25 November 2024
Kembalikan “Sumatra”-ku…

Peta kuno Pulau Sumatera: National Geographic Indonesia

Tulisan ini tidak bermaksud provokatif, mengajak yang aneh-aneh, melainkan sekadar mengingatkan bahwa saat ini ada dua penyebutan untuk pulau paling barat di wilayah Nusantara ini: Sumatera dan Sumatra. Mana yang paling tepat?

Wikipedia mengungkap Prasasti Padang Roco (1286) memahatkan nama swarnnabhūmi—berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “tanah emas”—dan bhūmi mālayu (“Tanah Melayu”) untuk menyebut pulau ini. Prasasti Padang Roco ditemukan pada 1911 di hulu Sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Nama “Sumatra” berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudra yang terletak di pesisir timur Aceh. Ibnu Battutah, petualang asal Maroko yang berkunjung ke negeri tersebut pada 1345, melafalkan kata Samudra menjadi Shumathra. Kemudian menjadi Sumatra. Artikel situs National Geographic Indonesia menyatakan, penyebutan Sumatra sebagai nama kawasan muncul secara gamblang dalam Al-Rihlah. Ini adalah catatan Ibnu Battutah sekitar 1345. Menurut Hamka dalam buku Sedjarah Islam di Sumatera (1950), Ibnu Battutah menulis Sumathara atau Sumathra karena merujuk pada kata “Samudra”. Ini adalah nama kesultanan yang berdiri di Aceh sekitar abad ke-13. Nama Sumatra kemudian tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, merujuk pada pulau ini sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.

Menurut National Geographic, nama yang dikenal justru Pulau Perca—Pritcho dalam dialek Melayu selatan—dan Indalas (Andalas). Ini berdasarkan karya sastra Melayu yang merujuk pada pulau-pulau sekitar semenanjung Malaya. Dalam buku The History of Sumatra, disebut bahwa penggunaan nama ini sudah marak. Bahkan Selat Malaka sebelumnya dikenal sebagai Laut Indalas. Dikisahkan, orang Sumatra masa itu yakin Selat Malaka dulu memiliki jembatan yang dihancurkan oleh Iskandar Agung.

Adapun istilah Perca berarti potongan atau sobekan. Sebutan itu dihubung-hubungkan dengan sebuah peta, di suatu kawasan yang disebut Selat Rupat. Di sini terdapat tempat bernama Pulau Perca, yang berarti pulau yang terpotong-potong.

Penjelasan lebih detail terkait orang Sumatra dijelaskan oleh Niccolo de Conti dari Italia. Ia melakukan perjalanan ke Asia pada 1449. Niccolo adalah seorang pedagang, penjelajah, serta penulis Italia. Ia melakukan perjalanan ke India dan Asia Tenggara, dan mungkin ke Tiongkok Selatan, pada sekitar awal abad ke-15.

Pertama Kali Dipakai untuk Nama Gelar Raja

Masih menurut National Geographic, ahli pelayaran Eropa di masa lalu, menyebut Sumatra sebagai Ophir. Marco Polo menyebut Sumatra sebagai Java Minor. Artinya sudah terlupakan, atau belum mempelajari penduduk aslinya tentang penamaan yang sesuai. Marcopolo adalah saudagar sekaligus petualang dan pengarang asal Venesia, Italia. Ia berkelana ke berbagai pelosok Asia lewat Jalur Sutra sekitar 1271-1295. Nah, pemakaian nama Sumatra pertama kali ditengarai berupa sebuah gelar seorang raja Sriwijaya bernama Haji Sumatrabhumi (Raja Tanah Sumatra). Kisah ini merujuk pada berita Tiongkok ketika Haji Sumatrabhumi mengirim utusan ke Cina pada 1017.

Cerita lain menyebutkan nama Sumatra berasal dari kata Samudra, kerajaan di Aceh pada sekitar abad ke-13 atau ke-14. Nama itu diucapkan para musafir Eropa untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan Pulau Kalimantan yang disebut Borneo. Kata ini berasal dari nama Brunei, daerah bagian utara pulau Kalimantan yang mula-mula didatangi orang Eropa.

Julukan asli untuk menyebut Pulau Sumatra adalah “Pulau Emas”. Ada beberapa peninggalan yang menceritakan penyebutan ini. Dalam cerita Cindua Mato, orang Minangkabau menyebut pulau ini Pulau Ameh alias Pulau Emas. Seorang musafir asal Tiongkok, I-Tsing (sekitar abad ke-7), menyebutnya chin-chou, juga artinya Pulau Emas. Di berbagai prasasti, dalam bahasa Sanskerta, tersebut Swarnadwipa, juga bemakna Pulau Emas. Dalam naskah Yunani kuno bahkan tertulis nama Taprobana yang diduga untuk menyebut Sumatra. Sejumlah sejarawan menyatakan nama Taprobana mengacu pada sebutan Sri Lanka.  

Yang menjadi pertanyaan, kapan nama Sumatra berubah menjadi Sumatera seperti sekarang-sekarang ini?

Semua Karena Undang-Undang?

Ada sejumlah artikel menarik yang mencoba menuliskan utak-atik gathuk tentang pemakaian nama Sumatera, alih-alih Sumatra. Salah satunya ditulis oleh Rahmat Maulana di situs web Medium.com. Menurutnya, penggunaan nama Sumatera adalah “ulah” pemerintah saat itu, ketika mengeluarkan peraturan pemerintah atau undang-undang tentang pembentukan provinsi-provinsi di Sumatra. Mereka menuliskannya dengan kata “Sumatera”. Contohnya Undang-Undang (UU) RI Nomor 24 Tahun 1956. Lalu UU Darurat RI Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian UU RI Nomor 25 Tahun 1959. Semua tentang pembentukan sejumlah provinsi di pulau ini. Saya telusuri, ada produk UU yang lebih tua untuk menyebut nama Sumatera, yakni UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatera Tengah. Mungkin ada lagi produk hukum yang lebih tua untuk menyebut nama Sumatera.

BACA JUGA: Sosok di Balik Potret Ikonik Chairil

Dengan kata lain, nama Sumatera “telanjur basah” alias sudah salah kaprah karena undang-undang. Jadilah sampai sekarang nama Sumatera yang menjadi panutan. Sama seperti KBBI, Wikipedia tetap “setia” memakai nama Sumatra untuk menyebut pulau ini. Bisa ditebak, karena dari sisi sejarah, dibuktikan dengan beberapa peninggalan prasasti dan kitab-kitab lainnya, nama asli pulau ini adalah “Sumatra”. Juga gambar-gambar pada peta masa lalu yang menuliskannya Sumatra.

Jadi, kalau bisa memprotes, nama yang lebih tepat semestinya Sumatra, berdasarkan sejarah pulau ini. Setujukah nama Sumatera kembali menjadi Sumatra?

(S. Maduprojo, sumber rujukan Wikipedia.org, National Geographic Indonesia, Mediumcom, dan sumber lainn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *