25 November 2024
Tragedi di Balik Lagu

Ilustrasi: Freepik.com

Musik punya kekuatan untuk membangkitkan emosi.

Lagu kebangsaan, misalnya, menggugah patriotisme kita untuk bernyanyi sekuat tenaga. Lalu lagu-lagu cinta membuat kita seakan-akan terombang-ambing bak dimabuk asmara. Musik femme yang penuh amarah dapat menggugah perasaan balas dendam kita kepada mantan kekasih/pasangan yang berpaling dan berselingkuh. Kebanyakan lagu yang bagus memiliki semacam cerita yang menjadi inspirasi liriknya. Beberapa lagu terdengar ringan dan ceria. Sedangkan yang lain terdengar sangat gelap, terinspirasi oleh peristiwa yang lebih gelap dan tragis. Di blantika musik dunia, banyak sekali lagu-lagu lahir dengan latar belakang yang beragam. Tak terkecuali sebuah tragedi. Inilah lima lagu pilihan CK yang mempunyai sisi gelap di balik lirik-liriknya.

1. Zombie, The Cranberries. Lagu ini bisa bisa jadi tembang terpopuler yang pernah dirilis The Cranberries. Grup musik rock alternatif asal Irlandia yang dibentuk di Kota Limerick ini awalnya bernama The Cranberry Saw Us. Band yang dibentuk pada 1989 ini beranggotakan vokalis utama Niall Quinn, gitaris Noel Hogan, basis Mike Hogan, dan drumer Fergal Lawler. Pada 1990, Niall Quinn digantikan Dolores O’Riordan sebagai vokalis sekaligus penulis lagu. Pada 15 Januari 2018, Dolores ditemukan tewas tenggelam di sebuah kamar hotel di London, Inggris. Pada September 2018, The Cranberries menyatakan bubar. Album terakhir mereka, “In the End”, dirilis pada April 2019.

Meski Zombie tampak seperti sebuah lagu yang mengagumkan pada saat itu, ada makna yang lebih mendalam di baliknya. Dolores menyanyikan lagu ini sebagai protes terhadap kekerasan di Irlandia Utara pada 1993 yang menyebabkan dua anak tewas dan puluhan lainnya terluka oleh bom di Kota Warrington. Serangan bom ini terjadi dua kali, yakni pada 26 Februari dan 20 Maret. Kedua anak tersebut, Johnathan Ball (3 tahun) dan Tim Parry (12 tahun), tewas pada serangan bom kedua. Mereka sedang berbelanja kartu Hari Ibu di kota ketika bom itu meledak.

Berbicara tentang perilisan lagu tersebut pada 1994, Dolores teringat akan bom tersebut dan mendengar tentang kematian anak-anak itu saat berada di Inggris. Dia lalu menulis Zombie di sela-sela tur dan dirilis sebagai single utama dari album studio kedua band ini, “No Need to Argue”.

2. Tears in Heaven, Eric Clapton. Ini merupakan salah satu masterpiece Eric Clapton—gitaris, penyanyi, dan penulis lagu asal Inggris—yang dia garap bersama penulis lirik Will Jennings. Lagu ini memenangi tiga Grammy Awards pada 1993 untuk Penampilan Vokal Pop Pria Terbaik, Lagu Terbaik, dan Rekor Terbaik. Pada 2004, majalah musik terkemuka Rolling Stone menempatkan Tears in Heaven di urutan ke-362 dalam daftar “500 Lagu Terbesar Sepanjang Masa”. Oleh Rolling Stone, Eric juga masuk dalam daftar “100 Gitaris Terhebat Sepanjang Masa”.

Tapi mungkin banyak yang belum tahu bahwa lagu ini didedikasikan Eric sebagai penghormatan untuk putranya, Conor, 4 tahun, yang meninggal dalam kecelakaan yang “janggal”. Conor terjatuh dari lantai 53 di apartemen New York City pada Maret 1991. Anak laki-laki itu mengenakan piyama merah dan sandal, mendarat di atap gedung berlantai empat di sebelahnya. Menurut polisi, jendela selebar 1,8 m yang tidak dilindungi oleh teralis dibiarkan terbuka oleh petugas kebersihan. Conor dilaporkan melesat melewati pengurus rumah tangga menuju jendela. Penulis biografi Inggris Philip Norman baru-baru ini menulis buku Slowhand: The Life and Music of Eric Clapton, yang memuat bagian dengan detail kematian yang mengerikan, yang akan menghantui rocker Inggris itu selama sisa hidupnya. Ibu Conor—Pattie Boyd, yang berpisah dengan Eric pada 1989—dan mantan kekasih Clapton, aktris Italia Lory Del Santo, mengatakan kepada The New York Daily News bahwa beberapa hari kemudian Clapton menerima surat menyayat hati yang ditulis oleh Conor sesaat sebelum dia meninggal.

“Conor berkata kepadaku beberapa hari sebelumnya, ‘Bu, aku ingin menulis surat kepada ayah. Apa yang harus aku tulis?'” kenang Del Santo pada 2006. “Aku mengatakan, tulislah. ‘Aku mencintaimu, ayah.’ Dia menulis itu. Surat itu kemudian dikirim ke alamat Clapton di London, di mana dia menerimanya tepat setelah pemakaman.”

Sehari sebelum meninggal, Conor dan Eric mengunjungi sirkus. Menurut Eric, Conor terpesona oleh tontonan itu. Eric mengenang malam terakhir yang dia habiskan bersama putranya tersebut—tertuang dalam lagu Circus. Eric menyebut badut yang, menurut Conor, lucu, berlarian membawa pisau. Rupanya Conor tak henti-hentinya membicarakan hal itu dalam perjalanan pulang. Kematian Conor sempat membuat hidup Eric berantakan.

BACA JUGA: Dahsyatnya Logo-Sound

3. You Learn, Alanis Morrissette. Dunia musik tahun 1990-an tidak akan lengkap tanpa menyebut Alanis Morrissette. Album studio ketiganya, “Jagged Little Pill”, menduduki puncak tangga lagu di 13 negara dan merupakan salah satu album terlaris sepanjang masa. Album tersebut berhasil meraih lima penghargaan Grammy, bahkan menelurkan produksi panggung musikal pada 2018.

You Learn adalah salah satu lagu terpopuler dari album ini. Tapi, tahukah Anda, cerita di baliknya tidak setenar liriknya. Morrissette menulis lagu tersebut ketika dia baru berusia 19 tahun dan menyinggung pengalaman buruknya di Los Angeles, Amerika Serikat, termasuk ketika ia dirampok dengan todongan senjata saat mengerjakan album. Dia dirawat di rumah sakit dan menderita gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Pada saat yang sama, dia juga mengalami putus cinta. Dia menggubah lirik You Learn menjadi sebuah pelajaran tentang segala sesuatu dalam hidup. Pengerjaan album ini juga membantunya mengatasi trauma dari semua yang telah ia lalui.

4. These Are the Days of Our Lives, Queen. Pada 5 September 1991, atau tepat ulang tahun ke-45 Freddie Mercury, lagu ini dirilis di AS. Setelah kematian Freddie pada 24 November 1991, lagu tersebut dirilis di Irlandia dan Inggris pada 9 Desember 1991. Freddie divonis mengidap bronkopneumonia akibat HIV/AIDS. Pada 1991, kesehatannya terus memburuk. Ia pun memutuskan untuk mempercepat kematiannya dengan menolak meminum obat, dan hanya terus meminum obat penghilang rasa sakit.

These Are the Days of Our Lives dipuji sebagai single paling signifikan dari album Queen, “Innuendo” (dirilis pada 5 Februari 1991), karena klip video yang menyertainya, yang menunjukkan cuplikan saat Freddie masih hidup. Klip video tersebut dibuat dengan warna hitam-putih sebagai upaya untuk menutupi parahnya kesehatan Merkurius—begitu sapaan Freddie—yang memburuk. Brian May, gitaris Queen, mengungkapkan apa yang diutarakan Freddie saat pembuatan klip video tersebut. ”’Tuliskan aku lebih banyak. Tuliskan aku materi. Aku hanya ingin menyanyikan ini dan melakukannya, dan ketika aku pergi, kalian bisa menyelesaikannya’,” ujar Brian May menirukan pernyataan Freddie saat itu. Ketika nada terakhir memudar dan klip video hampir berakhir, Freddie berujar, “Aku masih mencintaimu”, sambil menatap lurus ke arah kamera. Itu merupakan kata-kata terakhirnya yang terekam kamera.

Klip video tersebut ditampilkan selama Konser Penghormatan Freddie Mercury pada tahun berikutnya dan diputar di Concert for Diana pada 1 Juli 2007.

(5) Cassie, Flyleaf. Pada 20 April 1999, dua tahun sebelum Tragedi 11 September, sebuah aksi terorisme menguncang Amerika Serikat. Kala itu, pelakunya bukanlah teroris berpaham radikal, melainkan sepasang pemuda SMA bernama Eric Harris dan Dylan Klebold. Mereka membabi buta menembakkan senjata api ke arah guru dan teman-teman mereka sendiri. Tragedi itu terjadi di sekolah mereka, Columbine High School di Kota Columbine, Negara Bagian Colorado. Tragedi ini pun sering dijuluki “Tragedi Columbine”. Sebelum melakukan penembakan secara brutal, kedua siswa ini menempatkan dua buah bom rakitan yang gagal meledak karena dibuat secara amatiran. Kalau bom itu meledak, diduga kekuatannya bisa melukai lebih dari 500 siswa dan mampu merobohkan pilar kafetaria sekolah. Karena aksi bomnya yang gagal, Eric dan Dylan lantas menembaki teman-temannya. Di tengah aksinya, kedua siswa ini juga melemparkan bom-bom pipa yang mereka buat. Sebanyak 12 temannya dan seorang guru tewas. Eric dan Dylan kemudian bunuh diri. Selama tragedi pembantaian itu, Eric dan Dylan diduga telah melepaskan 118 tembakan. Salah satu siswa yang terbunuh, Cassie René Bernal, ditembak di bagian kepala oleh Eric, diduga setelah Eric bertanya apakah Cassie percaya kepada Tuhan, dan Cassie menjawab, “Ya.”

Kisah yang menuai kontroversi karena banyak yang melihat Cassie René Bernal sebagai seorang martir Kristen, juga menjadi inspirasi untuk sejumlah lagu, termasuk Cassie oleh Flyleaf. Flyleaf adalah grup musik rock Amerika yang dibentuk di Belton, Texas, pada 2002. Band ini menduduki tangga lagu rock mainstream, pop Kristen, dan metal Kristen. Mereka tampil di seluruh AS pada 2003 sebelum merilis album debut eponymous mereka, “Flyleaf”, pada 2005. Mereka menulis lagu Cassie untuk memperingati kehidupan Cassie Bernall dan kematiannya sebagai “martir”. Lirik lagunya antara lain: “Semua kepala tertunduk dalam diam, mengingat kalimat terakhirnya. Dia menjawabnya dengan mengetahui apa yang akan terjadi, kata-kata terakhirnya masih belum terjawab.”

(S. Maduprojo; Sumber rujukan Listverse.com dan berbagai data lainnya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *