Dalam sejarahnya, makanan dan minuman instan memang hadir untuk mempersingkat waktu pemenuhan hasrat paling dasar manusia, yaitu rasa lapar.
Dengan sifatnya yang instan, hanya perlu hitungan menit, makanan dan minuman instan siap tersaji dan bisa langsung dinimkati.
Simpel dan praktis, memang. Kesimpelan dan kepraktisannya ini mampu memotong waktu yang perlu berjam-jam lamanya kalau menggunakan tradisi lama. Menanak nasi. Mengulek sambal. Mempersiapkan bumbu. Menumis sayur. Dan ada banyak tahapan “bertele-tale” lainnya.
Memberangus Kehangatan Keluarga
Kesimpelan dan kepraktisan yang demikian membuat kemudian makanan dan minuman instan menjadi booming di negeri kita. Bikin bumbu, tak perlu ngulek, sudah ada bumbu instan. Pengin makan, tak perlu menanaknya, ada banyak pilihan makanan instan. Ada mi instan, bumbu instan, nasi goreng instan, nasi Hainan instan, dan jenis makanan instan lainnya.
Bayi mau makan? Ada bubur instan. Bayi mau minum? Ada susu instan. Semua serba instan. Lalu bagaimana dengan persoalan pemenuhan gizi yang jadi isu menyudutkan makanan dan minuman instan? Tenang, kini, semua hal instan sudah difortifikasi, sudah ditambahkan berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Sudah dijamin BPOM. Sudah pula di-endorse oleh berbagai ahli gizi bahkan dokter di berbagai iklan, seminar, talkshow, dan alat-alat marketing lainnya.
Jadi, aman. Damai. Tenang. Tak perlu hanyut dalam kecemasan. Setidaknya, nilai-nilai ini yang dinarasikan oleh produsen makanan dan minuman instan dalam campaign-nya.
Namun, tahu, kan, bahwa ketika makanan dan minuman instan mampu memotong sekian jam waktu ibu untuk menyiapkan makanan, sesungguhnya, ini berarti juga sekaligus memotong waktu sang ibu dalam mengekspresikan rasa cintanya di setiap proses bikin penganan?
Masak adalah tradisi turun temurun yang sudah lekat menjadi bagian dari elemen institusi kecil bernama keluarga. Demikian juga makan. Ini adalah momen kebersamaan, di mana keluarga bukan cuma sedang memenuhi rasa laparnya. Tapi sedang saling mengikat rasa cinta satu sama lainnya.
Di setiap ulekan bumbu, ada cinta ibu. Di setiap suap nasi dan lauk hangat, ada lezatnya kasih ibu. Di setiap seruput kuah, ada rindu ibu. Tak aneh, ada banyak kisah, ketika seorang anak di suatu ketika pergi jauh merantau, bahkan jauh ke ujung benua, pada akhirnya ia akan pulang jua karena tak mampu menahan rasa kangennya pada masakan ibu.
Masak di rumah, makan bersama, lebih dari sekadar ritual pemenuhan rasa lapar, tapi juga sebuah tradisi bagaimana nilai tertanam menjadi dasar yang membentuk watak sebuah keluarga. Watak manusia. Yang pada akhirnya, ketika kumpulan manusia ini berkumpul dan bersosialisasi, maka menjadi watak sebuah negara atau dunia.
Baca juga: Dari Mana Makanan Instan Bermula
Degradasi Nilai Sejak Usia Bayi
Nilai luhur tradisi itu kini tergilas oleh mesin industri makanan instan beromzet ratusan miliar dolar per tahun. Bahkan, ironisnya, sejak di masa 1.000 hari kelahiran anak. Industri makanan dan minuman instan sudah masuk bagian dari nilai kekinian. Industri makanan dan minuman instan mencoba mengganti hangatnya kasih sayang ibu dengan cinta semu.
Lihat saja, Catatankaki pernah menyaksikan seorang ibu yang tengah bahagia sehabis melahirkan bayinya di sebuah rumah sakit, ia semakin bahagia karena rumah sakitnya mempersembahkan hadiah tertentu sebagai bentuk kepedulian. Saat dibuka, hadiahnya adalah perlengkapan bayi. Uniknya, ternyata, salah satu di antaranya merek ternama susu formula.
Si ibu tentu merasa bahagia karena diperhatikan dan dipedulikan. Ia tidak sadar bahwa di balik itu ia sedang digiring untuk setidaknya sekali dua kali menggantikan air susu ibu dengan susu instan. Menggantikan dekat dan hangatnya seorang ibu, mendekapkan bayi ke dadanya dalam proses menyusui, dengan hangatnya sebotol susu instan.
Industri, dengan segala cara, melakukan upaya untuk menanamkan brand-nya pada target audiensnya. Ini hanya kasus susu instan buat bayi. Masih ada banyak jebakan minuman dan makanan instan lainnya, baik secara halus maupun terang-terangan, berupaya mengubah tradisi luhur kita dengan tradisi instan. Mereka mengemasnya dengan narasi-narasi yang menyentuh kemanusiaan juga. Seperti dengan menjadikan produk tersebut bagian dari kasih sayang, cinta, juga hangatnya keluarga. Puihhhhh!
(Asep Herna)