25 November 2024
Menyapa Pangrango

FOTO: Istimewa/BH

Lereng Pangrango menyimpan banyak cerita. Salah satunya cinta Soe Hok Gie pada Lembah Mandalawangi.

SUDAH beberapa kali saya menyambangi wilayah Bogor-Cianjur-Sukabumi. Yang terbaru pada Sabtu, 27 Juli 2024, tepatnya di sekitar Cibodas. Keindahan, kesejukan, serta keteduhan dataran tinggi di sebelah selatan Jakarta ini memang sudah banyak yang tahu. Lukisan hidup berupa hamparan hijau pegunungan kebun teh, keindahan jajaran pinus, udara yang sejuk/dingin menembus tulang, curug-curug yang mengalirkan goresan putih air pegunungan, kehidupan perdesaan yang tenang, dan selimut halimun yang menawan menjadi beberapa daya tarik bagi banyak orang untuk datang dan datang lagi. Melepas penat, healing, atau “menguras” keruh paru-paru orang kota adalah sebagian alasan untuk merindukan tempat ini. Tapi, di antara beragam magnet yang membuat saya tak bosan datang ke wilayah ini, ada satu obyek lain yang sejauh ini cuma bisa saya sapa dan pandangi dari jauh: Gunung Gede-Pangrango. Seperti yang saya dapati saat ini.

BACA JUGA: Surya Kencana, Road of Never Sleeping


Banyak cerita di Pangrango. Salah satunya, Lembah Mandalawangi—kerap disebut alun-alun Mandalawangi—di lereng dekat puncak Pangrango. Inilah salah satu tempat favorit Soe Hok Gie—aktivis ’66 dan salah satu pendiri Mapala UI—kalau sedang penat di Jakarta. Mapala, antara lain, menjadikan lokasi ini sebagai tempat untuk menempa para calon pendaki. Oleh anak-anak Mapala, lembah ini kerap mereka sebut “halaman belakang”.

Gunung Gede Pangrango sebenarnya merupakan dua gunung kembar yang berbeda ketinggian, yang masuk wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Gunung Gede berketinggain 2.958 mdpl (di atas permukaan laut). Sedangkan tinggi Gunung Pangrango 3.019 mdpl. Keduanya dihubungkan oleh gigir gunung semacam sadel yang dikenal sebagai daerah Kandang Badak. Adapun Lembah Mandalawangi terletak sekitar 100 meter dari Puncak Pangrango. Lembah seluas sekitar 5 hektare ini merupakan satu dari dua padang bunga edelweis (Anaphalis javanica) di area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), selain lembah Suryakencana di dekat puncak Gunung Gede.

Selain kerap menepi di Lembah Mandalawangi, kecintaan Gie—begitu Soe Hok Gie kerap disapa—kepada Pangrango diwujudkannya lewat sebuah puisi berjudul Mandalawangi-Pangrango yang ia tulis pada 19 Juli 1966. Pada 1975—Gie meninggal di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969—makam Gie dibongkar. Tulang-belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Pangrango. Hasrat Gie pun seperti terwujud ketika ingin selalu mendekap di keabadian kesunyian Pangrango, seperti baris-baris kata dalam puisinya itu “…Aku datang kembali ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu dan dalam dinginnya…”


*Mandalawangi-Pangrango

Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
dan dalam dinginnya

walaupun setiap orang berbitjara

tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang tjinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku tjinta padamu. Pangrango jang dingin dan sepi

sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan

menjelimuti Mandalawangi
kau datang kembali
dan bitjara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian.

Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong

Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu.
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup.

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *