Ada yang gerd-nya ngamuk sampai harus bolak-balik masuk IGD. Ada yang kupingnya berdengung terus karena terserang tinnitus. Ada yang tensi darahnya melonjak dan gak turun-turun. Ada juga yang sampai depresi akut.
Padahal mereka bukan peserta kontestasi tersebut lho, baik caleg apalagi capres-cawapres. Bahkan relawan pun bukan. Mereka cuma simpatisan capres-cawapres atau partai tertentu saja. Namun, ya itu, militansinya melebihi kadar kader dan kontestannya sendiri.
Politik, Politik dan Politik
Setiap waktu, yang ada di kepalanya, politik. Di grup-grup WA ngomongin politik. Sesekali menebar hoaks yang mungkin dia sendiri tidak tahu itu fake. Di media sosial nulisnya politik. Isinya selalu mengangkat heroisme calon jagoannya, dan menguliti dosa-dosa besar lawannya.
Setiap hari hal ini dilakukan, seakan merebut seluruh waktunya untuk hidup. Merebut waktunya untuk menaikkan taraf kesejahteraan diri dan keluarganya; untuk nyaman dan menikmati bahwa kehidupan bumi itu begitu indah; termasuk untuk bersosialisasi dengan wajar.
Mereka sendiri sebetulnya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali emosinya yang turun naik. Sebentar luluh-lantak, sebentar meledak-ledak.
Ya. Mereka tidak mendapatkan apa-apa. Yang ada hanya keadaan ekonominya kian terpuruk. Yang ada hanya kesehatannya yang kian ambruk. Yang ada hanya ketenangannya yang kian memburuk. Yang ada, hanya kemampuan berempatinya yang terus dan kian surut, karena ia semakin terlatih, melihat sesuatu hanya dari sisi kebenaran buta versi dirinya saja.
Bayangkan, ini dilalui dan dirasakannya tiap hari, terus menerus dalam 10 tahun terakhir. Tak pernah berhenti meskipun periode kontestasi politik sudah selesai. Saling bully, saling cela, saling benci, saling hina.
Dalam 10 tahun terakhir ini, dan mungkin kini diperbaharui akan berlangsung 5 tahun ke depan lagi, ada banyak waktu terbuang sia-sia. Dunia digital semakin memperparah semua ini, karena menjadi media gratis yang memfasilitasinya. Demikian pun, sistem algoritma di dunia digital, membuat seseorang bermata kuda, karena hanya akan menyentuh dan tersentuh oleh isu-isu atau hal sesuai interest-nya saja. Informasi di luar interest-nya, di luar hobinya, di luar keyword yang biasa ditulis dan diucapkannya, tak akan hinggap menjadi asupan alternatif bagi persepsinya.
Budaya Baru
Keadaan seperti ini, di satu sisi menunjukkan partisipasi politik masyarakat semakin tinggi. Namun, caranya yang kurang sehat, memunculkan keadaan lain. Masyarakat semakin terbelah. Saling fitnah, saling benci, berprinsip atas dasar kelompok dan bukan atas dasar nilai “ideologis”, jadi budaya baru. Kecerdasan berpikir pun menjadi semu. Hal ini diakibatkan proses literasi terjadi dengan kualitas sangat rendah. Orang aktif mencari informasi, tapi informasi sudah dikendalikan dengan algoritma berbasis profiling data. Data informasinya hanya satu sisi, dan sangat tertutup dengan proses antitesis, sehingga validitasnya rendah. Bahkan, banyak yang diserap justru informasi palsu.
Di sisi lain, level elit politik memanfaatkan keadaan kacau seperti ini. Mereka mencari keuntungan, dengan semakin memperburuk keadaan. Gerak tim cyber-nya, baik tim resmi maupun tim bayangan, bukan lagi hanya membangun narasi berbasis gagasan, tapi menciptakan persepsi dengan menghalalkan segala cara. Muncullah metode-metode kotor seperti firehose of falsehood (memasifkan kebohongan repetitif sehingga menjadi seakan kebenaran); metode false flag (menghancurkan lawan dari dalam, dengan melakukan aktivitas buruk tapi dengan menggunakan bendera lawan); logical fallacy (menciptakan kebenaran-kebenaran palsu dengan tujuan melakukan pembusukan terhadap lawan); dan sekumpulan cara kotor lainnya.
Cara-cara tidak bertanggung jawab seperti ini yang kalau dibiarkan dan berlangsung terus menerus, akan membuat bangsa ini semakin terpuruk pada kehancuran.
Baca juga: Mengembara Melalui Tulisan
Aktifkan Daya Kritis
Saya hanya ingin mengingatkan, siapapun kita, berpikirlah secara kritis. Pertanyakan kembali apa yang saat ini sedang kita lakukan. Setiap sesuatu yang menurut kita baik pasti ada buruknya. Dan setiap sesuatu yang menurut kita buruk pasti ada baiknya. Pertimbangkan dengan akal sehat, apa baiknya, apa buruknya. Lalu bandingkan, dan pastikan, keputusan kita didasarkan pada pertimbangan kita, untuk memilih sesuatu yang manfaatnya jauh lebih besar, daripada risikonya.
Ini bukan hanya berlaku pada cara kita menentukan siapa kontestan yang menjadi pilihan, tapi juga cara kita memutuskan ketika hendak bertindak. Misal, ketika kita menerima sebuah informasi, pertanyakan informasi itu dengan kritis. Dari mana sumber informasi itu. Check emosi informasi itu, apakah sifatnya edukasi, hanya sekadar fun alias hiburan saja, atau bernilai provokasi. Apa kira-kira motivasi dari informasi itu. Apa goal dari informasi itu. Uji logika informasi itu. Lihat data informasi itu. Bila perlu, bandingkan dengan informasi lain, dan check kebenarannya, dengan mencari tahu di situs-situs check fakta atau hoaks.
Hindari, untuk menelan mentah-mentah informasi yang kita terima. Hindari juga untuk menjadi bagian yang menyebarkan informasi tersebut, bila setelah kita uji, ternyata informasi tersebut bernilai buruk.
Mari Kita Riang
Gairah kita untuk terlibat pada kemeriahan kontestasi politik ini, jelas sesuatu yang sehat, bila kita lalui dengan positif. Dukung kebaikan kontestan jagoan kita, promosikan dan edukasi orang-orang dengan sopan. Hormati juga pilihan yang berbeda, karena seperti kita, mereka pasti punya alasan kuat atas pilihannya.
Apakah pertimbangan pilihan Anda karena soal nasionalisme, karena kedekatan emosional, karena pertimbangan agama, karena visi politiknya, karena ideologinya, karena kemoderatannya, karena kecerdasannya, karena kegantengan dan kecantikannya, semua sah-sah saja.
Jika pilihan kita menang, sambut dengan gembira. Jika pilihan kita kalah, masih ada 5 tahun berikutnya. Dukung penuh yang menang, karena berarti Tuhan dan rakyat telah memberi amanah pada mereka.
Kita bersatu karena kita punya identitas yang sama. Lebih dari itu, kita bersatu karena kita satu bangsa yang sama. Di atasnya, kita bersatu karena kita adalah saudara, mahluk dengan spesies yang sama sebagai manusia, yang memiliki ruh dan nilai universal bernama kemanusiaan.
Mari kita riang dan gembira. Terlalu sayang bila negeri indah ini hanya kita isi dengan permusuhan. Terlalu menyedihkan bila setiap detik diri kita, kita isi dengan kebencian. Mari kita jalani politik riang dan gembira. Ini pesta kita. Bebaskan diri kita dari ancaman gerd, tinnitus, depresi akut, darah tinggi, atau psikosomatik lain yang bisa bikin bolak-balik mengunjungi IGD.
(Asep Herna, Subconscious Communicator)