Atau, mendapati sebuah peristiwa yang sepertinya pernah Anda alami sebelumnya? Banyak orang yang mengalami sensasi seperti itu dalam hidup mereka. Namanya déjà vu, atau dalam bahasa Indonesia disebut dejavu. Dalam bahasa Yunani, peristiwa serupa disebut promnesia.
Gangguan Memori
Menurut sejumlah ilmuwan, perasaan seperti ini sulit dipelajari karena cenderung muncul secara spontan dan mudah dihilangkan. Namun sebagian berpikir bahwa dejavu sebenarnya memberikan gambaran bagaimana sistem memori bekerja ketika ia mengalami gangguan. Menurut Akira Robert O’Connor, psikolog kognitif di Universitas St. Andrews, Skotlandia, yang meneliti soal dejavu, perasaan tersebut mungkin muncul ketika bagian otak yang mengenali situasi familier diaktifkan secara tidak tepat. Ketika hal itu terjadi, bagian lain di otak kemudian memeriksa perasaan familier ini dengan ingatan Anda akan pengalaman masa lalu. Ketika tidak ditemukan kecocokan yang sebenarnya, akibatnya adalah perasaan tidak menyenangkan karena telah melihat semuanya sebelumnya, disertai dengan pengetahuan bahwa Anda belum pernah melihatnya. Cukup rumit, ya?
Penjelasan O’Connor begini. “Anda mendapatkan hal ini: ‘Hah, aneh, semua pengalaman yang saya alami tidak cukup cocok.’ Jadi, pada tahap itulah Anda menyadari bahwa Anda telah membuat kesalahan. Itulah mengapa hal ini terasa seperti sebuah kesalahan, padahal sebenarnya hal itu mungkin untuk menghindari kesalahan.”
Pada beberapa penderita demensia—kemerosotan semua kegiatan pikiran karena kerusakan atau penyakit pada otak—perasaan akrab ini muncul tanpa ia menyadari adanya kesalahan. Dalam kasus tersebut, mereka menjalani sejumlah kegiatan seolah-olah pernah melihat semuanya sebelumnya, mengeluh bahwa setiap acara di televisi adalah tayangan ulang atau menolak mengunjungi dokter karena mereka yakin sudah pernah melakukannya.
Dari Filsuf Prancis
Déjà vu berasal dari bahasa Prancis yang berarti “sudah terlihat”. Istilah ini ditengarai diperkenalkan oleh filsuf Prancis Émile Boirac dalam sebuah surat kepada editor jurnal Revue Philosophique de la France et de l’Étranger—jurnal psikologi yang didirikan pada 1876, terbit empat kali per tahun—pada 1876. Boirac berspekulasi, mungkin sisa-sisa persepsi yang telah lama terlupakan memicu perasaan. Dia menggambarkan pengalamannya sendiri dan mengklasifikasikannya sebagai salah satu jenis ingatan ilusi. Boirac menyebutnya le sentiment du déjà vu.
Namun istilah yang diperkenalkan Boirac itu seperti terlupakan. Pada 1896, istilah “déjà vu” atau “deja vecu” secara resmi diusulkan oleh F. L. Arnaud dalam pertemuan Societe Medico-Psychologique untuk merujuk pada fenomena tersebut. Dia berkeberatan karena terminologi lain, seperti pengenalan palsu, ingatan palsu, ataupun paramnesia dan kenangan, terlalu luas.
Baca Juga: The Amazing of Jamu
Catatan Pythagoras
Secara historis, belum banyak peneliti yang tertarik mengungkap misteri fenomena dejavu ini, setidaknya hingga awal 1800-an. Lalu, apakah sebelumnya manusia tidak pernah mengalami dejavu? Entahlah. Namun sebuah catatan ditemukan dari pidato pembelaan vegetarianisme yang pernah disampaikan oleh Pythagoras (570-495 SM) dalam buku Metamorphoses karya Ovidius sekitar tahun 8 Masehi. Dalam pidatonya itu, Pythagoras menuliskan bahwa jiwa seorang manusia tidak akan mati selamanya. Ia akan singgah di tempat tinggal yang baru atau di dalam tubuh yang telah menerimanya. Pernyataan Pythagoras itu mengacu pada peristiwa reinkarnasi atau kelahiran kembali. “…Baru-baru ini, di kuil Juno di Argos, Kota Abas, saya mengenali perisai yang pernah saya kenakan di lengan kiri saya.” Begitu salah satu kutipan pernyataan Pythagoras dalam buku tersebut.
Plato juga percaya pada peristiwa perpindahan jiwa ini. Meskipun pernyataan Pythagoras itu disangkal sejumlah pihak—yang menyatakan apa yang dialami Pythagoras adalah kenangan yang tidak benar, seperti yang biasa kita alami dalam tidur, ketika kita membayangkan sedang mengingat sesuatu, seolah-olah kita telah melakukan atau melihatnya—catatan itu merupakan salah satu referensi awal tentang fenomena peristiwa dejavu.
Meneliti Dejavu
Saat ini pun ilmu pengetahuan belum mampu menjawab pasti tentang asal muasal fenomena ini. Namun sejumlah peneliti mulai mengembangkan percobaan-percobaan di laboratorium untuk menjawab fenomena tersebut. Kini sejumlah penelitian mulai menjelaskan “kesamaan halus” antara satu adegan dan adegan lainnya memang dapat menyebabkan déjàvu.
Psikolog kognitif Anne Cleary dari Colorado State University dan rekan-rekannya, misalnya, mengembangkan cara untuk memicu hal tersebut di laboratorium. Mereka menunjukkan kepada peserta sejumlah adegan virtual yang memiliki kemiripan halus satu dengan lainnya, seperti penempatan furnitur pada lukisan di dinding. Dalam sebuah penelitian pada 2009, mereka menemukan bahwa menonton adegan-adegan serupa secara diam-diam lebih mungkin menimbulkan perasaan déjàvu dibanding melihat adegan-adegan yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa mungkin ada pemicu lingkungan yang membuat otak berseru, “Hei, aku mengenalinya!”, bahkan ketika adegan itu belum pernah terlihat sebelumnya.
Banyak Dialami Anak Muda
Dalam kasus déjàvu yang spontan, kata Anne Cleary, sangat mungkin perasaan keakraban itu terjadi secara acak. Kadang-kadang, bagian otak yang bertanggung jawab untuk mendeteksi keakraban—lobus temporal medial, yang terletak tepat di belakang pelipis dan memainkan peran besar dalam menyandikan serta mengambil ingatan—dapat memberikan reaksi secara berlebihan tanpa alasan tertentu. Faktanya, ujar O’Connor, orang-orang muda lebih banyak mengalami déjàvu dibanding orang-orang yang lebih tua. Otak yang lebih muda sedikit lebih bergairah, cenderung lebih cepat bereaksi daripada menahan diri.
Rentang usia yang sering mengalami déjàvu adalah 15-25 tahun dan akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Jika Anda sering bepergian atau kerap mengingat mimpi Anda, kemungkinan besar Anda akan lebih sering mengalami déjàvu dibanding orang lain. Seseorang yang lelah atau stres mungkin juga rentan mengalami perasaan déjàvu.
Jadi, berbahagialah Anda para muda, bisa jadi akan lebih sering mengalami sensasi dejavu dan dapat bermain-main dengan kenangan masa lalu…
(S. Maduprojo, sumber acuan: Scientificamerican.com, Deja-experience-research.org, serta rujukan lainnya)