Lihat dan browsing saja di Google, jejak-jejak preman begitu banyak terarsip menghiasi ingar-bingar pesta demokrasi ini. Dalam pilpres 2019, ada sosok yang bernama Abdul Ghani Ngabalin. Ia mengaku sebagai Panglima Besar Cobra 08, salah satu barisan relawan pemenangan Prabowo-Sandi saat itu. Cobra sendiri singkatan dari Comando Barisa Rakyat untuk pemenangan Prabowo-Sandi. Nama lain Abdul Ghani Ngabalin adalah Kaka Cobra. Ia juga kerap dipanggil Cobra Hercules karena, sejatinya, ia adalah tangan kanan Hercules, salah satu mantan preman yang ditakuti di Indonesia, ketika Hercules masih menguasai Tanah Abang.
Dalam pilpres 2024 lalu, malah Hercules yang aktif turun langsung berjuang untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Melalui organisasi yang didirikannya, GRIB Jaya (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya), Hercules mendeklarasikan dukungan Prabowo-Gibran di berbagai daerah. Diketahui, semenjak Hercules pensiun dari dunia kepremanan, ia mendirikan organisasi sosial GRIB Jaya secara resmi, sebagai organisasi yang terafiliasi ke Gerindra, partai usungan Prabowo. Kegiatan Hercules sendiri kemudian banyak berkecimpung di dunia bisnis dan sosial. Banyak jejak digital, bagaimana ia membantu orang-orang yang terkena bencana, membantu pembangunan rumah ibadah, dan hal-hal empatik lainnya. Tentu masih diselang-selingi dengan sepak terjang kepremanan, seperti bagaimana ia konflik dengan Henki Haryadi, tokoh polisi reserse yang beberapa kali menjebloskan Hercules ke penjara. Henki, dianggap Hercules, masih saja mengincar dirinya untuk kembali memenjarakannya. Hercules kemudian mencabut pernyataannya, dan kasus selesai.
Mengapa sih, preman, kok kerap bersinggungan dengan berbagai kepentingan, termasuk hadir di ingar-bingar politik?
Asal Mula Preman
Kata “Preman” berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, “Vrije Man”, yang artinya ‘orang bebas’. Istilah ini mulai populer di Nusantara ketika masa Hindia Belanda, di area perkebunan seputar Medan, Sumatera Utara. “Vrije man” adalah sebutan untuk para pekerja kebun yang tidak terikat kontrak, para kuli yang bebas, dan semua kelompok yang tidak terikat oleh hubungan kerja dengan pemerintah Hindia Belanda. Para “vrije man” ini kehadirannya malah berkonotasi positif karena selalu membela masyarakat, terutama pekerja kebun yang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari penguasa perkebunan atau pemerintah kolonial.
“Vrije man” adalah kelompok yang sangat ditakuti oleh pimpinan perkebunan saat itu karena mereka sangat berani melakukan konflik terbuka secara fisik untuk melawannya. Karena itu, para pekerja kebun kerap menjadikan para “vrije man” ini sebagai back-up untuk melindungi mereka. Tak jarang, para “vrije man” ini diminta oleh pekerja untuk sekadar “nongkrong” di kedai atau warung sekitar perkebunan buat memastikan para pekerja kebun aman. Nah, dari sejarah kehadirannyaa saja, “vrije man” memang sudah bersinggungan dengan kekuasaan.
Baca Juga: Bila Negeri Dikuasai Gangsters
Lidah penduduk Nusantara yang selalu kelu melafalkan bebunyian berbau Eropa akhirnya terbiasa menyebut “vrije man” dengan kata “preman”. Maka sejak itu pula istilah “preman” membumi, seiring dengan pergeseran maknanya yang kemudian berubah.
Preman-preman Pejuang
Tanpa melihat aspek historis dan sosiologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan kata preman dengan sangat serampangan, yaitu ‘sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya)’. Definisi ini tidak tepat. Bila penodong, perampok, pemeras, adalah orang jahat yang melakukan tindak kriminal, maka “preman” ini belum tentu melakukan tindak kriminal. Preman lebih identik dengan orang atau sekelompok orang yang berlagak jagoan di suatu wilayah dan kerap menggunakan pengaruhnya untuk tujuan tertentu.
Sehabis masa kolonial, kehadiran preman di masa revolusi juga masih harum. Di tempat tumbuhnya istilah preman ini, yaitu Medan, para preman tergabung dalam beberapa laskar pejuang kemerdekaan. Kelompok preman pejuang yang paling terkenal pada masa itu adalah Laskar Naga Terbang yang dipimpin Timoer Pane. Menurut Forum Komunikasi Ex-Subteritorium VII Komando Sumatera dalam buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara, Laskar Naga Terbang ini kebanyakan anggotanya adalah jagoan-jagoan Medan binaan Matheus Sihombing.
Penghargaan untuk Preman
Menurut majalah Historia, hingga babak Orde Lama, keberadaan para preman masih mendapat tempat di hati masyarakat. Pada tahun 1950-an, Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar, bahkan memberikan penghargaan khusus kepada para preman karena berhasil mendamaikan perkelahian antara pemuda Aceh dan pemuda Batak. Saat itu, para preman juga kerap menerima aduan masyarakat yang mengalami pencurian, perampokan, pencopetan, dan membantu masyarakat untuk kembali menemukan barang-barangnya.
Pada 28 Oktober 1959, di masa Presiden Soekarno, Abdul Haris Nasution membentuk Pemuda Patriotik, cikal-bakal Pemuda Pancasila, yang banyak menghimpun anggotanya dari para preman, sebagai sayap organisasi Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada masa Pembebasan Irian Barat, Pemuda Pancasila tergabung dalam Front Pasukan Djibaku Irian Barat (PDIB) dan bertempur dengan gagah demi Tanah Air.
Hingga saat itu, konotasi preman masih bernilai positif. Bahkan Efendi Nasution, alias Pendi Keling, preman legendaris, mantan petinju dan Ketua Pemuda Pancasila wilayah Medan saat itu bilang, “Mencuri, merampok, dan tindakan kejahatan lainnya haram bagi preman.”
Aroma Kekerasan
Walau jauh dari tindak kejahatan, aroma kekerasan melekat dengan preman. Preman bukan bandit, kata Pendi Keling. Banyak cara terhormat untuk mendapatkan uang. “Misalnya, menjaga bandar dan terminal, menjadi pengawal bagi pengusaha kaya, menjaga keamanan bioskop, atau sesekali memukuli jagoan dari pengusaha lain,” katanya berkelakar, seperti dikutip Kompas.
Pada akhirnya, karena aktivitas preman kerap berhubungan dengan hal berbau kekerasan fisik, konotasi maknanya pelan tapi pasti mengalami pergeseran. Sementara pada masa kolonial dan perang kemerdekaan kehadirannya merepresentasikan kepentingan umum, pada masa pemerintahan Indonesia aktivitas fisik preman lebih banyak berhubungan dengan kepentingan kelompok tertentu, baik kelompok dirinya, kelompok pengusaha, maupun kelompok penguasa. Tak jarang, kemudian, antarkelompok preman pun terjadi gesekan karena berada dalam kelompok yang bersebarangan.
Konflik Antarpreman
Di era 1970-an hingga kini, banyak terjadi perang antargang, atau konflik antarpreman. Motivasinya bermacam-macam. Ada perebutan wilayah kekuasaan, seperti wilayah terminal, pelabuhan, pasar, dan area parkir. Ada konflik antarpreman karena disewa sebagai pengawal atau penjaga dari dua pengusaha yang bersengketa. Dalam kasus ini, yang paling sering terjadi adalah perebutan dan penguasaan tanah/ bangunan yang sedang disengketakan oleh pemilik, dan masing-masing pemilik menyewa preman untuk mempertahankan atau merebut tanah tersebut. Ada juga kasus konflik akibat utang piutang, di mana yang memiliki utang ataupun piutang sama-sama menyewa preman. Preman penagih biasanya disebut sebagai debt collector, profesi yang menjamur sejak 1980-an.
Pada tahun 1980-an, premanisme akhirnya menjadi salah satu dari 50 jenis kejahatan yang oleh masing-masing kepolisian daerah harus dilaporkan ke Mabes Polri. Mungkin dari sini definisi KBBI tentang preman bermula.
Penembakan Misterius
Pada tahun 1980-an, terjadi penembakan misterius (petrus) yang paling epik. Ini dilakukan pemerintah untuk memberantas tindak kejahatan dan gangguan keamanan serta ketertiban masyarakat. Awalnya memang dilakukan di Jakarta, terhadap pelaku perampokan, pencurian, pencopetan dan tindak kriminalitas lainnya. Namun kemudian petrus meluas dan nyaris tak terkendali. Banyak jeger (jagoan) terminal, preman pasar, bahkan sekadar orang-orang berambut gondrong dan bertato, diinterogasi dan diintimidasi untuk dipetruskan. Lalu bergeletakanlah mayat-mayat bertato di tempat-tempat terbuka. Ada yang dikarungi, ada yang dibiarkan tergeletak begitu saja, dengan posisi tangan terikat.
Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), jumlah korban tewas pada tahun 1983 sebanyak 532 orang. Sedangkan korban tewas tahun 1984-1985 sebanyak 181 orang.
Banyak aktivis HAM memprotes kasus ini, termasuk Amnesti International. Upaya yang tujuannya untuk menekan keresahan masyarakat pun malah menjadi momok menakutkan dan meresahkan, sampai kemudian petrus ini dihentikan. Efek jera pun hanya sebentar karena kemudian angka kriminalitas terus bertumbuh, termasuk dunia premanisme semakin menjamur.
Preman Berlatar Kesukuan
Di masa 1980 hingga 1990-an, kelompok preman biasanya berhimpun atas dasar kedaerahan. Seperti di Jakarta, kita mengenal kelompok preman Ambon, preman Timor, preman Flores, preman Medan, Palembang, Madura, Garut, dll., lengkap dengan tokoh-tokohnya.
Menurut George J. Aditjondro, sosiolog, tahun 1980-an, seorang preman Ambon bernama Ongkie Pieters menghimpun sekaligus membangkitkan rasa hormat dan ketakutan pada anak-anak muda Ambon yang mencari penghidupan di Jakarta, tanpa memandang apa agamanya. Selepas Ongkie Pieters, kemudian muncul Milton Matuanakotta ke gelanggang, dan ia lebih cepat populer ketimbang pendahulunya. Sama dengan Ongkie Pieters, Milton juga menghimpun anak muda Ambon tanpa melihat agamanya apa.
Bersamaan dengan itu, kelompok Ambon muslim merasa perlu memiliki pimpinan dari kelompoknya sendiri. Maka muncullah Dedy Hamdun, anak muda Ambon keturunan Arab. Dedy Hamdun ini figur yang sangat kontroversial. Di satu sisi ia adalah kader PPP, di sisi lain, ia adalah pimpinan kelompok yang bekerja membebaskan tanah untuk bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar Presiden Soeharto. Kiprah Dedy Hamdun ini tidak begitu lama karena ia kemudian tewas tanpa ketahuan di mana jenazahnya, di tengah kasus penculikan yang juga mendera aktivis PRD, Aldera, dan PDIP, yang dilakukan oleh Tim Mawar pada Mei 1998. Figur pemimpin muda muslim Ambon pun kemudian beralih ke Ongen Sangaji.
Preman dan Kekuasaan
Masih menurut Goerge J. Aditjondro, terjadi persaingan antara Milton Matuanakotta dan Ongen Sangaji dalam mendapatkan akses ke jejaring kekuasaan saat itu. Milton masuk ring 1 kekuasaan lewat Yorrys Raweyai, Wakil Ketua Pemuda Pancasila, yang dekat dengan Bambang Trihatmodjo, anak kedua Presiden Soeharto. Selain itu, Milton adalah ipar Tinton Suprapto, yang memiliki hubungan bisnis dengan Tommy Soeharto. Sementara Ongen lebih dekat dengan Siti Hardianti Rukmana atau Tutut, lewat Abdul Gafur, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu.
Di masa ketika kerusuhan 1998, terkhusus menjelang Sidang Istimewa MPR saat Presiden B.J. Habibie perlu legitimasi atas mandat yang diberikan kepadanya, sejumlah politisi, jenderal, dan pengusaha bersepakat membentuk PAM Swakarsa guna menangkal aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang merebak masif menentang Habibie. Ongen Sangaji berperan dalam merekrut pemuda-pemuda muslim untuk bergabung di PAM Swakarsa ini.
Pada kerusuhan di Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR, akibat bentrok antara PAM Swakarsa dengan mahasiswa yang dibantu masyarakat, 4 orang anak buah Ongen tewas. Antara lain dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu (Ambon), sera Kei (Maluku Tenggara). Kejadian ini adalah salah satu bukti, di mana para preman memang dalam sejarahnya kerap bersinggungan atau bersisian dengan kekuasaan.
Hercules dan Prabowo
Contoh lain adalah Hercules, mantan penguasa Tanah Abang. Ia adalah binaan Prabowo Subianto, yang mengenalnya ketika operasi militer di Timor Timur. Hercules banyak membantu TNI dalam operasi tersebut. Singkat cerita, Hercules memulai petualangannya di Jakarta, ketika tangannya terluka, dan dirawat di RSPAD. Karena tidak tahan, Hercules kabur, lalu menggelandang di Tanah Abang. Setiap hari Hercules bersabung nyawa, sampai kemudian ia dikenal sebagai penguasa Tanah Abang dengan anak buah yang sangat banyak.
Di masa kelamnya, ia mengelola bisnis keamanan, antara lain menjaga lahan yang dipersengketakan oleh pemiliknya. Dalam menjalankan bisnis tersebut, kelompoknya kerap berkonflik dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok Basri Sangaji (pimpinan kelompok Ambon muslim), dengan John Kei, tokoh preman Ambon dari Angkatan Muda Kei (AMKEI), juga dengan Bang Ucu, jawara dari Tanah Abang.
Hubungan Hercules dengan Prabowo sangat dekat, sampai-sampai ia pernah bilang, ia berutang nyawa kepada Prabowo. Apa pun yang diinginkan Prabowo, ia akan melakukannya. Tak heran, di masa yang dia akui sudah pensiun dari dunia premanisme ini, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya), organisasi kepemudaan di bawah Gerindra, partai yang didirikan oleh Prabowo. Kita tahu, gerakan organisasi ini memiliki peranan penting dalam pemenangan Prabowo di setiap kontestasi presiden, termasuk pada 2024 ini.
Dari Gangster Menjadi Organisasi Berbadan Hukum
Dunia preman adalah dunia keras jalanan. Dunia otot. Namun ada satu hal unik yang bisa diamati belakangan ini. Meski aktivitasnya masih kental di dunia otot alias kekerasan, pada masa 1990-an ke sini, para pimpinannya berusaha mengemasnya menjadi lebih smart. Tandanya, bila di dunia jalanan masa lalu mereka berhimpun di kelompok-kelompok ala gangster, maka di tahun 1990-an, mereka membentuk organisasi resmi dan berbadan hukum.
Mereka pun mengelak disebut preman. Mereka menyebutnya organisasi kepemudaan. Atau organisasi massa, baik yang berbasis agama, atau kesukuan. Ada juga kelompok yang mengemas aktivitasnya dalam bentuk organisasi bisnis, seperti law firm, dan sejenisnya.
Pelopor organisasi berbadan hukum ini adalah Pemuda Pancasila, yang didirikan oleh Abdul Haris Nasution seperti diungkap di atas. Lalu, ketika bisnis penagihan utang sangat marak di pertengahan tahun 1990-an, kelompok preman mendirikan berbagai law firm. Pelopornya adalah Johny Sembiring, preman sekaligus perampok legendaris Indonesia. Ia mendirikan kantor konsultan hukum yang beralamat di bilangan Kebon Sirih, Jakarta, dan khusus menangani jasa penagihan utang.
Baca Juga: Mereka Dikenang karena Jahat
Ini Bukan Preman, Melainkan Organisasi Massa
Organisasi-organisasi lain yang berbadan hukum, tapi aktivitasnya tidak jauh dari bisnis pengamanan, pengawalan, penagihan utang, parkir, atau sejenisnya, serta kerap bergesekan secara fisik dengan kelompok lain, di antaranya adalah:
- Pemuda Pancasila, didirkan pada 28 Oktober 1959, hingga sekarang masih eksis dan menjangkau sampai ke pelosok-pelosok Indonesia
- Kembang Latar. Ini adalah organisasi para “jawara” se-Jabodetabek, yang didirikan pada 1991
- Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang, yang didirikan oleh Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, pada 1998. Bang Ucu Kambing ini terkenal sebagai jawara yang berhasil membuat Hercules tersingkir dari Tanah Abang
- Front Pembela Islam (FPI), didirikan oleh Habib Riziek pada 1998. Tentu ini bukan organisasi preman, tapi aktivitasnya kerap bersinggungan dengan kelompok lain, sehingga sering memicu bentrok fisik
- Angkatan Mudai Kei (AMKEI), didirikan oleh John Refra Kei, salah satu tokoh preman yang paling ditakuti di Indonesia. AMKEI didirikan pada tahun 2000 pasca kerusuhan Tual, Maluku, pada Maret 1999. Banyak sekali konflik epik yang dilakukan kelompok John Kei ini, baik dengan kelompok Hercules, kelompok Basri Sangaji, maupun kelompok Thalib Makarim (Flores). Saat ini John Kei sedang mendekam di penjara untuk yang kedua kalinya, dalam kasus pembunuhan
- Laskar Merah Putih, didirikan pada tahun 2000 oleh alm. Eddy Hartawan
- Forkabi, singkatan dari Forum Komunikasi Anak Betawi, dideklarasikan di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, pada 18 April 2001
- Forum Betawi Rempug (FBR), didirikan pada 29 Juli 2001, oleh K.H. Fadloli el-Munir.
- GRIB Jaya (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya), didirikan oleh Rosario de Marshall alias Hercules pada tahun 2011. Kini GRIB Jaya sudah menyebar ke seluruh Indonesia, menjadi organisasi yang besar
Banyak Kepentingan Memerlukan Preman
Banyak lagi organisasi lain, yang di AD/ART-nya tentu memiliki visi serta misi mulia. Namun, pada perkembangannya, aktivitas mereka kerap bertolak belakang dengan visi misinya tersebut. Seperti bergesekan fisik dengan organisasi-organisasi dari kelompok lain akibat persaingan bisnis, berbeda pilihan politik, atau bahkan konflik yang hanya disebabkan oleh fanatisme organisasi.
Keberadaan mereka juga menjadi objek bidikan tersendiri bagi pihak luar yang berkepentingan. Baik penguasa ataupun pengusaha. Itu sebabnya mereka tumbuh, karena memang, ada banyak pihak yang memerlukannya.
(Riset Asep Herna, dari berbagai sumber)