27 July 2024

Artefak perempuan duduk dengan tablet di pangkuannya. Sumber foto: Museum Morgan

Jutaan, bahkan miliaran, orang telah menciptakan puisi. Mereka menginterpretasikan pikiran, amarah, tangisan, ataupun kegembiraan lewat kata-kata yang menghanyutkan, penuh kegusaran, kegelisahan, kepedihan, dan tawa.

Para penyair telah meninabobokan dan menyihir warga dunia. Puisi pun telah menjadi salah satu media kontemplatif seseorang. Tapi bagaimana puisi dulu tercipta dan siapa pula yang diklaim menjadi penulis puisi pertama di jagat ini?

Awalnya Berupa Himne

Puisi sebagai bentuk seni lisan diyakini sudah ada sebelum teks tertulis tercipta. Bentuk puisi paling awal ditelusuri berupa bacaan, mantra, ataupun nyanyian, yang digunakan sebagai cara untuk mengingat sejarah, silsilah, ataupun aturan hukum.

Banyak ujaran puitis yang bertahan dari zaman kuno berupa rekaman doa atau cerita tentang pokok bahasan keagamaan, yang juga mencakup catatan sejarah, petunjuk untuk aktivitas sehari-hari, lagu cinta, ataupun fiksi.

Bentuk ujaran yang berirama dan berulang-ulang merupakan salah satu kiat atau trik membuat cerita yang panjang lebih mudah diingat dan diceritakan kembali, sebelum tulisan atau teks tersedia sebagai pengingat. Karena itu, untuk membantu hafalan dan penyebarannya secara lisan, karya-karya yang berasal dari masyarakat prasejarah/kuno diduga pertama kali disusun, antara lain, dalam bentuk himne atau nyanyian puja-puji—dari Weda (1500–1000 SM) hingga Odyssey (800–675 SM). Himne, alias gita puja, merupakan sajak lirik yang dinyanyikan untuk memuliakan Tuhan atau sesuatu yang dimuliakan, seperti pahlawan bangsa dan cita-cita. Puisi sering kali berkaitan erat dengan tradisi musik dan puisi paling awal diyakini berbentuk himne atau nyanyian pujaan serta jenis nyanyian lainnya.

Dalam ranah sejarah puisi dunia, nama Enheduanna hampir tidak terdengar. Padahal pendeta wanita Sumeria itu diyakini sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah awal terbentuknya puisi di muka bumi ini.

Merujuk pada sebuah tulisan di History.com, para sejarawan meyakini bahwa Enheduanna adalah “penulis puisi pertama”, lebih dari satu milenium sebelum Homerus—pengarang wiracarita Yunani yang hidup sekitar 700 SM, terkenal dengan mahakaryanya, dua puisi epik Illiad dan Odyssey; mini epik komedi Batrakhomiomakchia; korpus Himne Homeros; serta komik tiruan-epik Margites. Lantas, siapakah Enheduanna ini?


Mengadu lewat Himne

Enheduanna diriwayatkan lahir di Mesopotamia (bagian dari Irak modern) pada sekitar abad ke-23 SM. Dia adalah putri Sargon dari Akkad (2334–2279 SM), atau Sargon Agung, raja yang mendirikan Kekaisaran Akkadia, yang membawa bangsa Akkadia dan Sumeria di bawah satu kekuasaan. Enheduanna tidak hanya memiliki pengaruh agama, politik, dan ekonomi yang besar, tapi juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada sastra dunia dengan mengarang karya-karya luar biasa dalam bahasa Sumeria.

Alkisah, Sargon menunjuk Enheduanna sebagai pendeta tinggi dewa bulan Nanna di Kota Ur, Sumeria. Satu waktu, seorang raja Sumeria—sejumlah literatur menerjemahkan “raja” ini adalah seorang pemberontak bernama Lugalanne—memecat Enheduanna dari jabatannya dan mengasingkannya.

Enheduanna lalu mengadu kepada dewi Inanna tentang hal ini dalam himnenya yang diterjemahkan menjadi The Exaltation of Inanna, yang menggambarkan kudeta dan permohonannya kepada Inanna untuk memulihkan posisinya. Beberapa kutipan dari The Exaltation of Inanna berbunyi: “He made me walk a land of thorns/He took away the noble diadem of my holy office/He gave me a dagger: ‘This is just right for you,’ he said—Dia membuatku berjalan di negeri yang berduri/Dia merampas mahkota mulia dari jabatan suciku/Dia memberi saya belati: ‘Ini tepat untukmu,’ katanya/.”

Menurut Zainab Bahrani, profesor sejarah seni dan arkeologi di Universitas Colombo serta penulis Women of Babylon: Gender and Representation in Mesopotamia, Enheduanna menggambarkan “perlakuan tidak hormat” selama kudeta itu dan, di satu bagian, sepertinya dia menggambarkan “pelanggaran seksual” dari sudut pandang yang paling pribadi.

Masih dalam The Exaltation of Inanna, Enheduanna menyatakan mendapatkan kembali posisinya sebagai pendeta tinggi dan memuji Dewi Inanna yang membuat hal itu terjadi. Selain itu, ia merefleksikan proses kreatif menulisnya dan membandingkan komposisi puisinya dengan kondisi saat melahirkan: “Aku telah melahirkan, wahai Nona yang Agung, (lagu ini) untukmu.”

Karya lainEnheduanna di antaranya Temple Hymn 42, Temple Hymn 26, Temple Hymn 22, Temple Hymn 7, Temple Hymn 15, dan Lament to the Spirit of War. Karya-karya ini diduga dibuat Enheduanna sekitar 2285-2250 SM.

Anti-Anonim

Enheduanna memang bukanlah orang pertama yang menulis puisi atau himne karena sebelumnya telah banyak himne tercipta dalam bentuk anonim. Namun yang membuat karyanya unik adalah dia menulis dari sudut pandang orang pertama dan mengklaim sebagai penulis karyanya, bukan lagi anonim. Dalam kompilasi himne yang diaransemennya, dia kerap menambahkan catatan: “Penyusun tablet (lempengan batu/tanah liat) ini adalah Enheduanna. Rajaku, sesuatu telah dihasilkan, yang belum pernah dihasilkan oleh siapa pun sebelumnya”.

Karya-karya himne Enheduanna sebagian besar dituangkan atau diabadikan dalam aksara paku (kuneiform) pada papan tanah liat, meski yang tersisa sekarang cuma salinannya yang diperkirakan berasal dari tahun 1800 SM. Selama ratusan tahun setelah kematiannya, menurut Sidney Babcock, kurator pameran “She Who Wrote: Enheduanna and Women of Mesopotamia, ca. 3400–2000 B.C.” yang dilangsungkan di Perpustakaan dan Museum Morgan di Kota New York pada 14 Oktober 2022-19 Februari 2023 lalu, The Exaltation of Inanna menjadi teks penting di sekolah-sekolah juru tulis dan menjadi bagian dari sepuluh teks kanonik atau kurikulum inti yang kemudian diajarkan hingga 500 tahun kemudian.  Namun nama Enheduanna justru seakan “tenggelam” sebagai salah seorang wanita pertama yang menulis puisi. Bahkan, setelah karyanya ditemukan kembali pada 1927, menurut Sidney Babcock, para sejarawan dinilai lambat mengenalinya karena tidak mengaitkan literasi dengan perempuan pada periode ini.

Padahal, menurut Babcock, ada salah satu artefak yang dipamerkan dalam “She Who Wrote” itu, yakni patung seorang wanita dengan lempengan tanah di pangkuannya, yang disinyalir berasal dari tahun 2112 hingga 2004 SM. Bagi Babcock, yang merupakan Kepala Departemen Seal (Segel) dan Lempengan Kuno Asia Barat di The Morgan, patung ini menunjukkan hubungan antara perempuan dan literasi.  Bahkan, saat ini, beberapa pakar berpendapat bahwa Enheduanna tidak menulis karyanya sendiri dan dari sudut pandang orang pertama—salah satu teori menyatakan seorang juru tulis laki-laki menyusun teks atas namanya.

Terlepas dari perdebatan ini, dan menilik zamannya, Enheduanna adalah kisah kuno tentang wanita cerdas dan kuat yang tak hanya punya pengaruh dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, tapi juga melahirkan karya-karya puisi berupa himne yang tentu saja luar biasa di zamannya.

Berikut ini beberapa penggalan terjemahan dari The Exaltation of Inanna, salah satu karya penting Enheduanna.

(1)
Yes, I took up my place in the sanctuary dwelling,
I was high priestess, I, Enheduanna.
Though I bore the offering basket, though I chanted the hymns,
A death offering was ready, was I no longer living?
I went towards light, it felt scorching to me,
I went towards shade, it shrouded me in swirling dust.
A slobbered hand was laid across my honeyed mouth,
What was fairest in my nature was turned to dirt.
O Moon-god Suen, is this Lugalanne my destiny?
Tell heaven to set me free of it!
Just say it to heaven! Heaven will set me free!
[…]

When Lugalanne stood paramount, he expelled me from the temple,
He made me fly out the window like a swallow, I had had my taste of life,
He made me walk a land of thorns.
He took away the noble diadem of my holy office,
He gave me a dagger: ‘This is just right for you,’ he said.

*Di bagian (1) ini, Enheduanna mengisahkan tentang Lugalanne, pemberontak yang menyingkirkan dirinya.

(2)
The almighty queen, who presides over the priestly congregation,
She accepted her prayer.
Inanna’s sublime will was for her restoration.
It was a sweet moment for her [Inanna], she was arrayed in her finest, she was beautiful beyond compare,
She was lovely as a moonbeam streaming down.
Nanna stepped forward to admire her.
Her divine mother, Ningal, joined him with her blessing,
The very doorway gave its greeting too.
What she commanded for her consecrated woman prevailed.
To you, who can destroy countries, whose cosmic powers are bestowed by Heaven.
To my queen arrayed in beauty, to Inanna be praise!

*Di bagian (2) ini, Enheduanna meminta bantuan dewi Inanna karena dewa bulan Nanna, yang dia layani, tetap tak acuh terhadap permohonannya. Untungnya, Inanna menerima doanya, dan Enheduanna dikembalikan ke jabatannya.

BACA JUGA: DONOR


(S. Maduprojo, sumber rujukan History.com, Themorgan.org, Hellopoetry.com, dan berbagai sumber lainnya)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *