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang saya junjung tinggi sejak saya kecil ini, kok tiba-tiba terasa nggak genah di kuping saya. Kata “Kakek Saya” tersebut membuat saya dan audiens seakan diposisikan harus berada di luar. Ceramah agamanya didegradasi menjadi ibarat kabar tentang ajaran suci milik keluarga besarnya, dan audiens adalah tamu yang sedang ingin mengetahuinya. Secara psikologis saya seakan diposisikan pada jarak yang sangat jauh dengan sosok Nabi yang selama ini saya merasa sudah begitu dekat bahkan ada dalam hati saya tersebut.

Saya memahami perasaan hati saya yang aneh ini, ketika tiba-tiba kepada pujaan hati saya ada orang yang menyebutnya “Kakek Saya”, sementara sebelumnya hati saya tidak mengenal siapa sebenarnya orang asing yang ngaku-ngaku cucu Nabi ini. Apalagi, saat kemudian, rentetan kata-kata orang asing yang mengaku cucu Nabi ini, tak lebih dari kata-kata kotor dan makian semata. Kata yang nggak mungkin bahkan sekadar terpikirkan oleh junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

Bagi saya, kata “Kakek Saya” yang diucapkannya dengan sangat arogan, telah mendegradasikan kesucian Nabi Agung Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

Naudzubillahi mindzalik.

Tinjauan Linguistik

Sebagai orang yang pernah belajar linguistik, saya menangkap, frasa “Kakek Saya” itu memiliki makna hubungan kepemilikan, yang diucapkan sebagai cara untuk mengidentifikasi diri bahwa ia dan sosok suci itu memiliki hubungan khusus. Karena memiliki hubungan khusus, maka ia juga memiliki hak khusus yang berbeda dengan “kalian” (kata “kalian” adalah sebutan pada kita, audiens, versi orang yang mengaku cucu Nabi tersebut).

Ketika setiap kali ia mengucapkan kata “Kakek Saya” untuk menyebut sosok Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, maka ia berarti sedang mengidentikkan diri dengan sosok itu. Dan saat proses identifikasi diri itu berlangsung, maka segala penghormatan terhadap sosok itu, keagungan atas sosok itu, kemuliaan atas sosok itu, ia harapkan juga menjadi penghormatan, keagungan dan kemuliaan milik ia, si orang asing ini.

Uniknya, banyak jamaah yang terjebak oleh proses identifikasi ini. Ini bisa dimaklumi, karena sesungguhnya, teknik identifikasi yang mengasosiasikan diri dengan sosok tertentu, adalah teknik ampuh dalam membius emosi seseorang. Apalagi dengan mengidentikkan diri sebagai cucu Nabi. Daya biusnya menjadi berjuta kali lipat, karena Nabi adalah instrumen kuat dari sebuah belief system manusia, dalam hal ini agama. Sementara, daya pikat paling dahsyat adalah dengan menyentuh belief system manusia.

Bayangkan, betapa besar efek psikologisnya, ketika di pikiran kita tumbuh imajinasi, bahwa dalam tubuh orang itu, mengalir darah Nabi.

Kritisi dengan Nalar

Namun, sesungguhnya, diri kita bisa terbebas dari daya jebak yang mengelabui belief system kita tersebut. Caranya adalah, dengan mengaktivasi critical factor kita, sebagai mahluk yang Allah bekali rasionalitas untuk mempertimbangkan baik-buruk dan benar-salahnya sesuatu.

Pertanyakanlah segala hal yang kita anggap tidak masuk akal. Biasakan melek literasi, dengan tidak menelan mentah-mentah sebuah doktrin. Selusuri referensi dan literatur, yang bahkan saat ini begitu mudah dijangkau. Kalau kaitannya dengan topik “cucu Nabi” ini, kita bisa membaca buku Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW karya K.H. Imaduddin Utsman Al Bantanie.

Pertanyaan-pertanyaan kritis ini bisa berupa seperti ini: Apa yang mendasari saya harus percaya pada seseorang yang mengaku sebagai cucu Nabi? Bagaimana seluk-beluknya, dan apa motivasinya, sehingga ia begitu merasa penting untuk mengatakan bahwa ia cucu Nabi. Layakkah saya meneladani orang yang gembar-gembor mengumbar diri sebagai cucu Nabi? Sementara di sisi lain, kehidupannya tak lebih dari sekadar pencaci. Pemarah. Tukang bikin onar. Bergaya hidup glamour. Bahkan melakukan tindakan tak pantas lainnya. Bayangkan, jika Nabi kini masih hidup, apa sikap beliau melihat orang dengan perilaku tersebut? Pertanyaan berikutnya, mengapa saya harus melakukan perintah dia, yang padahal perintah tersebut bertentangan dengan akal sehat saya? Bertentangan dengan logika kemanusiaan saya, dengan prinsip benar dan salah saya, dengan agama saya?

Logika versus Pengkultusan

Pertanyaan-pertanyaan di atas cukup membentengi kita, dari jebakan pengkultusan diri yang sangat merendahkan martabat kita. Pertanyaan-pertanyaan itu juga, akan membebaskan kita dari kemungkinan chaos berikutnya. Bayangkan ya, bayangkan. Jika kata Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam diganti secara konsisten oleh si pengaku cucu Nabi itu dengan kata “Kakek Saya”. Apa jadinya saat ia mengucapakan bagian dari kalimat Syahadat yang berbunyi “Dan saya bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, lalu kata “Muhammad” diganti dengan frasa “Kakek Saya”? Ini pasti jadi chaos, kan.

Karena itu, rasionalitas akan membukakan pikiran dan mata hati kita. Sementara pengkultusan, akan membutakannya.

Jangan pernah Takut

Jangan pernah takut dan jangan pernah termakan oleh doktrin yang merendahkan martabat kita. Kita menghormati seseorang karena adab kita sebagai manusia. Begitupun jika kita benar bertemu dengan Zuriat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, kita muliakan ia dengan wajar dan tidak berlebihan. Kita hormati ia sebagai Zuriat Nabi. Kita taati, jika ia ulama, lebih karena ilmu dan kesalihannya.

Jangan mudah percaya dan terperdaya oleh orang yang mengaku-ngaku cucu Nabi. Apalagi kita tahu cucu Nabi hanya 8. Bila ia mengancam bahwa kita tidak akan mendapat surga dan kemuliaan kalau tidak mengikutinya, kembalikan pada agama.

Allah Subhanahu Wata’ala, juga Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam beberapa kali menyebutkan, bahwa sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kita adalah orang yang paling bertakwa.

Bisa jadi, santri yang selalu sungkem dan mencium kaki si orang yang mengaku sebagai cucu Nabi itu, jauh lebih mulia di mata Allah, ketimbang orang yang disungkeminya. Wallahu alam bishowab. (***)

(A. Herna)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *