Iya, Juni. Ini termasuk bulan yang istimewa di benak Mas Bejo. Ingat Juni, Mas Bejo ingat Sapardi Djoko Damono, yang meninggal pada Minggu, 19 Juli 2020. Jelek-jelek begini, Mas Bejo pernah lo diajar “Begawan Puisi” itu di kampusnya dulu. Nama mata kuliahnya dulu Pengkajian Puisi. Sapardi, kata Mas Bejo, salah satu dosen yang nyentrik di Kampus Kuning itu dulu. Orangnya sederhana. Kalau mengajar kuliah sering hanya pakai sepatu sandal. Gaya mengajarnya “antik”. Dalam satu pertemuan kuliahnya, misalnya, sembari bersandar di meja, Pak Sapardi dengan santai bilang ke mahasiswanya. “Ada yang mau ditanyakan soal yang saya suruh pelajari kemarin?” Saat itu, Mas Bejo dan rekan-rekan sekelasnya diam seribu basa. Entah takut, menahan kentut, salah bertanya, atau memang enggak mempelajari yang diperintahkan sang dosen. Tak lama, Pak Sapardi bilang, “Baik, kita sudahi mata kuliah hari ini, ya. Selamat siang.” Kemudian ia bergegas pergi. Tapi, sudahlah, itu sekilas contoh gaya nyentrik beliau.
Yang jelas, di mata Mas Bejo, Pak Sapardi adalah salah seorang penyair ternama Indonesia. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin. Begitu pula, tak terhitung sarjana sastra/humaniora yang lulus dengan topik skripsi puisi-puisi beliau. Murid-muridnya dulu juga sudah banyak yang menjadi “orang”, tokoh-tokoh muda bertalenta. Puisi-puisinya masih relevan hingga kini, terutama buat yang sedang bergalau ria. Sampai-sampai, Jason Ranti, seorang pemusik generasi Z, dalam lirik lagunya Lagunya Begini, Nadanya Begitu, secara terang-terangan mengidolakan Pak Sapardi:
“…Aku tak ingin menangis menerka gerimis
Di sepanjang lorong itu aku tak ada nyali
Oh Pak Sapardi
Ku hanya ingin ngopi dengan sederhana
Di bulan Juni
Dengan murid cantikmu di UI
Oh Pak Sapardi…”
Ya, salah satu sajak atau puisi Pak Sapardi yang selalu diingat di Juni ini ya “Hujan Bulan Juni”. Karya puisinya ini seperti tak lekang oleh waktu. “Hujan Bulan Juni” sudah bertransformasi menjadi novel, sinetron, musikalisasi puisi, dan film. Sapardi menulis puisi itu pada medio 1964-1994. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni ini terbit pada 1994 dan memuat 102 buah puisi. Hujan Bulan Juni diterbitkan penerbit Grasindo pada 1994, dengan terbitan pertama pada 1991.
Ada kisah menarik di balik puisi “Hujan Bulan Juni” ini. Ketika diwawancarai Kompas pada 2015, Sapardi mengungkapkan alasannya menulis puisi ini. Kepada Kompas, dia bertutur, “Kalau saya tulis tentang hujan pada bulan Desember, Desember kan memang (musim) hujan. Kalau nulisnya hujan pada Desember, nanti enggak ada yang bertanya, ‘Mengapa harus hujan pada bulan Juni?’ He-he-he…,” kata Sapardi saat itu.
Pada1989, ketika ia menulis puisi tersebut, hujan memang tak pernah turun pada Juni. Puisi itu diciptakan Sapardi sembari ia mengamati Telaga Situ Gintung dari jendela rumahnya yang menghadap ke telaga itu, di ruang kerjanya di perumahan dosen, Ciputat, Tangerang Selatan.
Nah, ini pikir Mas Bejo. Ternyata, selain penyair dan akademikus, Pak Sapardi ini seorang “peramal” dan “marketing” yang ulung. Dia seperti sudah tahu bahwa nanti Juni itu sering turun hujan. Dia juga seperti tahu bahwa bikin puisi dengan tema yang enggak populer saat itu—wong Juni kok hujan—puisinya bakal hedun. Hebat, hebat dosenku itu dulu, gumam Mas Bejo.
Di depan teras rumah, di sela gerimis bekas hujan lebat barusan, Mas Bejo seperti biasa asyik ngopi. Tiba-tiba, dirinya kok jadi melankolis. Dia ingat pemakaman Pak Sapardi di tengah-tengah badai Covid, yang dia saksikan di berita-berita televisi, media cetak/online, dan medsos, yang hanya boleh dihadiri sedikit orang. Pak Sapardi dilepas dengan sederhana oleh orang-orang dekatnya. Tak terbayang kalau beliau wafat pada situasi normal, hampir pasti banyak pelayat yang mengiringi kepergian beliau. Tapi, sudahlah…
Mas Bejo menyalakan kanal YouTube di HP-ya. Dia mencari lagu “Hujan Bulan Juni” yang diciptakan sejumlah mahasiswanya dan dipopulerkan penyanyi duo Ari-Reda. Sembari menyeruput kopi, lagu itu menyayat seperti mengiringi gerimis yang masih turun pada sore Juni ini.
“Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu…”
(S. Maduprojo)
Ingat “Hujan Bulan Juni” ingat seseorang yang sempat mengisi hati ini, berbagi hati, berbagi kasih, berbagi cerita, berbagi rasa, walau kita berbeda iman.
Lewat sebuah media kaset album “Hujan Bulan Juni” lah kami dipertemukan di Taman Ismail Marzuki (TIM), berlanjut dengan sering berkomunikasi, dan menjadikan TIM sebagai titik perjumpaan kami.
Namun tautan hati kami ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Perbedaan iman menjadi kendala bagi sang Mami. Aaahhh, jadi curhat… Hahahaha…
Terima kssih ya sdh mampir ke CK, keren curhatnya hee heee