25 November 2024
Jimmy Cherizier, Pemimpin Aliansi Gangsters G9 di Haiti. "Aliansi Gangsters G9 akan mengangkat revolusi senjata untuk menumbangkan perdana menteri," katanya.

Jimmy Cherizier, Pemimpin Aliansi Gangsters G9 di Haiti. "Aliansi Gangsters G9 akan mengangkat revolusi senjata untuk menumbangkan perdana menteri," katanya.

Oleh Asep Herna, Redaksi Catatankaki
Bisakah Anda bayangkan, bagaimana bila negara dikuasai gangster? Saya jamin, di kepala Anda, yang muncul pertama adalah imaji kekerasan, kriminalitas, darah dan kekacauan. Namun terbayang jugakah, bahwa kemudian para Gangster ini akan masuk ke ranah politik dan memengaruhi kebijakan? Simak tulisan berikut ini.

Gangster selalu berangkat dari kejahatan jalanan. Mencuri, merampok, mengedarkan drug plus narkotika, dan sejenisnya. Untuk survive mereka kemudian membentuk kelompok. Awalnya menguasai area tertentu, lalu terlibat konflik dengan gangster-gangster lainnya. Pemenang kemudian menguasai wilayah yang lebih besar, dan bisnis “haram”-nya pun berkembang jauh lebih besar lagi, sampai bahkan bisa meliputi skala jaringan internasional.

Mereka biasanya berkolaborasi dengan pemegang kekuasaan, apakah oknum polisi, oknum militer, atau politisi, yang kehadirannya senyap, sampai kemudian bias, siapa patron, siapa kacung. Apakah penguasa yang jadi patron gangster, atau sebaliknya, malah gangster yang memiliki bahkan menentukan boneka mana untuk jadi penguasa. Ya, seperti ayam dan telor jadinya.

Negara-negara Para Gangsters

Negara dengan gangster paling marak adalah Guetemala, Meksiko, Venezuela, Honduras dan El Salvador.

Guetemala merupakan salah satu negara yang masuk wilayah “Drug Triangle” bersama dengan Honduras dan El Salvador. Di Guetemala ada sekitar 54 ribu lebih anggota gangster yang bebas berkeliaran di wilayah manapun. Mereka menjalankan bisnis drug dan narkotika hingga mencapai wilayah negara tetangga. Pusat gangster ada di area 18th Street Gang. Pimpinan mereka, Mara Salvatrucha, memang sudah ditangkap pada 2017 lalu, namun tetap, pergerakan mereka masih terus merajalela hingga sekarang. Bukan hal aneh kalau kegiatan gangster bisa dikendalikan dari penjara.

Perang antargang kerap terjadi, dan ini menyebabkan Guetemala masuk ke dalam 10 besar negara dengan pembunuhan tertinggi di dunia. Hal sama terjadi dengan negara tetangganya, yaitu Honduras. Di Honduras sendiri, perang dan pembunuhan antargang kerap terjadi di area rute perdagangan narkoba, dan yang paling memakan banyak korban adalah di wilayah perbatasan dengan Guetemala.

Perang, Kemiskinan dan Kematian

Negara “Drug Triangle” lainnya adalah El Salvador. Perang saudara, para penguasa korup, serta kemiskinan, membuat para gangster tumbuh marak di negara ini. Bisnis mereka adalah obat-obatan terlarang. Maraknya gangster berbanding lurus dengan perang dan pembunuhan antargang. Tercatat, El Salvadorlah yang memuncaki urutan negara dengan pembunuhan terbesar di dunia.

Negara yang kerap menghiasi berita perang antargang di televisi-televisi adalah Meksiko. Layaknya adegan di film, sering kita saksikan dar der dor adu tembak para gangster. Bahkan tak jarang, polisi dan masyarakat sipil pun jadi sasaran. Mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan, adalah pemandangan yang sudah jadi tontonan basi semua orang. Organisasi gangsters terbesar di Meksiko adalah Zates dan Kartel Sinola. Pimpinan Kartel Sinola bernama Joaquin El Chapo Guzman. Ia tertangkap dan diekstradisi ke AS tahun 2017 lalu. Di Netflix malah bisa kita lihat serial film tentang penjahat besar ini.

Bila El Salvador adalah negara dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia, maka Venezuela adalah negara dengan ibukota yang menempati urutan kriminalitas dan pembunuhan tertinggi di dunia. Di Caracas, Ibukota Venezuela tersebut, setiap harinya paling tidak ada 5 orang yang tewas karena perang antargang. Dan angka pembunuhan setiap tahunnya mencapai 2600 kasus. Sadis sekali, kan? Pantas kalau ketidakmampuan negara dalam mengatasi gang ini sudah menjadi perhatian PBB.

Luka Hati Haiti

Yang paling absurd adalah apa yang terjadi di Haiti belakangan ini. Haiti sepertinya sedang memasuki babak baru luka hati. Gangster bukan lagi sekadar tidak bisa dikendalikan oleh negara, justru Gangsterlah yang kini menguasai negara, dalam arti yang sebenarnya.

Tersebutlah Jimmy Cherizier, seorang pemimpin gang dan mantan perwira polisi Haiti. Ia menyerukan pada seluruh gangster di negeri ini untuk mengangkat senjata dan menggulingkan Perdana Menteri (PM) Ariel Henry, sampai tumbang. Dalam “pemberontakannya”, Jimmy Cherizier yang dijuluki “Barbecue” (Barbekyu) ini, membentuk aliansi gangster bernama Fos Revolisyone G9 an Fanmi e Alye (Pasukan Revolusioner Keluarga dan Sekutu G9) yang akrab dengan sebutan G9 atau FRG9.

Jimmy mengancam, kalau PM Ariel Henry yang sekarang sedang dalam perjalanan luar negeri ke Nairobi ini tidak menyatakan mundur, maka babak baru perang saudara dan genosida di Haiti segera berlangsung.

Genosida Bukan hanya Gertakan Belaka

PM Ariel Henry sendiri berangkat ke Nairobi dalam rangka membicarakan pengiriman pasukan keamanan multinasional yang dipimpin Kenya. Hingga kini malah Sang PM tidak ketahuan rimbanya, ada di mana. Hal ini membuat Jimmy geram dan menunjukkan bahwa ancamannya bukan sekadar gertakan. Serangan bersenjata pun ia lakukan pada Sabtu, 2 Maret 2024 lalu, dengan membabi buta menghajar penjara di Port Au Prince, membantai sebagiannya di dalam sel, dan melepaskan 4000 narapidana lainnya. Seminggu sebelumnya, para gangsters ini juga sudah menyerbu penjara di dekat Croix Des Baucuets.

Keadaan chaos ini membuat Menteri Keuangan Haiti yang menjabat sementara perdana menteri, Patrice Boisvert, mengumumkan negara dalam keadaan darurat. Ia juga memberlakukan jam malam, dari mulai pukul 18.00 hingga pukul 5.00 pagi waktu setempat.

Militer Haiti seperti tidak berdaya. Kekuatan senjata gangster G9 begitu nyata, sehingga PM Ariel Henry merasa pasukan keamanan multinasional adalah solusi satu-satunya. Gangsters G9 bahkan sudah mendeklarasikan bahwa pasukannya sudah menguasai ibukota Port Au Prince, ini adalah simbol keberhasilan sebuah pemberontakan.

“Kita semua, kelompok bersenjata di seluruh provinsi dan di Ibukota sudah bersatu untuk menumbangkan PM Ariel Henry,” kata Jimmy Cherizier yang juga diduga sebagai dalang dari begitu banyak pembantaian di Haiti ini. “Kami melakukan semuai ini untuk kebaikan negeri ini,” tambahnya. Hmmm… ternyata, gangsters pun dalihnya adalah untuk kebaikan.

Narasi Kebaikan ala Gangsters

Tentang kebaikan ini, memang menjadi narasi yang diangkat oleh Jimmy Cherizier di dalam “perangnya” melawan pemerintah. Narasi ini pun cukup berhasil. Terbukti, ketika Jimmy Cherizier dan gangnya membuka blokade terminal bahan bakar Varreux yang tadinya ditutup di wilayah Port Au Prince, tindakan ini dianggap heroik, dan dipuja-puji oleh masyarakat, terkhusus netizen. “Jimmy Sang Presiden! Jimmy Sang Pemimpin!” begitu sebutan mereka mengelu-elukan Jimmy.

Sejatinya, blokade terminal bahan bakar ini, sebetulnya dilakukan oleh pasukan gangsters G9 sendiri. Dan hal ini mengakibatkan kesengsaraan luar biasa bagi masyarakat Haiti. Rumah Sakit menjadi sangat terbatas dalam layanannya. Begitu juga dengan akses pada sembako, semua menjadi terbatas. Akhirnya, wabah kolera merebak, dan masyarakat terancam kelaparan. Hal ini yang kemudian membuat Jimmy dan gangnya memutuskan untuk membuka kembali blokade, dan mendapat respons pujian dari warga.

Siapa sih Jimmy Cherizier?

Jimmy Cherizier lahir di Delmas, Quest, dekat daerah kumuh La Saline, Port Au Prince, pada tahun 1977. Ada yang bilang tahun 1976. Ia kemudian menjadi perwira di Unit Pemeliharaan Ketertiban, satuan elit dari Kepolisian Nasional Haiti. Di saat masih menjabat polisi, ia kerap bersinggungan dengan gangster, dan disinyalir, pada tahun 2017 ia melakukan pembantaian di Grande Revine, menewaskan sedikitnya 9 orang. Pada 2018, ia terlibat pembantaian di La Saline, menewaskan 71 orang dan membakar 400 rumah. Karena ulahnya ini, pada Desember 2018, Jimmy dipecat sebagai polisi.

Pada Juni 2020, Jimmy mengumumkan resmi berdirinya G9. Awalnya G9 hanya beranggotakan 9 aliansi gangsters, kemudian berkembang hingga 95 gangsters. Disinyalir, G9 ini memiliki kedekatan khusus dengan mendiang presiden Jovenel Moise, yang tewas pada 1 Juli 2021 lalu, di kediamannya. Kedekatan ini yang membuat Jimmy Cherizier seakan kebal hukum, sehingga pembantaian demi pembantaian yang ia dan G9 lakukan pun lepas dari penyelidikan polisi.

Selain serangkaian pembantaian di atas, Jaringan Pertahanan Hak Azasi Manusia Nasional (RNDDH) yang berbasis di Haiti, mencatat sejumlah peristiwa berdarah lainnya. Pada 24-27 Mei 2020, G9 membantai 6 hingga 34 orang di Port Au Prince. Kemudian dalam peristiwa pengambilalihan Bel Air, masih di Port Au Prince, tercatat korban, bulan Agustus hingga Desember 2020 tewas sebanyak 36 orang; dan Maret hingga Mei 2021 tewas 45 orang. Ini belum termasuk 18 orang hilang. Pembantaian di Cite Soleil, bulan Januari hingga Mei 2021, menewaskan 44 orang, dan 7 orang hilang. Menurut RNDDH, taktik kejahatan yang dilakukan G9 ini adalah pembunuhan acak terhadap warga sipil, pemerkosaan sistematis, penjarahan dan pembakaran desa, penculikan, serta mutilasi.

Darah adalah Jalan Politik Gangsters

Krisis politik dan ekonomi Haiti ini tentu tidak lepas dari perseteruan presiden Jovenel Moise dengan para oposisinya. Ini memuncak pasca tewasnya presiden yang diduga diberondong oleh kelompok oposisi, walaupun oposisi membantahnya.

Anehnya, seminggu sebelum presiden tewas, aliansi Gangster G9 menyatakan diri independen, dan muak dengan perseteruan kelompok bisnis, oposisi, termasuk pemerintah. G9 akan memimpin revolusi bersenjata, melawan elit bisnis dan politisi Haiti. Bahkan G9 juga menuntut presiden Jovenel Moise mengundurkan diri, dan menyerukan dialog nasional, untuk mendefinisikan ulang negara Haiti. Jimmy Cherizier mengatakan, G9 siap mengisi kekosongan kekuasaan sementara, yang ditinggal pemerintah. G9 akan membebaskan Haiti dari oposisi, pemerintah dan kaum borjuasi Haiti.

Seminggu setelah pernyataan ini, Presiden Jovenel Moise tewas. Kekuasaan langsung diambil alih oleh perdana menteri interim, Claude Joseph, sebagai presiden. Namun pada 20 Juli, jabatan presiden diserahkan pada Ariel Henry, sebagai penjabat sementara. Jimmy Cherizier pun meradang, dan menyebut bahwa polisi dan para borjuasi busuk telah bersekongkol untuk mengorbankan Moise.

Dari sanalah, konflik berdarah semakin bergejolak, dan kini, Jimmy Cherizier mengancam melancarkan perang saudara dan genosida.

Jangan Ada Ruang bagi Kekerasan

Bagaimana pun, para Gangsters tak boleh pernah diberikan jalan menuju kekuasaan. Kita harus waspada. Sejarah menunjukkan selalu saja ada kerjasama antara gangsters dan polisitisi atau kaum borjuasi busuk, baik senyap ataupun terang-terangan.

Demikian juga di Indonesia. Jangan sampai, negara bekerjasama dengan para gangsters. Apalagi menjadikannya alat, walau dalam topeng lain, seperti organisasi legal dan sejenisnya. Masyarakat harus waspada dan mengenali, siapa di balik organisasi tersebut, bagaimana kiprah sebelumnya, dan seperti apa narasi yang kini dibentuknya. Akan sangat berbahaya, bila sesungguhnya, ia ternyata gangsters yang dijadikan tangan jahat dan senyap untuk meneror warga.

Nah, kira-kira, di kita sudah ada tanda-tandanya atau belum, sih? Semoga tidak ada.

(Riset Asep Herna dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *