22 November 2024
Menulis adalah mengembara jauh di jalan tak berbatas (Photo: Freepik)

Menulis adalah mengembara jauh di jalan tak berbatas (Photo: Freepik)

Catatan Asep Herna
Ternyata, ada banyak keajaiban yang saya peroleh dari menulis.

Saya hobi menulis–dan belum menyadarinya bahwa kemudian hidup saya dari menulis–sejak SMP. Saya ingat, dinding-dinding kamar saya, penuh dengan corat-coret ungkapan perasaan saya. Sejenis puisi. Lalu semua pintu rumah saya, termasuk pintu kamar orang tua saya, penuh dengan entah itu namanya puisi atau sekadar curhatan hati. Saya juga ingat, bahkan cermin rias Ibu yang ukurannya 60 cm x 100 cm di kamar, penuh dengan coretan spidol puisi saya.

Ketika usia SMA, saya tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan saya secara verbal pada lawan jenis yang saya suka, seperti teman-teman lainnya. Saya lebih nyaman menuliskannya. Dan tentu tidak untuk diberikan pada orangnya. Lagi-lagi entah apa nama ragam tulisannya. Puisi? Cerpen? Atau sekadar surat cinta? Yang jelas, gara-gara saya suka menulis hal seperti ini, banyak teman saya meminta untuk menuliskan surat cinta buat incarannya.

Titik Awal

Suatu ketika, saya pernah bolos sekolah sampai sebulan penuh lamanya. Saya harus mengejar berbagai ulangan harian (total sekitar 40 ulangan) di rumah setiap guru mata pelajaran, jika ingin naik kelas. Saya pun menjalaninya, dengan dikawal setiap hari oleh almarhum ayah saya. Hasilnya, di akhir semester, semua nilai saya pas-pasan. Hanya satu mata pelajaran yang masih membuat saya merasa berharga. Nilai Bahasa Indonesia saya 10. Tertinggi di satu sekolah. Dan ini sempat menjadi bahan motivasi yang dipidatokan oleh wali kelas saya, di depan siswa lainnya, selain mengapresiasi perjuangan saya untuk bisa naik kelas.

Rasanya tak salah, jika kemudian saya melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Saya sendiri, sebagai orang kampung yang lahir di sebuah desa di bawah Gunung Ciremai, tanpa berbekal pengetahuan apa-apa, mendaftarkan diri di jurusan ini. Saya tidak tahu apa prospeknya nanti, bahkan saya tidak tahu Universitas Indonesia itu kampus semacam apa, letaknya di mana. Begitu saja takdir mengantarkan saya.

Terpana pada Penulis

Begitu masuk perkuliahan, di semester awal, saya terpana melihat kakak kelas saya, masih berstatus mahasiswa semester akhir, tapi sudah menyandang profesi sebagai wartawan. Rasanya keren sekali. Kemudian, beberapa senior yang lain, banyak yang tulisannya, baik cerita pendek, cerita anak maupun esai terbit di beberapa media. Koran maupun majalah. Saya sangat terobsesi untuk menjadi penulis seperti mereka.

Tak jarang, saya ikut senior saya ketika mewawancarai narasumber untuk bahan beritanya. Saya lihat caranya menulis, caranya mengedit, lalu beberapa hari kemudian saya baca tulisan itu sudah terbit di medianya. Wah, betapa senang rasanya seandainya itu terjadi pada saya.

Lalu saya belajar pada senior saya tersebut. Tentang bagaimana cara mengumpulkan data, dan cara mengolahnya menjadi sebuah tulisan. Kakak senior saya bilang, kuncinya adalah berlatih. Setiap hari harus ada satu tulisan yang dibuat. Entah esai, cerpen, atau puisi. Pokoknya menulis. Kata kakak senior, walau kita sudah jago menulis, lalu kemudian kita vakum, maka skill itu akan tumpul juga.

Honor Pertama dari Menulis

Kata pepatah, alih bisa karena biasa. Begitu juga dengan saya. Di semester 2, saya mulai berani mengirimkan tulisan ke media. Kerap keberanian saya terbunuh, karena artikel dikembalikan oleh media. Tapi beberapa saat kemudia bangkit lagi, begitu melihat keasyikan senior saya.

Saya terkesiap, ketika suatu kali pulang ke rumah saya, di Desa Sunalari, sebuah desa di Jawa Barat, 150 km di sebelah timur Bandung. Saya mendapati kliping sebuah tulisan yang disimpan Ibu saya. Tulisan itu berjudul “Humor dalam Sastra Indonesia”, dimuat di Koran Pikiran Rakyat, 3 minggu sebelumnya.

Begitu saya tanya Ibu, dari mana kliping koran ini, Ibu bilang, itu dari A Apip (Om saya), yang bekerja di Bandung. Ia melihat tulisan ini dengan nama penulis Asep Herna, dan ia curiga itu Asep Herna nama ponakannya. Lalu ia kasih koran itu ke Ibu saya.

Betapa surga rasanya saat itu. Begitu bangga, dan saya nyaris tak percaya. Bayangkan, di usia masih menginjak semester 2, tulisan opini panjang saya sudah berhasil dimuat di koran berskala besar. Bertengger bersama tulisan esai seorang akademisi terkenal saat itu. Tekad saya untuk memecahkan record kakak senior saya menulis di media, tercapai. Saya lebih cepat dari mereka, karena saya masih semester 2 saat itu.

Pulangnya, saya mampir di Bandung. Saya ke kantor Harian Pikiran Rakyat di Jl. Soekarno-Hatta, untuk mengambil honor. Saya mendapat honor Rp 75.000, cukup besar untuk ukuran mahasiswa di tahun 1991 (saya ingat, biaya kos sebulan saat itu Rp 30.000). Dan inilah honor pertama saya dari menulis.

Takdir Saya, Penulis

Sejak itu, saya semakin termotivasi menulis. Tulisan saya terbit di beberapa media seperti Media Indonesia, Sinar Pagi, Sentana, Mutiara, Suara Pembaruan, dll. Bahkan di semester 3 (artinya tahun ke-2) perkuliahan saya, saya direkrut sebagai wartawan Tabloid Paron, tabloid baru yang dipimpin langsung oleh Bob Hasan, salah satu pengusaha besar di Indonesia. Saya ingat, gaji pertama saya saat itu Rp 350 ribu rupiah, gaji setara lulusan S1 di tahun1992.

Kata pimpinan redaksi saya, saya adalah wartawan termuda di Indonesia. Bahkan ketika saya mau didaftarkan sebagai anggota PWI, saya belum memiliki KTP (ini lebih karena saya belum sempat mengurusnya saja, sih).

Keterlibatan saya di dunia jurnalistik menimbulkan masalah baru. Saya sering harus memilih antara tugas kuliah dan tugas kantor. Waktu saya banyak tersita dengan tugas kantor, seperti dinas luar daerah, kelililng Indonesia untuk sebuah peliputan tentang profil bisnis di daerah-daerah, dan sebagainya. Akhirnya, kuliah saya hampir drop out, sehingga hal ini memaksa saya untuk keluar dari profesi jurnalistik.

Saya kembali menjadi mahasiswa penuh. Namun kegiatan menulis saya tetap berjalan, dengan menjadi freelancer di berbagai media. Di antaranya media TNI-AU bernama Forum Dirgantara. Hampir saja saya masuk sebagai perwira karier TNI, kalau Ibu mengizinkan. Saat itu, kalau diterima, sekolah saya dibiayai TNI, dan begitu lulus langsung mendapat pangkat letnan satu. Sayang, kekhawatiran Ibu demikian besar kalau saya jadi tentara. Jadi gagallah salah satu mimpi saya untuk menjadi jenderal.

Menjadi Penulis Commercial

Selepas kuliah, tiba-tiba saya disodori oleh tawaran untuk menjadi copywriter di sebuah biro iklan. Saya sangat asing dengan profesi ini. Karena di mata saya, profesi lulusan Sastra Indonesia ya kalau bukan dosen, jadi peneliti di Lembaga Bahasa, jadi editor, atau wartawan tadi. Lagi-lagi dengan buta pengetahuan di bidang ini, saya melamar ke biro iklan tersebut, berbekal portofolio tulisan-tulisan saya. Saya pun langsung diterima, dengan jumlah gaji saya saat itu,3 kali lipat gaji wartawan. Dunia asing ini mulai saya kenali, dan ternyata jauh lebih memicu kreativitas saya sebagai seorang penulis. Saya menciptakan iklan-iklan untuk brand saya saat itu, yaitu Toshiba, Minolta, Kenari Djaja, Konika Film, dan beberapa brand lainnya.

Tak sampai 2 tahun, saya pun direkrut menjadi copywriter sebuah biro iklan lokal yang diburu oleh setiap orang kreatif saat itu, yaitu MACS909. MACS909 adalah biro iklan yang sangat disegani, karena banyak menyabet berbagai penghargaan kreatif skala nasional, baik gold, silver, atau bronz. Setiap ajang pariwara, namanya sering disebut.

Di biro iklan ini, saya menjalani karir hingga creative director. Walau saya sempat nyemplung di biro iklan multinasional, yaitu Dentsu (asal Jepang), saya akhirnya kembali ke MACS909, karena menurut saya kultur kreatifnya lebih tepat dengan saya. Dan di sinilah saya mengeksplorasi kreativitas serta metode kepenulisan saya di dunia commercial.

Di dunia iklan, mungkin ribuan iklan sudah saya tulis dan kreasikan. Baik dalam bentuk iklan TV, iklan radio, iklan koran/majalah, billboard, dll. Puluhan award juga saya raih, mulai dari Gold, bahkan kategori The Best Copywriting.

Mendalami Metode Bawah Sadar

Untuk mengeksplorasi dunia komunikasi dalam kepenulisan, saya mempelajari metode hipnosisme dan neuro linguistic programming. Metode-metode ini mengeksplorasi dunia subconscious mind manusia, sebagai area paling dominan dalam mengendalikan tindakan. Saya mendapatkan sertifikasi hingga level instruktur.

Pendalaman saya di dunia mind technology, dan hobi saya di dunia kepenulisan, membuat saya kerap diminta menulis di berbagai majalah. Saya menulis tentang pola asuh di Good House Keeping, di Kidz Magazine, di Intisari, di CityMag, dll. Rupanya tulisan-tulisan saya dilihat oleh seorang editor dari Panda Media (Gagas Media Group), yang akhirnya meminta saya untuk merangkai tulisan-tulisan itu menjadi sebuah buku. Maka, terbitlah buku saya berjudul Hebatnya Hipnosis Anak.

Hypnotic Copywriting dan Automatic Writing

Selain menulis buku, saya juga mengembangkan metode kepenulisan commercial, dengan memadukan skill saya sebagai copywriter, dan skill saya sebagai master hypnotizer. Maka lahirlah metode “Hypnotic Copywriting”, sebuah metode menulis yang menyasar subconscious mind audiens, agar bertindak sesuai dengan pesan tulisan. Bila copywriting sifatnya persuasif (memengaruhi audiens untuk bertindak), maka hypnotic copywriting adalah sugestif (memrogram mental audiens untuk bertindak). Secara teoretik, program terhadap subconscious manusia berpotensi 88% dijalankan oleh tubuh fisik, karena tindakan manusia dikendalikan oleh subconscious-nya. Metode ini sudah saya bukukan. Judulnya The Power of Hypnotic Copywriting (Bravebooks).

Keasyikan saya mengeksplorasi dunia subconscious dan kepenulisan, juga menghasilkan metode Automatic Writing, yaitu kegiatan menulis dengan memanfaatkan potensi subconscious mind. Jadi bedanya, kalau Hypnotic Copywriting menyasar subconscious audiens sebagai target untuk menggerakkan mereka; maka Automatic Writing merupakan metode menulis dengan mengakses subconscious diri sebagai gudang ide, sehingga menulis menjadi sebuah trance yang deras dengan ide tak tertahankan (otomatis).

Saya merasa, pengembaraan menulis ini benar-benar liar dan menjadi hal mengasyikkan. Saya merasa hidup di dalamnya. Lewat paduan skill menulis dan dunia subconscious communications, tulisan tak hanya menjelma sebagai media kreatif, tapi juga media perubahan, media terapi, bahkan media pemberdayaan diri.

Mengembara dengan Tulisan

Di dunia creative commercial, saya menulis untuk berbagai identitas brand, lewat karya-karya kreatif saya. Saat ini saya menekuni diri sebagai brand consultant, yang bertugas menjadi adviser beberapa brand untuk melakukan value creation, merancang branding strategy, termasuk mengaktivasi brand campaign. Di dunia kreatif, saya mengeksplorasi format tulisan seperti poetherapy (terapi lewat puisi), juga bekerja sama dengan beberapa musisi muda untuk mengkreasikan musik alternatif. Di komunitas, saya juga menginisiasi kegiatan kepenulisan melalui The Writers, sebuah komunitas yang didirikan bersama Om Budiman Hakim, Marsekal (Purn) Chappy Hakim, dan Kang Maman Suherman.

Betapa luas dunia kepenulisan. Saya menikmati pengembaraan di dalamnya. Sebuah pengembaraan yang tak ada batasnya. Dunia imajinasi yang membuat saya bisa berubah menjadi apa saja, melewati sekat-sekat keharusan dan kemustian.

Siapapun kita, profesi apapun kita, menulis menjadi semesta yang terbuka. Kita bisa masuk di dalamnya. Kita bisa memetik jutaan manfaat, yang bahkan bisa didapatkan tanpa kita ngeuh, bagai partikel yang kecepatannya melesat sebelum saraf kesadaran kita mengetahuinya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *