Ronin dirilis pada 1998, disutradarai John Frankenheimer serta ditulis oleh John David Zeik dan David Mamet. Sedangan 47 Ronin merupakan film laga fantasi 3D Amerika Serikat garapan Carl Rinsch yang dirilis pada 2013. Dua kisah para tokoh yang berlaku tanpa master (tuan)-nya. Bedanya, Ronin menampilkan kisah ronin dengan latar dunia modern. Adapun 47 Ronin terjadi pada masa feodalisme Jepang dan merupakan kisah nyata.
Mereka Para Pengembara
Istilah ronin berasal dari bahasa Jepang, yang bermakna pengembara. Namun penggunaan kata ronin ini sendiri ditujukan kepada para pendekar samurai di zaman feodal Jepang yang tidak memiliki master (tuan). Istilah tersebut menonjol pada 1185-1868.
Tahun 1185 merupakan akhir dari pengaruh kuat kekaisaran Jepang yang ditandai dengan kemenangan klan Minamoto atas klan Taira—2 dari 4 klan besar yang merupakan keturunan-keturunan Kaisar Jepang, tapi tidak memiliki hak ahli waris takhta. Kemenangan klan Minamoto yang dipimpin samurai Minamoto no Yoritomo menjadi titik awal pertumbuhan era feodalisme di Jepang. Yoritomo mengangkat status samurai—satuan militer yang berada di ranking ke-6 dalam 12 peringkat birokrat kekaisaran Jepang—ke tingkat tertinggi dalam pemerintahan militer.
Fungsi samurai pada masa kekaisaran Jepang adalah melayani tuannya—yang merupakan kalangan bangsawan kerajaan. Namun, di bawah kekuasaan Yoritomo, para samurai menjadi backing para penguasa tanah atau daerah (daimyo) yang memang memiliki modal kuat. Meski demikian, para samurai ini tetap tunduk pada shogun—pejabat militer tertinggi yang memerintah atas nama kaisar—yang juga menjadi “tuan” para daimyo. Yoritomo menjadi shogun pertama dari periode Kamakura (1147-1333). Ketika tuan mereka wafat, para samurai harus mengikuti jejak tuannya itu dengan melakukan ritual seppuku (bunuh diri). Mereka yang tidak melakukan hal tersebut disebut ronin—dianggap samurai yang memalukan.
BACA JUGA: Déjavu: Misteri Alam Pikir
Namun ada pula samurai yang menjadi ronin akibat tuan mereka bangkrut atau dimiskinkan oleh pejabat negara. Mereka yang tidak mendapat “gaji” dari tuannya akan mengembara, mencari tuan baru. Para ronin ini menawarkan jasa samurai kepada mereka yang membutuhkan. Pada tahap ini, kedudukan samurai yang ronin ini berada pada level kehormatan yang paling rendah.
Kasus samurai menjadi ronin akibat tuannya dimiskinkan ini tertuang dalam 47 Ronin. Film ini diangkat dari kisah nyata kepahlawanan para samurai dalam membela kehormatan tuannya di era Tokugawa pada 1700-an. Meski harus menjadi ronin, ke-47 samurai ini memberikan image positif bagi para ronin yang sudah dicap memalukan dalam sejarah samurai.
Sementara itu, film Ronin versi Robert de Niro mencerminkan perilaku para “samurai” di masa sekarang. Mereka menjadi “prajurit-prajurit bayaran” yang mengikuti kemauan para bohir (bouwheer, si pemberi tugas)—siapa pun mereka. Ketika tuannya mati, mereka pun menjadi ronin.
Merambah ke Politik Modern
Kini, para ronin zaman modern telah melebar ke berbagai bidang, termasuk dalam ranah politik. Para petualang politik ini telah menjadi “samurai” karena berani mempertontonkan “loyalitas” mereka kepada siapa yang mendanai atau menyokongnya. Namun banyak dari mereka yang sifatnya mirip ronin. Mereka dianggap memalukan karena dinilai tidak beretika dan tidak memiliki kehormatan. Dari seorang “loyalis”, berubah menjadi oportunis. Sampai-sampai, mereka bisa saja suatu saat menusuk dari belakang. Tidak ada loyalitas yang abadi di antara para ronin ini. Hari ini sekapal, besok bisa turun ke sekoci untuk berpindah haluan. Kelakuan para ronin era sekarang ini juga mengingatkan kita akan salah satu adagium dalam dunia politik modern: tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi…
(Martinus, diolah dari berbagai sumber)