24 October 2024
Sekali Lagi, Citayam Fashion Week

Foto: Freepik

Saya kagum pada bocah-bocah Citayam, juga anak-anak di wilayah penyangga lain Ibu Kota, yang belakangan membuat heboh Jakarta.

Datang dari daerah “kampung” di pinggiran Ibu Kota menggunakan kereta, tingkah polah mereka mampu mengguncang Indonesia. Orang-orang sesaat melupakan wabah corona atau seabrek masalah lainnya. Mereka pun menginvasi dan mengubah merek kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Acara nongkrong bareng-bareng mereka di sekitar Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Selatan, menjadi magnet yang menarik perhatian banyak pihak, tak terkecuali para selebgram, pengamat fashion, bahkan menjadi ajang saling sindir antar-wali kota. Sebuah komunitas fashion Jepang pun membandingkan fenomena anak-anak Citayam ini dengan Harajuku di sana.

Acara kongko-kongko putra-putri Citayam, sembari beraksi nge-vlog mengenakan atribut dan busana modis ala mereka—yang belakangan disebut Citayam Fashion Week (CFW)—semula menjadi viral, dan tiba-tiba booming di Nusantara. Acara serupa digelar di sejumlah daerah, dengan embel-embel CFW Malang, CFW Semarang, CFW Bandung, dll. Bahkan seorang Gubernur menyempatkan diri bergaya di ajang CFW. Melihat maraknya CFW yang merambah berbagai daerah, sampai-sampai seorang selebgram dan YouTuber ternama hendak mematenkan nama CFW. Seorang menteri juga menawari beasiswa, pendampingan, dan pelatihan untuk “tokoh-tokoh” alias para slebew CFW yang rajin membuat konten di acara nongkrong-nongkrong itu. “Siapa tahu mereka bisa tampil di Paris,” kata Sang Menteri. Negara tiba-tiba seperti hadir di CFW.

Baca Juga: Ekspresi Kreatif Citayam Fashion Week


Roy, Jeje, Bonge, dan Kurma—sejumlah tokoh CFW yang menonjol—kini menjadi “pesohor”. Mereka tampil di acara TV, podcast, TikTok, dan media lainnya. Cuan pun berdatangan. Lepas bahwa ini cuma tren semusim, lepas dari keriuhan yang mereka munculkan, lepas dari kegelisahan sejumlah pihak, juga lepas dari latar belakang mereka, Roy dkk tergolong anak-anak yang masih beruntung. Meski banyak di antara mereka putus sekolah, mengalami sejumlah masalah, dan kurang mendapat perhatian keluarga, Roy dkk mampu “lari” dari keterbatasan dengan ide kreativitas yang diapresiasi banyak orang.
______________________________________________________________________________

Nun jauh di tengah hiruk-pikuk CFW, sejumlah anak justru berada di jalan sunyi. Mereka terjebak dalam lubang kelam. Mereka mengalami perundungan, pelecehan, dan menanggung beban trauma seumur hidup. Sejumlah peristiwa terbaru membuat saya miris. Anak dirantai di Bekasi; anak dirundung berbuat asusila dengan kucing di Tasikmalaya hingga membuatnya sakit dan meninggal; seorang penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Lampung tewas diduga karena dianiaya teman-temannya; puluhan santri yang dilecehkan guru ngajinya, itu hanyalah beberapa kasus yang mencerminkan buruknya pemenuhan hak dan perlindungan terhadap anak di negeri ini. Ironisnya, sebuah studi mengungkapkan bahwa kejadian seperti di LPKA Lampung itu terjadi berulang di tempat lainnya. Bahkan penelitian tersebut mengklaim separuh lebih anak yang tinggal di lembaga-lembaga seperti itu pernah mengalami kekerasan.

Sepanjang 2021 hingga pertengahan tahun ini, Komnas Perlindungan Anak menerima lebih dari 2.700 laporan yang berkaitan dengan pelanggaran hak dan perlindungan anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 53 persen merupakan kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak (Koran Tempo, 25 Juli 2022).

Saya tidak tahu kapan dan apakah bisa anak-anak korban kekerasan itu bangkit, melupakan, serta sembuh dari trauma atas peristiwa yang menimpa mereka. Saya juga tidak tahu apakah para korban itu bisa “lari” dari persoalan dan menciptakan kreativitas semacam Roy, Jeje, Bonge, Kurma, dan lainnya. Yang jelas, ini bukan tren semusim. Diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, dan hilangnya hak-hak anak masih banyak dialami anak-anak Indonesia. Dari dulu hingga sekarang. Angka-angka dari Komnas Perlindungan Anak tadi menjadi salah satu indikatornya. Belum lagi peristiwa-peristiwa serupa yang tidak atau belum dilaporkan dan diketahui. Yang pasti juga, saya tidak tahu apakah negara bisa dibilang gagal, menghilang, atau ghosting dalam menjamin hak anak memperoleh perlindungan dari kekerasan-kekerasan seperti itu. Atau, jangan-jangan, hal-hal seperti ini memang kurang menarik perhatian banyak kalangan.

Berbeda dengan kemunculan CFW, yang membuat banyak pihak tiba-tiba berdatangan…

(S. Maduprojo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *