Pujangga bertugas mengurus roh masyarakat. Sedangkan pemerintah mengurus badan masyarakat. Karena itu, wajar bila puisi-puisi Rendra kebanyakan berisi kritik dan permenungan, baik kepada pemerintah maupun masyarakat, sebagai implementasi Rendra sebagai roh masyarakat. Bila seorang pengkritik bisa menyuarakan isi hati mereka lewat opini, lagu, surat terbuka, ataupun turun ke jalan, seorang pujangga menuangkannya dalam kekuatan kata-kata.
A. Teeuw, dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), menyatakan Rendra tidak termasuk dalam salah satu angkatan atau kelompok, seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Menurut Teeuw, Rendra mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri dalam menuliskan karya-karyanya.
Berkaitan dengan karya-karya sastra yang berisi kritik tajam ataupun permenungan, setiap zaman memiliki sosok sentral masing-masing. Di era Balai Pustaka, misalnya, penyair Amir Hamzah adalah salah satu nama yang cukup menonjol. Lalu ada Sutan Takdir Alisjahbana di era Angkatan Pujangga Baru, Chairil Anwar di era Angkatan 1945, Taufik Ismail di era Angkatan 1950–1960-an, Putu Wijaya di era Angkatan 1966–1970-an, Mustofa Bisri alias Gus Mus di era 90-an, ataupun Wiji Thukul di era reformasi.
Tapi, jauh sebelum sajak semacam Peringatan, Sajak Suara, Bunga dan Tembok oleh Wiji Thukul, atau kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi oleh W.S. Rendra, ada satu puisi protes/realis/kritik yang, menurut saya, cukup menonjol. Judulnya Melaut Benciku.
Melaut Benciku
Melaut benciku terhadap manusia
melaut pula benciku terhadap ku sendiri
karena dalam kelakuan mereka
terlihat olehku prangaiku asli
menjilat!
menipu!
membohong!
memeras!
kelakuan dibuat-buat supaya
perut kosong gendut seperti tong!
mulut ketawa:
tampak gigi
kuning
tak pernah digosok,
bau mulut busuk bagai bangkai!
bah!
inikah yang dinamakan dunia!
dunia yang penuh tipu-cedera!
kalau boleh kupinta dulu
aku tak usah lahir ke dunia-tipu
tapi malang!
aku lahir bukan kehendakku!
dalam pelukan cinta berahi
tumbuh benih membusuk diri.
tercampak ke dunia
sebagai hasil nafsu kedua!
bah!
kalau boleh kupinta dulu
jangan badan datang ke mari!
Puisi tersebut merupakan karya Amal Hamzah (1922-1987), pengarang dan penerjemah karya sastra pada masa pendudukan Jepang. Ia lahir di Binjai, Langkat, Sumatera Utara, pada 31 Agustus 1922. Adik sastrawan Amir Hamzah ini meninggal di Duisdorf, Jerman Barat. Melaut Benciku diciptakan Amal pada 1946, yang dimuat di majalah Pembangoenan edisi Nomor 4 Tahun 1, 1946.
Sebelumnya, karya-karya Amal Hamzah dikenal romantis. Sebut saja Anakku, Hendak Merantaukah Engkau? serta Laut yang ditulis pada 1943. Namun karya sastra yang lahir pada masa penjajahan Jepang memunculkan corak baru yang berbeda dibanding angkatan sebelumnya; romantis-idealis. Puisi-puisi yang lahir lebih bersifat realistis dan menggambarkan kenyataan. Ciri ini berbeda jauh dengan karya-karya puisi angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Karena itu, sastra pada masa penjajahan Jepang dikategorikan sebagai sastra peralihan.
Karya sastra pada zaman ini terbagi dalam dua bagian, yaitu karya-karya yang lahir saat kekuasaan Hindia-Belanda runtuh dan pada masa pembangunan simpati rakyat Indonesia ketika Jepang sudah terintimidasi oleh Sekutu pada 1943. Isi karya sastra pada masa ini, antara lain, mencerminkan kekaguman, pujian, dan simpati terhadap Heiho Jepang. Ambil contoh sajak Maria Amin berjudul Kapal Udara. Bisa jadi karena awalnya kedatangan Jepang, yang mengaku sebagai Saudara Tua, membawa harapan.
Di sisi lain, mungkin lantaran rasa kecewa kepada Jepang, yang ternyata kekuasaan mereka tak lebih menyengsarakan dibanding pemerintahan Hindia-Belanda, lahir karya-karya yang berisi rasa dendam, benci, dan hasrat untuk memberontak terhadap keadaan yang sangat mencekam. Gaya bahasa yang digunakan para sastrawan ini cenderung simbolis. Melaut Benciku, salah satunya. Sajak yang menggambarkan semangat melawan penjajahan juga bisa dilihat dari karya Rosihan Anwar saat itu, Kisah di Waktu Pagi.
Pemerintah Jepang bukannya bergeming melihat lahirnya sajak-sajak protes yang mengarah pada ajakan perlawanan pada kekuasaan itu. Mereka, antara lain, melarang puisi Siap Sedia karya Chairil Anwar.
Baca Juga: Pernahkah Kamu Jatuh pada Rindu yang Terbunuh?
Puisi Melaut Benciku masih relevan dengan kondisi saat ini. Di tengah karut-marut kondisi sosial-ekonomi seperti sekarang, puisi ini seperti mewakili isi hati orang-orang yang merindukan keadilan, kesetaraan, dan mengelola pemerintahan dengan hati nurani. Amal menuangkan perasaan itu dengan menyebut: … menjilat!/menipu!/membohong!/memeras!… Bukankah praktik-praktik kotor seperti itu kini meruyak? Tak hanya terjadi di dalam negeri, tapi juga global.
Sifat manusia yang serakah, berambisi ingin menguasai dengan segala upaya, seperti membuat muak Amal Hamzah hingga ia pun berpikir tak usah dilahirkan di dunia yang penuh tipu daya. …bah!/inikah yang dinamakan dunia!/dunia yang penuh tipu-cedera!… Amal seperti ingin menggambarkan sisi lain dunia yang penuh dusta. Lalu, …kalau boleh kupinta dulu/aku tak usah lahir ke dunia-tipu/tapi malang!/aku lahir bukan kehendakku!…
Kebencian pada diri sendiri karena telah terlahir di dunia serta kepada para penguasa (penjajah saat itu) tergambar jelas dalam sajak ini. Diksi “melaut”—menjadi seluas laut—begitu kuat dan jitu untuk menggambarkan kebencian yang amat luas atas kondisi yang ada tersebut.
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)
1 thought on “Melaut Benciku…”