25 July 2024
Ke mana pesan komunikasi kita bermuara? (Foto: Freepik)

Ke mana pesan komunikasi kita bermuara? (Foto: Freepik)

Pernahkan saat mendengar seorang pendakwah berceramah, hati ini tenang dan adem rasanya? Lalu pernah pulakah ketika mendengar pendakwah lain dengan gaya berbeda, hati ini mangkel, atau takut, atau malah mendidih karena rasa marah bangkit tiba-tiba? Mengapa bisa ada dua feedback emosi yang berbeda?

Syiar agama, apapun agamanya, memerlukan skill komunikasi yang baik. Dan komunikasi berhubungan dengan mekanisme mental manusia. Apalagi komunikasi dakwah, yang target audiens-nya adalah umat dengan goal jelas: mencari ketenangan diri hakiki.

Pintu-pintu Komunikasi

Saya kerap berdiskusi hangat dengan ponakan saya, lulusan fakultas komunikasi dakwah sebuah perguruan tinggi di Bandung. Isi diskusinya kira-kira seperti ini.

Jalur komunikasi dalam diri manusia ada beberapa pintu. Semua bermuara pada otak sebagai pusat komando diri. Triune Brain Theory membagi otak ke dalam 3 peta, peta Reptilian Brain (otak paling purba), Mamal Brain, dan Human Brain (alias neo-cortex).

Reptilian brain fungsinya untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan survival. Orang menyebutnya ke dalam 5F: Food (soal yang berhubungan dengan hasrat perut); Fear yang membuat manusia punya 2 pilihan yaitu Fight (lawan) or Flight (kabur); lalu F*ck (hasrat terkait naluri bereproduksi).

Jalur komunikasi yang menyasar wilayah ini impact-nya adalah feedback instan (memiliki daya gerak tinggi), tapi hanya berlangsung sesaat. Ya, semacam kejap mata akibat sebutir debu meluncur cepat ke arahnya.

Mamal Brain berurusan dengan semua yang terkait dengan emosi, sumber tersimpannya memori panjang, dan decision maker ketika ia mendapatkan input dari neo-cortex.

Lalu bagian otak paling baru, ya itu, neo-cortex alias human brain tadi. Aspek rasionalitas ada di sini. Filter kritis, pertimbangan-pertimbangan, referensi atas pengalaman, daya analisis dan logika, bermain di sini.

Gambaran ini sekadar simplifikasi untuk memahami secara mudah peta otak kita. Dan setiap bagian otak tentu ada irisannya masing-masing.

Fakta di Luar

Nah, sekarang, mari kita lihat di lapangan, jalan komunikasi dakwah seperti apa yang kerap para ulama kita, para pendeta kita, para biksu dan pemuka agama kita, lakukan?

Apakah syiar yang membangkitkan Reptilian Brain audiens-nya, dengan menyentuh ketakutan, ancaman, survivalitas diri, sehingga reaksi yang muncul adalah semangat Fight or Flight dari umatnya? Bila ini yang diambil, jelas, itu cuma punya tujuan sesaat.

Apakah jalan dakwah yang menyentuh Mamal Brain dengan menghadirkan rasa nyaman, cinta kasih, juga mimpi-mimpi indah yang menenangkan? Ini biasanya impact-nya panjang, dan berterima dengan audiens yang notabene melihat agama sebagai sumber kedamaian.

Ataukah Human Brain yang melihat sesuatu dengan logis, rasional, penuh perhitungan dan sistemik? Ini juga jalan baik, apalagi berkolaborasi dengan pintu Mamal Brain.

Mungkin sebagian dari kita juga ada yang menangkap, jalan dakwah yang dilakukan pemuka agama kita menyentuh ketiganya, sehingga yang terasa adalah motivasi terbentuk sinerginya umat sebagai bagian dari sunatullah, yang di dalamnya terdiri dari keteraturan sistemik dan saling berkaitan. Tipe ini bisa dicapai bermula dari pemahaman akan semesta kecil yang ada dalam otak manusia tadi. Dan menurut saya, komunikasi ini yang berangkat dari pemahaman sempurna.

Pertanyaannya, seberapa pahamkah para pemuka agama akan mekanisme mental umatnya? Jawabannya, coba amati saja jalan dakwahnya.

(Asep Herna, Praktisi Subconscious Communication & Founder The Writers)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *