Saat itu, saya mesti menulis laporan untuk terbitan edisi Minggu mengenai kondisi Aceh pasca-empat tahun tsunami, dan kisah Mauluddin, juara umum tingkat nasional cabang atletik Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI) tahun 2008, menjadi salah satu bagian feature-nya. Setelah melalui diskusi saat rapat perencanaan tingkat redaksi, akhirnya diputuskan mengangkat tokoh Mauluddin sebagai salah satu laporan khusus, selain tulisan lainnya. Awalnya, saya kurang begitu paham mengapa tokoh Mauluddin ini dijadikan salah satu topik utama di koran edisi Minggu. Saya memang penulis olah raga di koran tersebut, tapi jarang sekali menulis soal atletik.
Tapi, setelah dijelaskan panjang-lebar oleh redaktur pelaksana, barulah saya mengerti mengapa edisi Minggu nanti mengambil tema satu ini. “Nah, salah satu tugas kamu adalah melihat dan melaporkan secara langsung di rubrik feature soal kisah hidup dan latar belakang sosial Mauluddin. Ini adalah salah satu potret pendidikan di daerah terpencil yang memprihatinkan. Tapi semangat dan segala keterbatasan telah membuatnya menjadi yang terbaik,” ujar sang redaktur memberi pengantar. Oke! Mau tidak mau, kalau namanya tugas, ya harus berangkat. Ini risiko pekerjaan sebagai wartawan namanya. Pantang menolak kalau diberi tugas.
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, saya bersiap berangkat ke Aceh. Wah, sebenarnya kalau boleh memilih, saya maunya menolak saja tugas itu. Maklum, meski sempat beberapa kali ke Aceh, itu sebelum terjadi musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Sejak kejadian yang mengerikan itu, saya belum pernah lagi menyambangi Aceh, dan hanya tahu lewat koresponden yang ada di sana soal perkembangan terbaru Serambi Mekah itu. Dulu, saya beberapa kali meliput soal gerakan pemberontakan di salah satu daerah konflik itu.
Nah, untungnya, seorang rekan koresponden di Aceh bersedia menemani saya ke daerah Leupung, tempat tinggal Mauluddin. Ia menyempatkan diri bersama saya di tengah kesibukannya membuat laporan kondisi Aceh terkini untuk kantor pusat. Dia akan menjemput saya di wilayah Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, untuk mengantar dan menemani selama dua hari peliputan Mauluddin.
Setelah melewati perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, tibalah saya di Bandara Iskandar Muda Banda Aceh. Berangkat pukul 10.00 pagi, sampai di Aceh sekitar pukul 14.00 siang. Empat jam duduk di kursi pesawat membuat badan terasa pegal-pegal. Dari atas pesawat, saya melihat beberapa wilayah yang masih porak poranda akibat musibah dahsyat tsunami beberapa waktu lalu. Tapi sebagian besar memang mulai pulih. Beberapa tempat kembali menghijau. Namun, di beberapa titik, masih terlihat rumah-rumah yang rusak, area yang hancur, dan deretan barak-barak atau tenda pengungsian. Pemulihan Aceh mungkin membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun karena tragedi yang meluluh-lantakkan berbagai sektor dan menelan ratusan ribu nyawa.
Singkat saja, dari bandara, saya langsung menuju wilayah Aceh Besar. Tak berapa jauh perjalanan dari Banda Aceh, Rahman—nama koresponden di Aceh itu—sudah menjemput saya di sebuah tempat yang kami janjikan di Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar. Usai bersalaman dan menanyakan berbagai kabar, Rahman mengajak saya makan di sebuah warung makan. “Baiklah Bro, karena perjalanan kamu cuma dua hari di Leupung, kita akan langsung bertemu di tempat menginap kamu besok. Langsung saja kita menuju rumah Mauluddin, dan siapkan foto-fotonya. Saya temani kamu untuk meliput Mauluddin,” ujar Rahman.
Wilayah darat Aceh Besar berbatasan dengan Kota Banda Aceh di sisi utara, Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, dan Kabupaten Pidie di sisi selatan dan tenggara. Sebelum dimekarkan pada akhir tahun 1970-an, ibu kota Aceh Besar adalah Kota Banda Aceh, sebelum Banda Aceh berpisah menjadi kota madya. Akhirnya, ibu kota Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di Pegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar juga terkenal karena merupakan tempat kelahiran pahlawan perjuangan nasional Cut Nyak Dhien yang berasal dari Lampadang. Sesuai dengan janji Rahman, kami sudah siap menuju rumah Mauluddin. Sudut atau angle tulisan saya nanti adalah: profil sekolah dan keseharian Mauluddin, juga latar belakang ia bisa menjadi juara umum atletik Porseni nasional.
Perjalanan menuju desa tempat tinggal Mauluddin tak pernah terbayangkan oleh saya. Pantas saja Rahman tadi berseloroh, “Selamat datang di kehidupan nyata, Bro! Haaa…haaa…,” ujarnya sembari tertawa.
Dari losmen tempat kami menginap, kami langsung menuju desa Mauluddin. Kecamatan Leupung terdiri dari enam desa atau disebut mukim, yakni Deah Mamplan, Lamseunia, Layeun, Meunasah Bak Ue, dan Meunasah Mesjid. Kecamatan Leupung sendiri merupakan satu dari sekitar 23 kecamatan yang tersebar di Aceh Besar. Tempat tinggal Mauluddin tepatnya berada di mukim Pulot. Nah, perjalanan menuju rumah Mauluddin membuat saya cukup shock juga. Betapa tidak, Mauluddin sekolah di SMP 1 Leupung di kecamatan. Nah, jarak dari rumah Mauluddin ke sekolahnya sekitar 10 km lebih. Jangan bayangkan jarak 10 km di Leupung dengan 10 km di kota-kota lainnya di Indonesia. “Sebelum tsunami saja banyak anak sekolah di Leupung yang berasal dari wilayah-wilayah terpencil. Untuk menuju sekolah di Leupung, mereka harus menempuh perjalanan air dan darat yang jaraknya bisa puluhan kilometer. Tak ada transportasi, sekali lagi, tak ada transportasi. Nah, bayangkan setelah wilayah ini dihantam tsunami kemarin,” cerita Rahman sembari menarik tangan saya karena terperosok lumpur, menahan licinnya pinggiran sungai.
Waduh, baru mau ke rumah Mauluddin saja saya sudah dapat bahan penulisan. Melewati sungai lebar dengan sebuah rakit—satu-satunya alat transportasi menuju sungai—saya dan Rahman berjalan kaki menuju jalan berlumpur yang naik-turun. Sepi sekali. Sekali-sekali, kami berpapasan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang membawa barang dagangan atau hasil pertanian menuju kota. Sepanjang perjalanan, kami ditemani semak-semak dan ratusan hektare tanaman liar.
Angin berembus cukup kencang siang itu. Benar-benar tak terbayangkan oleh saya, setiap hari Mauluddin berangkat sekolah dari rumahnya. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari tempat kami menginap, tibalah kami di sebuah perdesaan di kaki bukit. “Itu, rumah papan warna hijau, itu rumah Mauluddin,” ucap Rahman. Alamak, tiga jam lebih. Rumah papan beratapkan asbes, tak berlistrik pula.
Tak berapa lama, kami pun bersua dengan Mauluddin, ditemani ibunya. Saya dan Rahman menuju sumur belakang rumah, membersihkan kotoran yang menempel di celana dan kaki kami. Sepiring ubi rebus dan beberapa gelas cangkir teh hangat membuat kami sedikit rileks. “Ini ibu saya. Itu Ika, adik saya. Yang digendong ibu, namanya Rahma, anak paling bungsu. Saya yang paling besar,” ujar Mauluddin memperkenalkan diri. “Bapak lagi ke mana?” tanyaku, sambil menyeruput teh. Mauluddin berhenti sejenak. “Ehmmm, bapaknya meninggal kebawa ombak pas tsunami tahun 2004. Hilang,” sahut ibunya sambil mendiamkan Rahma yang tampak sedang rewel. “Oooo,” ujar kami hampir berbarengan. “Maaf, ya. Begini, Mauluddin, saya minta waktunya untuk wawancara ya. Cerita, bagaimana kamu bisa menjadi jagoan di atletik. Siapa pelatihmu, dan berapa kali latihannya setiap hari,” kata saya, mencoba mencairkan suasana.
Angin masih berembus kencang di beranda rumah papan itu. Tempat kami mengobrol berupa dipan lebar yang tampak sudah tua. Rumah Mauluddin terkesan sunyi karena antar-tetangga di mukim ini memang agak berjauhan. Singkong rebus yang masih cukup hangat menemani obrolan kami siang itu.
“Awalnya saya tidak membayangkan bakal bisa ke Jakarta. Jadi wakil atlet sekolah tingkat Aceh Besar juga tidak saya bayangkan. Cuma, Pak Agus, guru olah raga saya, saat itu hanya bilang, ‘Mauluddin, kamu jadi wakil sekolah kita untuk seleksi Porseni tingkat kecamatan, ya’. Maklum, jumlah laki-laki di sekolahku tinggal lima orang. Sisanya, sekitar 10-an orang, perempuan semua. Jumlah anak sekolah di kecamatan ini sangat sedikit karena banyak yang jadi korban tsunami. Ya sudah, aku bersedia menjadi wakil SMP 1,” tutur Mauluddin di awal ceritanya. Kami memberi isyarat agar Mauluddin meneruskan ceritanya.
“Tadinya Pak Agus menjelaskan, apa yang harus saya lakukan dengan atletik ini. Awalnya saya tidak paham, apa saja sih olah raga ini? Eh, setelah beberapa hari diperagakan dan diberi tahu Pak Agus, saya jadi sangat paham apa itu atletik,” kata Mauluddin. “Wah, kamu berlatih sangat keras dengan Pak Agus, dong?” tanya Rahman.
“Tidak juga. Pak Agus hanya menjelaskan aturan-aturan lomba karena waktunya sangat mepet untuk seleksi tingkat kecamatan,” katanya.
“Wah, hebat kamu, bisa lolos seleksi kecamatan,” ucap saya mencoba ingin tahu lebih banyak.
“Begini, Kak. Dari apa yang dijelaskan Pak Agus, saya tidak mengalami kesulitan berarti. Apa yang disebut atletik itu, ya itu yang saya lakukan selama bertahun-tahun, baik berangkat dan pulang ke sekolah, atau saat disuruh bapak atau ibu ke rumah saudara. Setiap hari, sejak SD, saya harus bangun pukul setengah empat subuh. Lewat dari jam itu, pasti saya akan telat sampai di sekolah. Nah, sekitar pukul 04.00 lebih, saya harus berangkat ke sekolah, melewati jalan berlika-liku, berbukit-bukit, semak-semak, menyeberangi sungai, dan berlari menuju sekolah. Saya enggak tahu berapa kilometer jaraknya. Cuma, yang saya tahu, kami harus berkumpul dan beramai-ramai ke sekolah pukul setengah lima, dan sampai di sekolah sekitar pukul 07.00.”
Sampai cerita ini, saya tercekat. Ngilu, dan tidak bisa berkomentar banyak. Sementara itu, Rahman hanya manggut-manggut, sambil memainkan singkong rebus dan seruput teh di mulutnya. Mungkin bagi Rahman cerita Mauluddin bukanlah sesuatu yang aneh. Ia pun kembali memberi isyarat agar Mauluddin meneruskan ceritanya.
“Ya, kak. Jadi begitu setiap hari, selama bertahun-tahun. Jadi, kalau kami terlambat beberapa jam, aku dan teman-teman harus lomba lari menuju sekolah. Melewati semak berduri, tergelincir batu kali, atau terjerembap ke tanah, adalah hal biasa kalau kami terlambat menuju sekolah. Sampai sekolah, kadang-kadang kami harus langsung menerima pelajaran, sementara napas kami masih tersengal-sengal. Ada puluhan murid asal mukim kami yang setiap hari janjian berangkat dan pulang sekolah bareng.”
“Kejadian tsunami pada 2004 menambah derita kami. Selepas SD, kami harus sekolah SMP yang jaraknya malah lebih jauh. Sebelum tsunami, masih lumayan karena sehabis jalan kaki dan berlari, kami naik *labi-labi di kota Aceh menuju sekolah. Setelah tsunami, hampir tak ada labi-labi yang jalan. Akhirnya, kami mengharapkan tumpangan dari truk-truk yang mengangkut barang, makanan, atau tanaman panen ke Leupung. Sambil berjalan, kami menanti truk-truk yang lewat. Untungnya mereka itu baik-baik, dan selalu mau kami tumpangi. Untungnya, pak guru di sekolah juga tidak pernah memarahi kami. Mungkin mereka maklum karena jarak rumah dan sekolah sangat jauh. Kata mereka, yang penting kami tetap masuk meski terlambat.”
Mauluddin mengaku pernah beberapa kali datang terlambat dan baru tiba di sekolah pukul 10.00. Namun ia tetap diperbolehkan mengikuti pekerjaan selama beberapa jam. Para guru, kata Mauluddin, tidak memaksakan anak-anak harus datang tepat waktu. “Yang penting kami harus sekolah, meski datang pukul 11 siang. Tapi, kami sering malu kalau terus-terusan datang terlambat,” lanjut Mauluddin.
Saya masih tertegun mendengar cerita Mauluddin. Pukul 03.00, berarti anak-anak di mukim ini sudah bangun. Di saat saya dan banyak orang di Jakarta masih molor mendengkur, mereka sudah mempersiapkan diri untuk sebuah perjalanan yang melelahkan. Di saat banyak orang masih menyisakan mimpi, anak-anak belasan tahun ini sudah berjibaku dengan waktu. Dengkul ini tiba-tiba terasa lemas. Batin masih ngilu. Seruput teh itu tiba-tiba juga getir, dan singkong yang manis itu seperti tak berasa. “Hai, Bro! Wellcome to the jungle! Haaaa….haaa….haaa….!” tawa Rahman membuyarkan lamunanku.
Saya coba mengalihkan pembicaraan. “Bu, buat makan sehari-hari dan biaya sekolah dari mana, Bu?” tanyaku pada ibu Mauluddin. “Ya itu, ada bantuan pemerintah daerah. Dan, kami masih punya kebun dan ladang peninggalan bapak Mauluddin untuk menyambung hidup. Masih lumayanlah buat menyambung hidup dan sekolah anak-anak,” ujar sang ibu. “Dulu bapak Mauluddin sempat berpesan, agar Mauluddin harus tetap sekolah. Minimal SMA, kata bapaknya. Mungkin itulah, bapaknya masih punya peninggalan ladang dan kebun.”
“Bu, kalau boleh, saya mau berjalan-jalan dengan Mauluddin di kebun belakang, melanjutkan ngobrol” ujar saya. “Silakan, silakan,” jawab sang ibu. Angin terasa makin kencang saja setiba kami di kebun belakang. “Jadi, Din, karena setiap hari kamu berlari, melompat, meloncat, kamu jadi terbiasa dan terlatih lomba atletik?” ujar saya memecah kesunyian yang sedari tadi didominasi suara embusan angin yang menarik-narik baju dan rambut kami.
“Dari penjelasan Pak Agus waktu itu, saya jadi tahu bahwa atletik intinya adalah apa yang bertahun-tahun saya kerjakan dengan kawan-kawan semukim. Melompat, berlari, meloncat, itu hal-hal yang biasa saya lakukan. Jadinya, saya terbiasa dan ringan ketika hal-hal itu dilombakan. Kaki-kaki kami sudah terbiasa diajak meloncat dan berlari sekencang-kencangnya. Lompat jauh, lompat tinggi, lari cepat, atau lari jarak jauh jadi bukan hal yang aneh lagi buat saya. Karena itu, sewaktu Pak Agus menyuruh saya melakukan hal itu, saya jadi ringan melakukannya,” ujar Mauluddin.
Campur aduk pikiran saya waktu itu. Tiba-tiba, saya jadi geli sendiri. Ingin tertawa sendiri rasanya. Rupanya, keterbatasan anak-anak ini telah membawa manfaat ketika mereka diberi kesempatan untuk berkembang. Tak perlu susah-susah mencari bibit-bibit atletik di negeri ini rupanya. Stoknya ternyata sangat berlimpah di wilayah-wilayah terpencil Tanah Air.
“Jadi, waktu mengikuti lomba itu, saya dengan mudah menjadi pemenangnya. Begitu juga waktu ke Jakarta, saya hampir memenangi semua pertandingan yang diperlombakan. Saya hanya kalah di lempar lembing, tolak peluru, dan lempar cakram. Kalah sama yang badannya gendut-gendut,” kata Mauluddin, disambut tawa renyah kami bertiga. “Tapi, saya menang di lompat jauh, lompat tinggi, lari jarak 100, 200, 400, dan 5.000 meter.”
“Bangga dong Din?” tanya Rahman. “Wah, senangnya minta ampun. Waktu menang di tingkat kecamatan dan kabupaten Aceh Besar saja, sekolah kami jadi terkenal. Sekolah SMP yang muridnya cuma belasan orang sekelas. Pak Agus sangat bangga, dan kami sering muncul di koran-koran di Aceh. Kini lemari sekolah kami penuh dengan piala-piala, yang tadinya tidak ada sama sekali. Apalagi waktu menang di tingkat nasional, setiap hari cerita soal itu. Kepala sekaolah dan Pak Agus diundang Pak Camat, Bupati, dan katanya sebentar lagi kami diundang Gubernur.”
Tak terasa, cukup lama juga kami mengobrol dengan Mauluddin. Sembari break sebentar, saya menyempatkan diri mengambil beberapa gambar Mauluddin di beberapa sudut. Saya juga meminta keluarga ini terabadikan dalam foto. Sejenak saya melihat Ika, adik Mauluddin nomor dua. Saya pikir, ia sekarang bersekolah SD. Perasaan ngilu lagi-lagi menghinggapi badan ini, membayangkan perempuan mungil itu bangun pukul setengah 4 pagi, berjalan melewati semak, rumput liar, lumpur, mengarungi anak sungai, lembah, dan berlari bila kesiangan menuju sekolah. Tiap hari! Sekali lagi: setiap hari! Berkali-kali saya memotret wajah polosnya, berkali-kali pula perasaan ini ngilu dibuatnya.
“Nanti, kalau berita mengenai kamu ini sudah terbit, saya berjanji akan mengirimkannya lewat Rahman. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi, di lain waktu dan kesempatan. Teruslah berlari, sampai kamu bisa meraih apa yang kamu cita-citakan,” kataku kepada Mauluddin, menjelang kepulangan saya dari rumahnya. Kami berpelukan. Perasaan haru, kelu, seperti tersendat di tenggorokan. Bersama Rahman, kami meninggalkan keluarga itu. Sunyi, senyap, hanya embusan angin yang masih kencang mengiringi langkah-langkah kami menyusuri semak, lumpur, sungai, menuju tempat saya menginap.
“Gimana, Bro? Dapat bahan yang cukup, kan?” ujar Rahman sesampai di losmen tempat saya menginap. “Ya, terima kasih. Tapi, sepertinya harus ada sesuatu yang nanti saya sampaikan ke atasan dan rekan-rekan. Terlalu sederhana dan naif kalau media kita hanya mengekspose Mauluddin hanya untuk mengejar berita. Hal-hal seperti ini harus kita sampaikan kepada pihak yang berkepentingan. Anak-anak seperti Mauluddin harus diberi ruang supaya bisa berkembang lebih hebat lagi, di berbagai bidang, terutama bagi mereka yang masih kurang beruntung tinggal di pelosok-pelosok,” ujar saya bersemangat.
Mendengar ucapan saya, Rahman sempat tertegun. “Haaa…haaa… Sudahlah, Bro. Tak perlu banyak bermimpi. Sekarang, kumpulkan bahan, foto, dan wawancara dengan narasumber lainnya, selesaikan tugas di sini, mumpung belum sampai kantor, dan tulis yang bagus mengenai kisah Mauluddin. Oke?” ujar Rahman tanpa saya tahu apa yang ada di benaknya. Mimpi? Ah, saya masih terus bertanya apa maksud Rahman tentang mimpi yang dia maksud.
Esok harinya, setelah menjumpai beberapa narasumber yang diperlukan untuk menambah bahan tulisan, saya langsung berpamitan dengan Rahman. Sesungging senyuman mampir di bibirnya, dan bersalaman tanda pamitan. “Siap, Bro! Salam untuk rekan-rekan di Jakarta!” ujarnya.
Baca Juga: Selamat Datang Rio
Angin masih berembus cukup kencang di pengujung 2008 itu. Segudang pertanyaan tanpa jawaban menemani saya menuju Bandara Iskandar Muda. Sambil menikmati suasana Aceh Besar menuju Banda Aceh, saya sudah membayangkan dan mengira-ngira tulisan yang bakal saya buat nanti. Saya sudah membuat kerangka angle tulisan saya tentang Mauluddin. Sebuah judul bahkan tiba-tiba muncul untuk mengawali tulisan saya nanti: “Si Mata Pisau dari Leupung”. Entah kenapa, tiba-tiba judul itu melintas-lintas di benak. Mungkin, terbayang mata si Mauluddin yang berkaca-kaca dan berkilat-kilat sewaktu dia bertutur tentang kisahnya tadi. Atau, semangatnya yang tanpa menyerah merobek-robek kemapanan hingga dia menjadi yang terbaik. Atau, kisahnya yang penuh ironi dan menyayat-nyayat batin saya, hingga saat mendengar kisah dan mengetahui keberadaannya, hati ini seperti ngilu. Entahlah…
*Labi-labi adalah nama yang diberikan masyarakat Aceh untuk angkutan umum sejenis angkutan kota.
*Kecamatan Leupung merupakan salah satu wilayah yang mengalami dampak serius akibat gempa dan gelombang tsunami 2004 yang mengakibatkan kehancuran harta benda dan korban ribuan nyawa masyarakat setempat.
(S. Maduprojo)