# Aku masih mengenali setiap sudut rumah tua itu, meski telah meninggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu. Sesekali mendatanginya, aku melihat plesteran pada dinding-dinding bata tebalnya semakin merapuh. Sembilan anak tangga menuju beranda—sewaktu kecil, aku sering naik-turun di anak tangga ini, sembari menghitung jumlahnya—sudah terlihat gompal di beberapa bagian. Beranda itu masih terlihat seperti dulu. Tiga kursi pendek dan satu kursi panjang kayu jati ditemani sebuah meja bundar masih teronggok. Di tempat ini, kakek, nenek, dan cucu-cucunya dulu kerap berkumpul. Apalagi kala hujan mengguyur, ini menjadi tempat favorit bercengkerama sembari menikmati teh manis hangat dan sebakul singkong rebus. Di samping beranda, sebuah kamar ada di depan. Kamar itu biasa dipakai untuk anak-anak waktu itu, dari kakak-kakakku hingga turun ke aku. Aku meninggalkan kamar itu selepas lulus SMA. Menuju ke tengah, ruang keluarga, ini ruangan yang paling besar. Setiap ada di ruangan ini, aku sering menengadah ke atas, memandang takjub pilar-pilar usuk kayu jati yang masih kokoh menopang genteng-genteng lawas yang mulai menghitam. Ke belakang, juga menuruni sekitar 4 anak tangga, merupakan dapur tempat nenek banyak menghabiskan waktunya hampir seharian.
Baca Juga: Kakak Joe
# Hari ini mungkin untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah tua ini. Aku tak bisa berlama-lama menuntaskan urusan dengan pembeli rumah ini. Emak—begitu aku biasa memanggil ibuku—harus aku boyong ke Jakarta hari ini karena urusan jual-beli sudah selesai dan semua barang yang ingin dibawanya ke Jakarta telah terangkut truk, termasuk lemari-lemari tua dan meja kursi di beranda tadi. Emak memang semula berkukuh rumah ini tidak boleh dijual, meski kakek dan nenek sudah lama meninggal. Sedangkan adik-adiknya—yang hampir semuanya merantau ke Jakarta—sudah lama menjual bagian mereka, kebun seluas lebih-kurang 1 hektare. Praktis, rumah ini menjadi peninggalan terakhir kakek-nenek yang ditempati Emak dan adik perempuannya yang lama menyendiri. Setelah bernegosiasi cukup panjang bersama keluarga, akhirnya mau tidak mau Emak harus dipindahkan ke Jakarta karena kondisinya semakin renta. Jarak tak memungkinkan anak-anaknya terus berada di sampingnya.
# “Mampir dulu,” Emak berujar pelan ketika kendaraan yang bergegas ke Jakarta melewati sebuah permakaman. Kami pun menepi, meski tadi pagi aku dan kakak-kakakku sudah menyambangi permakaman ini. Di situlah buyut, kakek, nenek, dan anak laki-laki bibi yang setia menemani Emak selama ini dikebumikan. Sebuah pohon trembesi tua menaungi makam-makam ini. Kami sudah berdiri mengitari kompleks kelima makam itu. Kami berjongkok memandangi nisan-nisan itu. Hening. Kami semua tertunduk. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Pandangan Emak terlihat kosong. Air mata mulai menetes di sela-sela keriput kulitnya. Kami hanya bisa berpandangan. Nisan-nisan dan akar trembesi itu seperti mengikat dan menggelayuti kami untuk berlama-lama di area makam ini. Entah kenapa….
(S. Maduprojo, Depok, 16 Juli 2022)