24 November 2024
Fatsi Anzani, penulis buku Peradaban Rambut Nusantara dalam diskusi yang dipandu oleh Budiman Hakim. (Foto: Benny Kadar)

Fatsi Anzani, penulis buku Peradaban Rambut Nusantara dalam diskusi yang dipandu oleh Budiman Hakim. (Foto: Benny Kadar)

Inilah kisah yang menyelusuri peradaban rambut nusantara. Kisah tentang sesuatu yang bukan hanya melekat menjadi mahkota indah di kepala, tapi juga simbol status, ritual, kebudayaan, dan–sejatinya–peradaban manusia.

Tahun 1672, di atas Gunung Cempelagi, Bone, Kepulauan Sebelas (Sulawesi Selatan). Seorang lelaki dengan perawakan tegap dan rambut tergerai panjang, duduk dikelilingi oleh orang-orang yang merunduk penuh hormat. Beberapa saat kemudian, sebuah tangan dengan khidmat memegang rambutnya.

Nazar Seorang Aru Palakka

Lelaki itu adalah Aru Palakka, Raja Bone yang sangat termashur dan tercatat dalam sejarah peperangan di nuswantara. Ia sedang melakukan ritual pemotongan rambut, sebagai nazar atas kemenangannya dalam perang terbuka melawan Sultan Hasanuddin dari Makassar.

Menurut Anthony Reid, bagi orang Asia Tenggara, laki-laki dan perempuan mencintai rambutnya seperti mencintai kepalanya sendiri. Rambut merupakan lambang dan petunjuk diri yang menentukan. Oleh karena itu, kata Reid, memotong rambut di kurun 1045-1680, adalah sebuah pengorbanan, sebuah upacara sakral atas terjadinya sesuatu. Demikian yang terjadi pada Aru Palakka tadi.

Gundulnya Pangeran Diponegoro

Dan bukan hanya Aru Palakka yang melakukan hal tersebut. Menurut Mohammad Yamin, Pangeran Diponegoro pun pernah melakukannya. Sebelum bertempur di kaki Gunung Merapi, Pangeran Doponegoro bernazar di wilayah Rejasa, bahwa ia akan mencukur gundul rambutnya jika berhasil menang dalam pertempuran. Dan persis selepas sembahyang Jumat, Pangeran Diponegoro dan para punggawanya, dari Senopati hingga rakyat jelata, melakukan upaca penggundulan rambut sebagai pelaksanaan nazar tersebut.

Sejak itu, balatentara Pangeran Diponegoro selalu berambut pendek. Hal ini dilakukan sekalian sebagai identitas untuk membedakannya dengan orang-orang Jawa yang membelot dan memihak Belanda.

Baca juga: Gelaran The Writers Book Festival di Pos Bloc

Peradaban 7000 Tahun Silam

Kisah ini termuat dalam buku Peradaban Rambut Nusantara yang ditulis 2 pengusaha barbershop, bernama Fatsi Anzani dan Oky Andries. Buku ini menjadi salah satu karya yang dibedah di ajang The Writers Book Festival 2023, pada 23-24 September, di Pos Bloc Pasar Baru, Jakarta.

Menurut Fatsi dan Oky, sejarah terkait rambut ini bahkan sudah terarsipkan dalam relief di Piramida Mesir, 7000 tahun silam. Di relief itu terlihat seorang laki-laki, salah satu Firaun, bersama dua abdi dalemnya. Salah satu abdi dalem berada di posisi belakang, sedang menata rambut Firaun.

Sementara di zamrud khatulistiwa, petunjuk mengenai tata rambut ini ada di salah satu dinding Candi Borobudur, yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra, abad ke-7. Di relief ini, terdapat adegan, seorang lelaki yang dikelilingi para pelayannya, sedang memotong sendiri rambutnya dengan menggunakan pisau.

Juru Cukur Masa Kolonial

Bila ada kebutuhan akan pangkas rambut, maka pasti ada juru pangkasnya, kan? Fatsi dan Oky melakukan riset, bahkan perjalanan ke berbagai penjuru nusantara, untuk merunutnya.

Menurut Fatsi dan Oky, jejak juru cukur jalanan ditemukan dalam dokumentasi foto-foto zaman kolonial Belanda. Misalnya foto milik KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde) dan Royal Netherland Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies, yang bermarkas di Leiden, Belanda. Di arsip mereka banyak tersimpan koleksi foto juru cukur jalanan di beberapa kota besar Hindia Belanda periode 1911-1930-an.

Misalnya, kegiatan orang Madura di tepi jalan Surabaya yang berprofesi sebagai juru cukur; kehadiran Barbershop Shin Hua di Kembang Jepun; keduanya bertanda tahun 1911. Kemudian foto juru cukur asal Negeri Tirai Bambu di Medan, bertanda tahun 1931. Di era ini, juru cukur asal Tionghoa sudah mengenalkan gaya Bong Dao, yaitu model undercut di zaman sekarang.

Juru Cukur Madura

Selain juru cukur Asgar (asal Garut), Fatsi dan Oky mengutip pendapat Muh. Syamsudin dalam jurnalnya berjudul “Agama, Migrasi, dan Orang Madura” (2007), bahwa juru cukur juga identik dengan para perantau dari Madura. Syamsudin menganalisis bahwa perantauan orang-orang Madura dimulai sejak konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677.

Konflik ini mengakibatkan pengikut Trunojoyo enggan kembali ke Madura dan menyebar ke berbagai wilayah nusantara. Mereka kemudian mencari nafkah dengan memilih sektor informal menjadi penjual soto, sate, pengepul barang rongsok, dan juru cukur. Sejak itu, orang Madura identik dengan juru cukur.

Juru Cukur Bandoeng Tempo Doeloe

Haryoto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandung Tempo Doeloe, malah sudah mencatat sejarah juru cukur sudah ada sejak 1884. Menurutnya, orang-orang Cina di Bandung, di era itu, sudah dikenal sebagai pemangkas rambut dan pembersih kotoran telinga.

Menurut Haryoto, bukan orang Madura dan Cina saja, bahkan orang Jepang juga tercatat memiliki toko pangkas rambut di Bandung. Pada 1932, tercatat ada toko Tjijoda, toko Nanko, toko Toyama, semuanya milik orang Jepang.

Baca juga: Ketika Perempuan Menulis

Suku Minang juga termasuk salah satu suku perantau yang memiliki keahlian di dunia pangkas rambut. Reputasinya tak kalah dengan Madura. Demikian juga orang-orang Garut (Asgar). Menariknya, di kepala kita, dunia cukur rambut saat ini identik dengan Garut. Padahal, orang-orang Asgar ini kehadirannya belakang hari, yaitu sejak meletusnya pemberontakan DI/TII yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Mirip dengan motif persebaran orang Madura, orang-orang Garut pun banyak yang keluar dari wilayahnya karena menghindari ancaman dan perburuan oleh DI/TII di kurun 1949-1950. Mereka keluar kampung dengan membawa keahliannya dalam mencukur.

Juru Cukur Batavia

Di Batavia, dokumen tentang juru cukur terdapat dalam buku Greeting from Jakarta: Postcard of a Capital 1900-1950 karya Scott Merrillees. Di sebuah foto, ada adegan seorang bapak tua dengan peci di kepala, tangan kanannya sedang memegang gunting, sementara tangan kirinya memegang kepala seorang pria berkumis. Mereka tidak memakai alas kaki. Tampak, peralatan cukurnya ada di meja, juga ada yang tergantung di pohon. Foto ini terasa begitu puitik.

Seorang serdadu KNIL bernama H.C.C. Clockener Broussen, pernah mengungkapkan pengalamannya berkunjung ke Pasar Senen, Batavia, pada awal abad ke-20. Katanya, seorang juru cukur Tionghoa sibuk memangkas rambut para jongos dan pembantu rumah tangga perwira. Juru cukur itu bukan saja gesit dan pandai memangkas rambut, tapi juga membersihkan telinga, mata dan lubang hidung. Lucunya, Broussen menceritakan kejadian tak terduga, ketika kuda seorang perwira lepas dan mengamuk, siap menyeruduk area juru cukur itu. Si juru cukur lari lintang-pukang. Tak terkecuali si pelanggan yang sedang dicukur, ia kabur dengan rambut grepes belum tuntas dicukur.

Gambaran di atas adalah situasi juru cukur jalanan. Scott Merrillees juga menghadirkan sebuah foto, juru cukur untuk kelas elit Hindia Belanda saat itu. Foto tersebut adalah barbershop yang ada di Grand Java Hotel, tahun 1932. Juru cukur rambutnya orang-orang terampil yang sudah melewati serangkaian pelatihan. Di Grand Java Hotel ini ada 3 juru cukur rambut dengan dandanan Eropa yang sedang mencukur orang Eropa. Sementara di sudut, ada penduduk pribumi yang menjadi asistennya.

Peradaban yang tak akan Hilang

Demikianlah, rambut dan tradisi pangkasnya sudah menjadi bagian dari peradaban manusia. Termasuk Indonesia. Sampai sekarang, Fatsi dan Oky mencatat, dalam data Indonesia Barbershop Association (IBA) saja sudah tercatat ada lebih dari 5000 brand barbershop. Jika setiap barbershop mempekerjakan 3-7 orang saja, maka tenaga yang terserap sudah mencapai 15 ribu hingga 35 ribu orang. Angka yang sangat besar sebagai bagian dari gerak pertumbuhan ekonomi negara.

Dunia pangkas rambut, sejak dulu, memang menyimpan banyak dimensi. Dimensi sosial, politik, budaya, agama dan terutama saat ini, ekonomi industri. Ini menunjukkan bahwa, peradaban rambut, sampai kapan pun, tak akan hilang digilas zaman.

(Redaksi CK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *