27 July 2024
Tascha Liudmila saat launching buku anak Bintang & Gerhana di The Writers Book Festival 2023

Tascha Liudmila saat launching buku anak Bintang & Gerhana di The Writers Book Festival 2023

Di Indonesia, jumlah perempuan menulis buku masih terhitung sedikit dibanding dengan penulis laki-laki. Merujuk Ensiklopedia Sastra Indonesia saja, dari total jumlah 246 sastrawan yang tercatat, hanya 40 orang di antaranya penulis perempuan. 206 sisanya adalah laki-laki. Mengapa demikian?

Stigma Negatif

Menurut Ayu Utami, penulis novel Saman, minimnya penulis perempuan karena bias stigma bahwa perempuan hanya mengurusi hal-hal sepele saja, sehingga hal tersebut juga membentuk cara pandang apresiasi masyarakat terhadap karya perempuan. Sampai masa sebelum reformasi, karya perempuan masih dipandang sebagai karya kelas dua, yang biasa dikategorikan dengan genre sastra populer.

Namun, kata Ayu, setelah masa reformasi, pembedaan seperti ini sudah mulai pudar. Ada banyak muncul penulis-penulis perempuan seperti Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Okky Madasari, Helvy Tiana Rosa, Laksmi Pamuncak, Ratih Keumala, Asma Nadia, Fira Basuki, Nukila Amal,  Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Intan Paramadina, hingga Marcella FP. Lagi-lagi, nama-nama ini belum masuk ke Ensiklopedia Sastra Indonesia.

Srikandi-Srikandi The Writers

Bersyukur, di acara The Writers Book Festival 2023, penulis-penulis perempuan yang tampil baik untuk meluncurkan maupun membedah bukunya, hampir sama jumlahnya dengan penulis laki-laki. Ada sekitar 7 penulis perempuan dan 8 penulis laki-laki.

Mereka di antaranya Tascha Liudmila, Niken Tantyo Sudharmono, Ida Sylviana, Citra Yuliasari, Tya Subiakto, Chelsea Celesta, dan grup Perempuan Punya Cerita yang terdiri dari 8 penulis perempuan lainnya. Mereka ibarat Srikandi-Srikandi The Writers yang siap membangunkan klep kesadaran para perempuan untuk bangkit menulis.

Buku Tascha Liudmila dan Niken Tantyo sangat menarik untuk dibahas. Keduanya memiliki cara pandang dan cara pengemasan yang mirip, yaitu menggunakan simbol-simbol metaforik untuk mengembangkan cerita.

Simbol-simbol Metaforik

Tascha adalah penulis cerita anak. Bukunya yang berjudul Bintang & Gerhana, menggunakan elemen-elemen angkasa sebagai karakternya. Ada tokoh Bintang, ada tokoh Matahari, Gerhana, Bima, Awan dan sebagainya. Masing-masing tokoh memiliki karakternya sendiri-sendiri, yang identik dengan sifat dari nama benda-benda angkasa tersebut.

Unsur metafora angkasa ini kemudian jadi hidup saat diberi sifat manusiawi, apalagi didukung dengan ilustrasi yang bernuansa fantasi, sehingga imajinasi anak akan semakin tersulut bebas luas tak berbatas. Paduan narasi dan ilustrasi imajinatif tersebut, membuat buku ini terasa begitu puitik. “Saya sengaja menghadirkan cerita yang terbuka, tanpa menjejali pesan moral dan keharusan-keharusan yang malah jadi membatasi imajinasi anak,” kata Tascha, mengungkap kredo menulisnya.

Aspek metaforik juga ada pada buku Superhero Tubuh karya Niken Tantyo Sudharmono. Hal-hal eksak terkait dengan mikrobiota yang sangat memengaruhi kesehatan tubuh manusia, dihadirkan dan dihidupkan, dengan menjadikan nama-nama mikroba sebagai tokoh dalam cerita. “Ini adalah buku yang bisa mengedukasi anak tentang kesehatan tubuh sejak dini, dengan cara mudah,” kata Niken Tantyo.

Menulis adalah Mengabadikan Memori

Nama perempuan lainnya yang tampil di The Writers Book Festival adalah Ida Sylviana. Ida sangat aktif di komunitas The Writers. Semangatnya dalam “memprovokasi” diri maupun orang lain untuk menulis, sangat kuat. Hasil provokasinya juga yang melahirkan buku Aku, Kau adalah Kita, karya 12 penulis yang merupakan alumni Sastra Perancis angkatan 87, dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang bernama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia).

Baca juga: Peradaban Rambut Nusantara

Buku ini menggambarkan pengalaman batin masing-masing penulis, ketika duduk di masa kuliah. Ada hal yang mengharukan, ada hal yang bikin tertawa. Kenakalan, heroisme, dan kerekatan 20 sahabat yang selalu kompak, terkumpul dan terabadikan dalam buku ini.

Perempuan Punya Cerita

Menulis bersama seperti yang dilakukan Ida dan kawan-kawan ini adalah cara ampuh untuk produktif berkarya. Cara ini juga bisa menjadi pintu pertama untuk kemudian kita bisa menerbitkan buku sendiri. Menulis bersama, tentunya, harus dimulai dengan mencari aspek kesamaan di antara para penulisnya. Apakah sepakat untuk menulis genre yang sama, seperti puisi, cerpen, esai dll. Atau sepakat untuk mengangkat topik yang sama, misal tentang anak jalanan, tentang kuliner nusantara, dan sebagainya.

Hal ini yang dilakukan oleh sekelompok penulis yang menamakan diri sebagai Perempuan Punya Cerita. Mereka berdelapan sepakat untuk mengangkat segala hal–baik yang dialami oleh diri sendiri ataupun orang lain–tema tentang para perempuan yang sudah menikah. Mereka adalah Emma Holiza, Sanny Tarudji, Najmiah Octavia, Cyndhanita Arum, Donna Nasution, Meta Tangkudung, Farah Rachmat, dan Inpresta Natalia Poeloeng. Merekalah para kreator antologi Perempuan Menikah Punya Cerita.

Kegilaan delapan perempuan ini tak hanya ada dalam isi bukunya, bahkan cara launching-nya pun unik. Tiba-tiba, di arena The Writers Book Festival, ada seorang Mbok Penjual Jamu datang dengan payungnya. Ia menuju stage. Ocehannya yang Jawa banget sangat memancing tawa pengunjung. Si Mbok Jamu membawa 8 botol Jamu, yang ternyata, masing-masing botol berisikan ramuan sesuai dengan tema yang diangkat oleh ke-8 penulis buku tadi. Sangat kreatif.

Ini adalah buku antologi mereka yang kedua. Sebelumnya mereka bersepuluh, dan menamakan diri sebagai The Kardushians. Tema buku yang diangkat The Kardushians adalah tentang suka dukanya pengalaman pindahan.

Menulis itu Menular

Perempuan penulis lainnya adalah Citra Yuliasari, yang di ajang ini meluncurkan buku Karkata. Betul apa yang dikatakan Chappy Hakim, jenderal penulis 40 buku lebih, bahwa menulis itu menular. Citra yang sudah melahirkan 3 buku single dan banyak buku antologi ini, juga menularkan hobi menulis pada anaknya, Chelsea Celesta. Chelsea sendiri meluncurkan buku Paripurna di ajang The Writers Book Festival ini. Dan buku Paripurna ini adalah buku single ketiganya.

Sosok perempuan terakhir yang meluncurkan buku di momen ini adalah Tya Subiakto. Tya adalah penulis novel Anak tak Bernama dan Panggil Aku Mama. Di The Writers Book Festival, ia meluncurkan ulang novel Panggil Aku Mama dalam format audiobook.

“Ada banyak hal baru dalam proses produksi audiobook ini, yang berbeda dengan produksi buku cetak, atau produksi musik,” kata Tya. Tya sendiri selain menulis novel, adalah seorang komposer sekaligus penyanyi yang sangat terbiasa dengan audio production. “Di produksi audiobook, casting narator diarahkan untuk menjiwai karakter penulisnya, bukan karakter tokoh dalam bukunya. Ini yang jadi pengalaman baru bagi saya,” tambah Tya.

Oh, begitu ya? Masuk akal juga. Karena mungkin seorang narator harus mampu mewakili gaya penulis ketika memunculkan diksi dan emosi tulisannya. Sangat-sangat masuk akal.

(Redaksi CK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *