Film produksi Universal Pictures ini disebut-sebut sebagai salah satu film fenomenal tahun ini. Film ini didasarkan pada buku biografi American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (2005) karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin. Buku ini, antara lain, memenangi Penghargaan Pulitzer—penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat—pada 2006 untuk kategori Biografi dan Autobiografi.
Menurut Universal Pictures, dalam pemutaran opening weekend, film Oppenheimer telah menghasilkan US$ 93,7 juta (sekitar Rp 1,4 triliun) di pasar internasional, sehingga total globalnya menjadi US$ 174,2 juta (setara dengan Rp 2,6 triliun). Angka penjualan itu memang masih di bawah film Barbie, yang dirilis bersamaan dengan Oppenheimer. Menurut Warner Bros, yang memproduksi Barbie in The Movie, film ini telah meraup US$ 155 juta (setara dengan Rp 2,3 triliun) pada akhir pekan pembukaannya. Di seluruh dunia, debut Barbie diperkirakan menghasilkan US$ 337 juta (sekitar Rp 5 triliun). Film-film tersebut muncul pada saat bioskop-bioskop sedang berjuang karena kalah bersaing oleh platform streaming, seperti Netflix dan sejenisnya. Tapi, siapakah Oppenheimer?
Bapak Bom Atom
Julius Robert Oppenheimer (1904-1967) adalah seorang fisikawan teoretis Amerika Serikat. Selama Proyek Manhattan, Oppenheimer menjabat Direktur Laboratorium Los Alamos yang bertanggung jawab atas penelitian dan desain bom atom. Proyek Manhattan, atau dikenal dengan Manhattan Engineering District, merupakan proyek riset pada Perang Dunia II untuk mengembangkan senjata nuklir pertama. Proyek yang berlangsung pada 1942-1946 dan disebut-sebut sebagai salah satu proyek paling rahasia serta ambisius dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipimpin Amerika Serikat dengan bantuan Britania Raya dan Kanada.
Oppenheimer dikenal sebagai “bapak bom atom”. Selama Perang Dunia II, dia memimpin tim ilmuwan yang ditugasi membuat senjata yang akan mengubah jalannya perang. Proyek ini merancang, memproduksi, dan meledakkan tiga bom nuklir pada 1945. Yang pertama menggunakan plutonium dibuat di Hanford dan diuji coba pada 16 Juli di Situs Trinity, dekat Alamogordo, New Mexico. Yang kedua, bom uranium bernama Little Boy yang diledakkan pada 6 Agustus di Kota Hirosima, Jepang. Dan yang ketiga, bom plutonium yang disebut Fat Man diledakkan pada 9 Agustus di Kota Nagasaki, Jepang. Sejarah kelam Proyek Manhattan ini, juga tokoh Oppenheimer, pernah difilmkan dalam Fat Man and Little Boy yang dirilis pada Oktober 1989.
”Sekarang saya menjadi maut, penghancur dunia”
Di antara pro-kontra penggambaran tokoh Oppenheimer, satu hal yang membuat gagal fokus dalam film ini adalah saat adegan hubungan intim antara Oppenheimer (diperankan Cillian Murphy) dan selingkuhannya, Jean Tatlock (Florence Pugh). Di sela adegan mesra itu, mata Jean menangkap sebuah buku, Bhagavad-Gita, di rak. Ia pun meminta Oppenheimer membacakan untuknya. Muncullah kalimat “Now I am become Death, the destroyer of worlds”—“Sekarang aku menjadi maut, penghancur dunia”. Menurut sejumlah literatur, adegan intim antara Oppenheimer dan Jean serta Bhagavad-Gita hanyalah rekaan dalam film. Bhagavad-Gita memang salah satu buku kesukaan Oppenheimer. Tapi kalimat “Now I am become Death, the destroyer of worlds” diragukan diucapkan saat Oppenheimer sedang bercinta dengan Jean. Tak ayal, film Oppenheimer sempat mendapat protes keras dari penganut agama Hindu, terutama masyarakat Hindu di India. Mereka menuntut agar Christopher Nolan menghapus adegan yang dinilai melecehkan salah satu kitab suci Hindu tersebut.
BACA JUGA: Dari 9 Wali hingga Musafir-musafir Gimbal
Dalam kenyataannya, seperti terdokumentasikan dalam film dokumenter NBC News pada 1965 berjudul The Decision to Drop the Bomb, tepatnya pada menit 1:05:04 tayangan tersebut, Oppenheimer memang mengutip sebuah teks dari Bhagavad-Gita. Sempat menyeka air matanya, Oppenheimer mengatakan, “Now I am become Death, the destroyer of worlds”, sambil menonton bom atom yang pertama kali meledak selama masa uji coba.
Kutipan lengkap Oppenheimer dalam film dokumenter tersebut lebih-kurang berbunyi: “Kami tahu dunia tidak akan sama. Beberapa orang tertawa; beberapa orang menangis. Kebanyakan orang diam. Saya ingat bunyi baris dari kitab suci Hindu, Bhagavad-Gita; Wisnu sedang mencoba meyakinkan sang pangeran bahwa ia harus melakukan tugasnya. Untuk membuatnya terkesan, mengambil wujudnya yang memiliki banyak senjata, ia berkata, ‘Sekarang saya menjadi maut, penghancur dunia.’ Saya kira kita semua berpikir begitu, satu atau lain cara.”
“Kesedihan” Oppenheimer itu cukup beralasan. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan di Nagasaki diprediksi telah merenggut 200 ribu lebih nyawa manusia. Bayangkan, itu baru si Little Boy dan Fat Man! Tapi, lagi-lagi, sejumlah sejarawan ragu akan klaim Oppenheimer “menyesal” telah menciptakan bom atom dan mengucapkan kalimat tersebut saat uji coba. Frank Oppenheimer, saudara laki-lakinya yang hadir dalam uji coba tersebut, ingat Oppenheimer mengatakan sesuatu, seperti “Saya kira itu berhasil,” segera setelah ledakan bom terjadi. Ia juga diyakini mengutip ayat lain dari Bhagavad-Gita saat uji coba tersebut, yakni: “Jika pancaran seribu matahari meledak sekaligus di langit, itu akan seperti kemegahan Yang Mahakuasa”. Itu adalah bagian Bab 11 seloka 12 yang ada di Bhagavad-Gita.
Apa Itu Bhagavad-Gita?
Kutipan “Now I am become Death, the destroyer of worlds” itu sebenarnya bukan murni berasal dari Bhagavad-Gita, melainkan parafrasa—pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah tingkatan atau macam bahasa menjadi tuturan yang lain tanpa mengubah pengertian—dari sebuah ayat dalam Gita.
Bhagavad-Gita atau Bhagawadgita merupakan bagian kecil dari kitab Mahabharata. Bentuknya berupa dialog yang dituangkan dalam syair. Dalam dialog ini, Sri Kresna atau Krishna, personalitas Tuhan yang Maha Esa, adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat Vedanta—atau Wedanta, salah satu aliran dalam filsafat Hindu yang sering juga disebut Uttara Mimamsa, yaitu “penyelidikan yang kedua”, karena ajaran ini mengkaji salah satu bagian kitab Weda, yaitu kitab Upanisad. Sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna, menjadi pendengarnya. Secara harfiah, Bhagavad-gita berarti “Nyanyian Sri Bhagawan”—Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan.
Bhagavad-Gita terdiri atas 18 bab atau percakapan. Masing-masing dengan tema tertentu. Bab 1 bertema Arjuna Visada Yoga atau Kegelisahan Diri, yang terbagi menjadi 47 seloka (bait); Bab 2 tentang Samkhya Yoga atau Akal Sehat yang terbagi menjadi 72 seloka; Bab 3 tentang Karma Yoga atau Berkarya tanpa Pamrih, terbagi dalam 43 seloka; Bab 4 tentang Jnana Karma Sanyasa Yoga alias Jalan Pengetahuan dan Disiplin Tindakan yang terbagi dalam 42 seloka; Bab 5 tentang Samnyas Yoga alias Jiwa Merdeka yang terbagi dalam 28 seloka; Bab 6 tentang Dhyana Yoga atau Meditasi yang terbagi dalam 47 seloka; Bab 7 tentang Jnana Vijnana Yoga atau Hyang tak Nyata atau Hyang Nyata yang terbagi dalam 30 seloka; Bab 8 tentang Aksara Brahma Yoga atau Aku dan “Aku” yang terbagi dalam 28 seloka; Bab 9 tentang Raja Widya Raja Guhya Yoga atau Pengetahuan Rahasia yang terbagi dalam 34 seloka; Bab 10 tentang Vibhuti Yoga atau Kemuliaan Hyang Mulia yang terbagi dalam 42 seloka; Bab 11 tentang Visvarupa Darsana Yoga tentang Melihat Wajah-Nya yang terbagi dalam 55 seloka; Bab 12 tentang Bhakti Yoga atau Jalan Kasih yang terbagi dalam 20 seloka; Bab 13 tentang Ksetra Ksetrajna Vibhaga Yoga atau Medan Laga dan Mengenalnya yang terbagi dalam 34 seloka; Bab 14 tentang Gunatraya Vibhaga Yoga atau Sifat-sifat Alami yang terbagi dalam 27 seloka; Bab 15 tentang Purusottama Yoga atau Manusia Utama yang terbagi dalam 20 seloka; Bab 16 tentang Daivasura Sampad Vibhaga Yoga atau Mulia dan Tidak Mulia yang terbagi dalam 24 seloka; Bab 17 tentang Saddhatraya Vibhaga Yoga atau Beragam Keyakinan yang terbagi dalam 28 seloka; serta Bab 18 tentang Moksa Samnyas Yoga atau Kebebasan Mutlak yang terbagi dalam 78 seloka. Keseluruhan ayat dalam kitab ini sebanyak 700 ayat.
Nah, kalimat “Now I am become Death, the destroyer of worlds” itulah yang disitir Oppenheimer, dari Bab 11 bait ke-32 yang berbunyi:
– Sri-bhagavan uvaca: kalo smi loka-ksaya-krt pravrddho, lokan samahartum iha pravrttah, rte pi tvam na bhavisyanti sarve, ye vasithah pratyanikesu yodhah.
– Tuhan Yang Maha Esa bersabda: akulah Sang Kala, waktu hyang berkuasa, pemusnah alam semesta. Saat ini aku berkehendak untuk memusnahkan mereka semua. Sekalipun tanpa bantuanmu, Arjuna, para ksatria di kubu lawan pasti binasa.”
Ilmu Pengetahuan Abadi
Bhagawadgita ditulis oleh Sri Krishna Dvipayana Vyasa alias Resi, tertanggal paruh kedua milenium pertama Sebelum Masehi. Kitab ini merupakan bagian ke-23 sampai ke-40 dalam Bhishma Parva dari wiracarita Mahabharata. Bhagawadgita merupakan ajaran universal yang diperuntukkan seluruh umat manusia sepanjang masa. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Umat Hindu yakin Bhagawadgita merupakan ilmu pengetahuan abadi. Ia sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.
Ayat-ayat dalam Bhagavad-Gita telah menginspirasi sejumlah tokoh dan pemikir, seperti Sri Aurobindo, Swami Vivekananda, Mahatma Gandhi, Aldous Huxley, Henry David Thoreau, J. Robert Oppenheimer, Ralph Waldo Emerson, Carl Jung, Bulent Ecevit, Hermann Hesse, Heinrich Himmler, George Harrison, dan Nikola Tesla. Sumber utama doktrin Karma Yoga—salah satu macam yoga dalam agama Hindu—dalam bentuknya yang sekarang adalah Bhagavad-Gita. Filsafat dan penjelasan mengenai Yoga ini diuraikan dalam Bab 3 tentang Karma Yoga.
Henry David Thoreau (1817-1862), pemikir dan penulis terkemuka Amerika, menggambarkan Bhagavad-Gita sebagai “Setiap pagi kusirami intelekku dengan filsafat Bhagavad-Gita yang sangat luas dan dahsyat; jika dibanding dengannya, literatur modern terasa sangat kecil dan tidak berarti…”
(S. MADUPROJO; DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER)
Film sangat bagus
Betul sekali.