Pun ketika kami menuliskan laporan perjalanan ini, tiba-tiba, perasaan kami seperti bukan sedang menulis reportase. Tapi menulis kisah petualangan bercampur adegan laga dalam sebuah saga. Apalagi, di setiap telapak kaki kami menginjak tanah yang dulu diinjak 9 Wali, menyentuh pilar yang dulu disentuh 9 Wali, mengerek timba sumur yang dulu ditimba 9 Wali, semua setting kekinian lenyap. Yang ada adalah imajinasi berisikan putaran gambar di masa abad ke-14-an.
Jejak Pengembaraan
Sesungguhnya, jejak masjid dan petilasan para wali, adalah jejak-jejak dari sebuah pengembaraan jauh. Para wali memang para pejalan. Sejak dari Maulana Malik Ibrahim dan saudaranya, Maulana Ishak, hingga wali-wali berikutnya.
Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak adalah para pengembara yang datang dari negeri jauh bernama Persia, sekitar tahun 1371-an. Rombongan Maulana Malik Ibrahim menyandarkan kapalnya di wilayah Manyar, Gresik, Jawa Timur. Lalu ia membuka lahan di Desa Leran, berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dan berperilaku dengan cara hidup Islami, sebagai cara ia memperkenalkan nilai-nilai Islam di wilayah ini.
Di Desa Leran, ia mendirikan masjid yang kemudian tercatat sebagai masjid tertua di Pulau Jawa. Masjid ini bernama Masjid Pesucinan Maulana Malik Ibrahim. Maulana Malik Ibrahim pun kemudian dikenal sebagai Sunan Gresik.
Maulana Malik Ibrahim memiliki anak bernama Raden Rakhmat alias Sunan Ampel. Sunan Ampel memiliki anak bernama Raden Makhdum Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dan Raden Qosim yang kemudian dikenal sebagai Sunan Drajat.
Tradisi Turun-temurun
Tradisi sebagai pejalan jauh untuk mensyiarkan Islam kemudian menjadi tradisi turun-temurun. Awalnya mereka berjalan bersama. Contohnya Sunan Ampel. Ia selalu mengajak anak-anaknya, Sunan Bonang dan Sunan Drajat, juga ponakan sekaligus muridnya, Raden Paku alias Sunan Giri anak Maulana Ishak, mengembara ke berbagai wilayah untuk menyebarkan Islam.
Pada akhirnya, ketika Sunan Ampel merasa anak serta muridnya sudah bisa mandiri, mereka akhirnya dilepas, untuk melakukan tradisi berikutnya, sebagai para pejalan jauh yang mensyiarkan Islam.
Sebagai contoh, Sunan Giri dan Sunan Bonang berangkat bersama untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Ia memutuskan untuk berangkat melalui Malaka. Di Malaka, mereka singgah dulu di Padepokan Maulana Ishak. Dan momen ini adalah momen pertama Sunan Giri bertemu dengan ayahnya, Maulana Ishak, karena sejak bayi, Sunan Giri sudah terpisah dari Ibunda juga dari ayahnya tersebut.
Jaka Samudra
Kisahnya begini. Belasan tahun lalu, Maulana Ishak dikejar-kejar Raja Blambangan, mertuanya sendiri, dan pergi meninggalkan Dewi Sekardadu, istrinya yang sedang hamil mengandung Sunan Giri. Ketika Sunan Giri lahir, Dewi Sekardadu terpaksa harus membuang putranya ke laut, untuk terhindari dari kejaran Raja Blambangan yang tidak menghendaki bayi tersebut. Singkat kata, di laut, Sunan Giri ditemukan oleh Nyai Ageng Pinatih, saudagar kaya asal Gresik yang kemudian merawatnya. Karena ditemukan di tengah lautan, Nyai Ageng Pinatih menamakan Sunan Giri sebagai Jaka Samudra. Menjelang remaja, Sunan Giri dikirim ke Ampeldenta, untuk belajar agama dan lelaku pada Sunan Ampel.
Baca juga: Menyusuri Dimensi Abad ke-13 – 18
Tradisi berjalan jauh untuk mensyiarkan Islam terus berlanjut pada wali-wali lainnya. Generasi wali berikutnya, antara lain seperti Sunan Kalijaga (murid Sunan Bonang), Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati.
Sunan Kalijaga, walaupun pusat tinggalnya di Demak, tapi perjalanan syiarnya meliputi berbagai wilayah. Itu sebabnya, banyak Petilasan Kalijaga di tempat-tempat lain di luar Kadilangu, Demak. Misalnya di Cirebon, terdapat Masjid Kramat Kalijaga, lengkap dengan petilasannya. Bahkan nama desanya pun Desa Kalijaga.
Para Pejalan Jauh
Kebiasan mengembara baik dengan motivasi mencari ilmu, mensyiarkan ilmu, atau sekadar napak tilas ke jejak-jejak pengembaraan tokoh-tokoh terdahulunya, terus berlanjut hingga detik ini. Belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menyerap pesan spiritual dari satu jejak ke jejak wali lainnya, berziarah untuk mendoakan dan mengenang kebaikan para pendahulu kita, terus menjadi sebuah keunikan spiritualitas di Nusantara.
Di level tradisi dakwah, memang sudah terjadi pergeseran. Syiar kekinian sudah menggunakan elemen-elemen modern baik media maupun moda transportasinya.
Namun di kalangan akar rumput, tradisi mengembara sebagai pejalan jauh masih terus berlangsung hingga detik ini.
Saat ini bahkan di social media kerap viral para pejalan jauh yang tertangkap kamera warga jagat digital. Kita kerap melihat sosok-sosok uniknya, dan kita mengenalnya sebagai para Musafir.
Pakaian para musafir ini pun cukup identik. Pakaian hitam atau putih ala pendekar, tasbih, surban, topi caping, dan tongkat kayu. Lihatlah gambaran seperti sosok yang mengaku Joko Kendil, Mbah Sopo Nyono, Mbah Gimbal, dan para musafir lainnya.
Tim Catatankaki sendiri banyak menemukan karakter-karakter seperti ini, baik mereka yang sedang berjalan di pinggiran Pantai Utara, di Masjid Demak, Kudus, Ampeldenta, Masjid Maulana Malik Ibrahim dan lain-lainnya.
Kebanyakan perjalanan mereka terbilang tahunan. Mereka menyusuri jejak-jejak yang mereka anggap wali dengan berjalan kaki, bahkan ada yang tanpa alas kaki, dari satu daerah ke daerah lain. Setelah semua ia kunjungi, ia kembali dari titik awal lagi. Terus berputar sampai mereka merasa sudah selesai yang entah kapan kata selesai itu terjadi.
Orang-orang Gimbal
Di Masjid Ampel, kami sempat sholat Dzuhur berjamaah bersama beberapa musafir ini. Salah satu di antaranya musafir berambut gimbal.
Awalnya kami kira rambut gimbal tersebut dikarenakan perjalanan mereka yang lama dan jauh, sehingga menyebabkan mereka tidak sempat keramas. Ternyata kami salah besar. Mereka sangat menjaga kebersihan diri. Mandi dan keramas setiap hari, ganti baju setiap hari, bahkan kadang memakai wewangian.
Ihwal rambut gimbalnya, salah satu musafir menjawab, ternyata itu muncul begitu saja. Ia pernah suatu kali memotongnya, dan ia malah sakit. Rambut gimbal pun muncul kembali. Akhirnya, rambut tersebut dibiarkan saja apa adanya.
Kami jadi teringat salah satu wilayah di Lereng Dieng, ada sekelompok masyarakat dengan anak-anak berambut gimbal. Konon anak-anak gimbal tersebut adalah orang terpilih dan titisan dewa. Anak-anak gimbal ini dibiarkan memanjangkan rambutnya, sampai suatu saat diadakan ritual pemotongan rambut.
Momen ritual pemotongan rambut ini menjadi sebuah upacara khusus, dan si anak boleh minta apa saja sebagai imbalannya.
Hal ajaib kerap terjadi. Bila imbalan tidak dipenuhi ketika rambut gimbal sudah dipotong, maka rambut tersebut, beberapa lama kemudian akan gimbal kembali.
Demikian fenomena unik nusantara kita. Eksotisisme budaya, spiritualitas dan kesalihan dalam beragama, menciptakan kearifan lokal yang tulus, pusat keteraturan semesta dalam keyakinan mereka.