Agustin Sumardjo namanya. Ia sosok perempuan yang cukup jelita. Penampilannya tipikal wanita karir masa kini. Sarjana Ilmu Hubungan Masyarakat. Gaya bicaranya selalu bersemangat, intelek, dan ambisius. Namun, di balik “kesempurnaan” Agustin sebagai perempuan, ada satu hal yang terus menjadi tanda tanya banyak orang, baik teman-teman kerja maupun tetangga sekitar rumahnya: hingga usianya yang ke-32 tahun, ia belum juga memilih pasangan hidup.
Bukannya Agustin tidak pernah pacaran. Malahan, ia terbilang sering gonta-ganti pacar. Dan hal itu tentu saja wajar karena ia bukan tipe perempuan yang susah mendapatkan laki-laki. Selain cukup cantik, bidang kerjanya juga memberikan kesempatan kepadanya untuk sering berhubungan dengan klien-klien yang rata-rata para lelaki kantoran dan eksekutif. Sebagai staf bidang pemasaran dan promosi sebuah perusahaan yang lumayan bonafide, kesempatan untuk itu sangatlah terbuka.
Agustin mulai berpacaran serius ketika ia bekerja selepas lulus kuliah. Memang, ia punya prinsip yang juga didukung oleh keluarganya: tidak akan berpacaran serius sebelum benar-benar “matang” dan “mapan”.
Istilah matang bisa diterjemahkan sebagai siap secara lahir dan batin. Secara lahir sudah dewasa. Secara batin tentu saja juga siap. Kata mapan mungkin bisa diartikan sebagai bisa hidup mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. “Sandang, pangan, papan”. Mapan dalam benak Agustin adalah bekerja dengan penghasilan yang cukup. Mapan juga berarti siap hidup berumah tangga. Jika kedua pedoman itu bisa dilaksanakan, pasti tujuan rumah tangga yang sejahtera akan terwujud. Kira-kira, begitu pengertian kedua prinsip itu.
Kendati begitu, hal tersebut memang bukan harga mati yang diberlakukan keluarganya. Boleh-boleh saja meleset. Tapi, sedikitlah. Jangan banyak-banyak. Kalau ada komentar yang bernada miring, “bujang lapuklah”, “perawan tualah”, bagi keluarga Agustin, hal itu bukan sesuatu yang memalukan, justru sebuah “kebanggaan”, realistis. “Hidup zaman sekarang ini mesti serba hati-hati. Serba cermat dalam menyikapi hidup. Begitu juga dalam soal jodoh. Apalagi di belantara Jakarta seperti ini. Mesti hati-hati memilih calon suami,” demikian ibu Agustin pernah memberi nasihat. Agustin remaja dan saudara-saudaranya rupanya menginterpretasikan petuah orang tuanya itu dengan ekstrem. Bisa jadi mereka terbiasa hidup di lingkungan keluarga seperti itu. Kakaknya, Handoko, baru menikah di umur 40 tahun, setelah ia menduduki satu jabatan cukup penting di perusahaannya. Itu pun lantaran sebuah perjodohan. Bahkan kakak perempuannya yang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri hingga kini keterusan melajang. Adik laki-laki ibunya, yang tinggal di Malang, Jawa Timur, sampai tuanya tidak berani menikah.
Jadilah ia ketika sekolah dan kuliah sebagai wanita baik-baik yang tidak mudah tergiur oleh gairah cinta remaja. Namun, bukan perasaan seperti itu tak ada. Ada, tapi ia menanggapinya dengan santai-santai saja, dan tidak serius. Baginya kawan pria adalah teman biasa. Kawan ngobrol, curhat, berbagi kepentingan, dan sejenisnya. Padahal, tidak sedikit teman sekolah dan kuliahnya yang jatuh hati pada keanggunan Agustin. Namun, baginya, itu adalah aroma klise cinta di masa remaja. Kerja dulu, matang dulu, mapan dulu, baru “kenal” pria.
Pracoyo adalah laki-laki yang “resmi” menjadi pacar pertamanya. Pracoyo menjabat sebagai staf akunting di perusahaan tempat Agustin bekerja. Lelaki berumur sekitar 35 tahun asal Semarang, Jawa Tengah, itu sangat mendambakan Agustin. Ia mengagumi wanita berambut ikal itu. Bagi Pras—begitu Pracoyo biasa disapa—Agustin itu cerdas, sigap, dan menarik. Layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta, keduanya tampak mesra, baik di lingkungan kantor maupun di luar. Berbulan-bulan lamanya mereka menjalin kasih, menebar benih-benih asmara. Hampir setengah tahun mereka berpacaran. Suatu saat Pracoyo membuka pembicaraan untuk menjalin cinta yang lebih serius. Ia berniat meminang Agustin. Tapi, berbeda dengan kebanyakan reaksi gadis yang mendapatkan ungkapan seperti itu–berbunga-bunga–Agustin menjawab keinginan Pracoyo itu dengan menggantung. “Pras, kita baru setengah tahun pacaran. Lagi pula, apa sudah siap nanti kalau kita menikah. Kita tunggu sajalah Pras, setahun dua tahun ke depan…,” begitu Agustin kerap menjawab ketika Pracoyo berkali-kali mengingatkan keinginannya tadi. [Ah, andai saja Pracoyo tahu apa yang sedang dipikirkan Agustin…]
Karena ketidakjelasan itu, lama-lama Pracoyo jengah juga. Padahal, menurutnya, ia sudah siap lahir batin. Bahkan, sepengetahuan Pracoyo, ia merupakan laki-laki yang tidak jauh-jauh dari kriteria Agustin. Begitu juga tampaknya tidak ada halangan serius di luar hubungan mereka, keluarga misalnya. Akhirnya, setelah berkali-kali mengutarakan keinginannya, Pracoyo frustrasi juga. Ia pun tak mau lama-lama menjadi bujang lapuk dan menunggu sesuatu yang belum pasti. Namun, anehnya, ketika ia memilih lebih serius lagi bicara soal itu, bahkan mengancam bubaran segala, Agustin menerimanya dengan tenang-tenang saja. Enteng saja. “Ya, sudah, kalau kamu tidak sabar menunggu keinginan itu, saya pasrah saja. Mungkin sudah takdir hubungan kita berakhir dengan cara seperti ini,” tutur Agustin. Pracoyo pun semakin tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan Agustin. Hubungan mereka kandas sampai di situ.
[Kalau saja Pracoyo tahu…] “Halo Mas Indra, jadi enggak kita nonton? Jadi, ya…,” kata Agustin dengan manja, beberapa saat setelah kisah asmaranya dengan Pracoyo tamat. Begitulah, Pracoyo dan Indra bukan yang terakhir buat Agustin. Ia masih saja mencari yang benar-benar tepat untuk dirinya. Yang terbaik, yang memenuhi kata hatinya, kriterianya, supaya rumah tangganya nanti tidak menemui kesulitan berarti. Setelah Pracoyo dan Indra, masih ada Bachtiar, sebelum Agustin menambatkan hatinya kepada Herman.
Herman, laki-laki berdarah Jawa-Sumatra, alumnus sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jakarta yang kini menjadi asisten manajer sebuah bank swasta nasional. Agustin bertemu dengan lelaki tampan itu dalam jamuan makan malam sebuah peluncuran produk mobil. Sewaktu pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Herman, sorot mata lelaki berkumis tipis itu seperti meluluhkan segala pencarian Agustin selama ini. Menghentikan petualangan Agustin mencari yang terbaik. Renda-renda asmara pun mulai menyatukan Herman dan Agustin. Herman tampak sangat menyayangi Agustin. Ia mau mengerti dan memahami apa yang diinginkan Agustin. Bicaranya selalu nyambung, berwawasan. Seleranya tinggi. Maklum, keluarganya cukup berada. Cocok dengan keinginan Agustin selama ini. Dan, menurut Agustin, ia sangat beruntung karena Herman satu tahun lebih muda darinya. Alamak, tunggu apa lagi.
Sekitar empat bulan, Agustin seperti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan “emas” ini. Walaupun, dibandingkan dengan Pracoyo, masa empat bulan belumlah cukup untuk mengenal lebih jauh siapa dan bagaimana sebenarnya Herman. Tapi, entahlah, hati kecil Agustin seperti diyakinkan bahwa inilah saat yang tepat untuk mengakhiri petualangannya dan mendapatkan yang terbaik. Bagi Agustin, dibandingkan dengan sekian laki-laki yang dikenalnya, Herman adalah pilihan yang cukup sempurna di matanya. Kedua orang tuanya juga menerima Herman dengan sangat baik. Cuma, ketimbang ketiga pria yang serius dengannya dulu, kali ini Agustin perlu sedikit bekerja keras karena ia mesti mengutarakan maksudnya terlebih dahulu, untuk menjalin hubungan dengan lebih serius, alias menuju jenjang pernikahan. La, cowok satu ini memang agak pendiam dan dingin. Penampilannya kerap cool dan ingin terlihat berwibawa. Jauh dari romantis. Berbeda dengan Pracoyo, yang dulu sering membawakannya bunga atau sepucuk puisi bila sedang kangen kepadanya. Atau Indra yang kerap membelikannya CD lagu-lagu romantis. “Tak apa-apalah, mungkin ini pengaruh pekerjaannya yang menuntutnya untuk lebih serius. Dia kan seorang asisten manajer sebuah bank,” begitu Agustin pernah mengatakan kepada ibunya soal keseriusan Herman tadi. Jadi, untuk mengikat pujaannya itu, ya sedikit pakai trik “khawatir-khawatir” sedikitlah, takut “buruannya” lepas. Anehnya, Herman pun tak tampak gugup atau bersikap lain ketika Agustin nyerempet-nyerempet ke hal-hal yang lebih serius. Mungkin tidak ada lagi masalah yang mengganggunya bila sewaktu-waktu ia menikah. Tapi, kan, ia baru mengenal Agustin empat bulan? Atau, karena memang ia sudah cinta berat dengan Agustin. Hanya Hermanlah yang tahu. “Ya sudah Tin, kalau maumu begitu, aku menghormati keinginanmu, dan kita persiapkan pernikahan kita. Lagian, buat apa pacaran lama-lama? Bukan begitu sayang…,” kata Herman sambil membelai dengan mesra rambut Agustin. [Kalau saja Agustin tahu jalan pikiran Herman…]
Pernikahan dua insan anak manusia itu berlangsung meriah. Segala puja-puji syukur menghambur karena akhirnya keduanya dipertemukan dalam tali perjodohan yang sama-sama mereka inginkan. Di pelaminan, kedua pengantin itu tampak sangat berbahagia. Senyum dan tawa mereka lepas setiap mendapatkan ucapan selamat serta canda rekan-rekan dan keluarga. Tak ada tanda-tanda yang menjadi awal kepedihan hati Agustin, yang nanti akan menemani hari-harinya.
*
”Teng-teng-teng…” Dentang jam sebanyak 12 kali itu telah berhenti. Tapi, hati Agustin masih waswas. Detak jantungnya masih saja kencang. Setelah mengenakan selimut tidurnya, ia bergegas menuju ruang tamu untuk menunggui suaminya pulang. Menunggu ketersiksaan yang menemani hari-harinya. Menunggu laki-laki yang pulang terhuyung-huyung dan ngedumel atau mendampratnya karena dianggap terlalu lama membuka pintu. Menunggu apakah sebuah tamparan akan melayang di pipinya yang mulai tak ranum lagi itu.
[Plakk!!! ”Semua perempuan memang sama saja! Kau juga… perempuan jalang! Enggak pernah mengerti apa yang diinginkan laki-laki. Enggak pernah memahami apa yang menjadi kebahagiaan laki-laki! Buka pintu saja lelet!”]
*
“Teng…teng.” Pukul dua dini hari. Agustin tampak kusut duduk termenung di ujung tempat tidurnya. Di sisinya, suami pilihannya itu sudah pulas tersihir aroma minuman. Wajahnya yang tampak layu dan lemah semakin tampak lemah oleh pendar cahaya temaram lampu kamarnya. Jarum jam masih saja berdetak. Ingin rasanya ia membuang jam dinding itu. Ingin ia meremukkan jam itu. Menginjak-injaknya. Membuangnya di los rongsokan. Dentangnya seperti bilah pisau yang menyayat-nyayat urat batinnya. Jarum-jarumnya seperti irisan belati yang menyobek-nyobek perasaannya setiap malam. Namun, ia seperti tak kuasa melakukan itu. Ia seperti tertahan dan terkungkung di pusaran penanda waktu itu. Hari-harinya seperti penyakit napas yang membuatnya tersengal-sengal. Tak pernah sedikit pun terbayangkan kehidupan rumah tangganya seperti ini. Tak tebersit secuil pun hari-harinya bakal diisi dengan kenelangsaan seperti ini.
Beberapa bulir air mata tampak membasahi pipinya. Dengan terpejam, ia mencoba menahan keperihannya. Dia pun tidak berpikir untuk meninggalkan Herman atau membicarakan persoalannya itu kepada orang lain. Bagi Agustin, ia tetap menunggu satu keajaiban atas pilihannya itu dan mencoba melawannya dengan menahan segala kepedihannya saat ini. Hingga Herman sadar bahwa ia adalah suami pilihan yang selama ini diangankannya. Hingga Herman sadar bahwa istrinya begitu sangat mencintai dan mendambakannya. Dan, yang jelas, Agustin tidak mau ditertawakan oleh Pracoyo, Indra, dan Bachtiar, laki-laki yang pernah disakitinya…
Landmark, 2003
(S. Maduprojo)