18 October 2024
Rivalitas: Dari Sejarah, Agama, hingga Status Sosial (3)

Dok. Bleacherreport.com

Rivalitas di antara dua klub sepak bola tidak semata-mata mempertemukan dua klub besar atau sekota—biasa dikenal sebagai derby—yang sama-sama memiliki sejarah bagus dalam liga masing-masing, tapi juga ada faktor lain yang menyulut dan memanaskan suhu laga tersebut.

Pertemuan dua tim yang penuh gengsi dan membara kerap disebut sebagai laga klasik. Hal tersebut justru membuat pertandingan itu lebih panas dari pertandingan sepak bolanya sendiri. Ada beberapa latar belakang di luar sepak bola yang membuat pertarungan lagaini lebih sengit dari sekadar persaingan gengsi. Tidak mengherankan jika beberapa laga derby dan laga klasik justru memakan korban jiwa yang hingga saat ini pemecahannya belum tertangani secara menyeluruh. Kerusuhan tidak hanya terjadi di dalam lapangan, tapi juga menjalar di luar lapangan. Berita terbaru, pada 9 Agustus ini, kerusuhan suporter terjadi menjelang duel AEK Athens vs Dinamo Zagreb dalam kualifikasi Liga Champions 2023/2024. Dalam bentrokan tersebut, satu suporter tewas tertusuk dan delapan lainnya luka-luka.⁠ Berikut ini sejumlah laga derby (sekota) dan pertandingan klasik yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu.

  1. Konflik Sejarah: Barcelona vs Real Madrid

Pertemuan antara Barcelona dan Real Madrid sering disebut sebagai El Clásico. Pertemuan dua klub besar Liga Spanyol (La Liga) ini dimulai pada 1902. Saat itu Barcelona FC mengalahkan Madrid, yang waktu itu dikenal dengan Madrid CF, dengan skor 3-1. Meski kalah dalam sebuah pertandingan persahabatan, Madrid cukup terpukul oleh hasil memalukan tersebut.

Permusuhan antara Barcelona dan Madrid mulai muncul saat itu. Ada dugaan dari Catalan—warga yang tinggal di wilayah otonomi Catalonia dan Barcelona adalah salah satu kota besar di wilayah itu—bahwa ada keberpihakan di antara para wasit yang dimulai pada Kejuaraan Spanyol 1915-1916.

Persaingan dua klub besar Spanyol tersebut makin memanas pasca-Perang Saudara 1936-1939. Perang tersebut merupakan konflik antara kubu Nasionalis dan Republikan, dua kubu yang dianggap mewakili kondisi politik dunia masa itu, non-komunis (nasionalis) dan komunis (republikan). Kubu Republikan mengkudeta pemerintahan yang sah. Pemberontakan tersebut bisa diatasi. Namun Perang Saudara sempat berkobar selama tiga tahun.

Jenderal Francisco Franco dari kubu Nasionalis berhasil memenangi Perang Saudara ini. Ia pun “mencaplok” Catalonia sebagai bagian dari Spanyol. Madrid merepresentasikan rezim diktator Franco. Sedangkan Barcelona didukung Catalan, yang mendukung kubu Republikan pada masa Perang Saudara. Konflik sejarah inilah yang menjadi bumbu “panas” pertarungan antara Barcelona dan Madrid hingga saat ini. Seperti kita tahu, pada 27 Oktober 2017, deklarasi kemerdekaan wilayah ini dilakukan oleh parlemen Catalunya, setelah sebelumnya dilakukan referendum pada 1 Oktober 2017. Namun pemerintah Kerajaan Spanyol beraksi dengan membubarkan parlemen, menangkap para tokoh kemerdekaan, dan mengambil alih kekuasaan pemerintah Catalunya.

Hingga 29 Juli 2023, untuk pertandingan kompetitif, Real Madrid memimpin head-to-head dalam El Clásico dengan 102 kemenangan. Sedangkan Barcelona baru mencatat 100 kemenangan. Sebanyak 52 kali pertemuan berakhir imbang. Namun, dalam pertandingan ekshibisi, Barcelona memimpin derby tersebut dengan 24 kemenangan. Sedangkan Madrid hanya menang  6 kali dan imbang 12 kali.

Salah satu drama El Clasico yang paling membekas adalah pelemparan kepala babi kepada Luis Figo. Figo kadung identik sebagai produk Barca—julukan untuk Barcelona—setelah ia dibeli dari Sporting CP. Bersama Barca, Figo tumbuh menjadi salah satu pemain terbaik dunia. Namun perpisahan Figo dengan timnya berakhir sangat tidak populer: ia menyeberang ke rival abada Tim Catalan, yakni Real Madrid. Madrid merogoh kocek 60 juta euro untuk mendapatkan servis Figo pada 2000. Bisa ditebak, hal itu membuat amarah pendukung Barca meledak. Puncak hari pelampiasan kebencian suporter Barca kepada Figo terjadi dalam laga El Clasico di Camp Nou, kandang Barca, pada 22 November 2002. Hari itu bagaikan teror buat Figo. Sepanjang pertandingan, ia dilempari berbagai barang, dari botol minuman keras, korek api, hingga kepala babi! Belum termasuk kata-kata sumpah serapah dan caci-maki sebagai seorang pengkhianat.

2. Pertentangan Agama: Celtic FC vs Rangers FC

Kedua tim ini merupakan klub-klub sukses dalam sejarah liga Skotlandia. Pertemuan pertama berlangsung pada 1888. Derby dua klub asal kota Glasgow ini disebut The Old Firm Derby.Saat itu, awalnya, pertemuan dua klub besar Skotlandia ini merupakan persaingan antara dua sahabat.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, atmosfer persahabatan ini berubah menjadi kebencian. Perbedaan agama dan politik memicu derby ini lebih mengarah ke hawa permusuhan.

Suporter Rangers membanggakan diri sebagai orang Skotlandia asli atau Ulster Scots. Mereka pun berasal dari penganut agama Protestan. Sedangkan para fan Celtic cenderung berkiblat pada Skotlandia-Irlandia dan memeluk Katolik. Pendukung Rangers merupakan pro-Inggris, sedangkan suporter Celtic kerap mengibarkan bendera tiga warna: hijau, putih, dan oranye (jingga) yang merupakan bendera milik Republik Irlandia.

Di lapangan, pendukung kedua klub kerap melempar chant—nyanyian-nyanyian untuk menyemangati tim kesayanganbernada rasis, intoleran, dan sektarian. Sembari bernyanyi-nyanyi, pendukung Celtic mengibarkan bendera untuk mendukung Republik Irlandia dan Tentara Republik Irlandia (IRA) yang identic sebagai “kelompok teroris.” Mereka juga mengejek pendukung Rangers sebagai Protestan sayap kanan yang masih saja terpikat oleh monarki Ratu Elizabeth. Para suporter Rangers tak mau kalah. Mereka membalas chant fan Rangers dengan cara mengejek identitas Katolik pendukung Celtic. Nyanyian itu berjudul “F*** the Pope”, merujuk pada pemimpin umat Katolik dunia, Paus.

Aksi saling ejek itu kerap kali berujung pula pada tindakan kekerasan. Pada Final Piala FA Skotlandia 1980 di Hampden Park, misalnya, ribuan pendukung kedua klub langsung merangsek ke tengah lapangan sesaat setelah peluit akhir pertandingan dibunyikan. Yang menyesakkan, pada 1995, seorang pemuda Glasgow bernama Mark Scott dibunuh hanya karena berjalan melewati pub yang salah pada malam setelah pertandingan Celtic-Rangers berlangsung. Meski kini tensi derby antar-kedua klub ini “mereda”, pertemuan kedua tim selalu panas.

Celtic dan Rangers telah bertemu sebanyak 436 kali di kompetisi utama. Rangers telah memenangi 169 pertandingan, Celtic mengambil 165 pertandingan, dan 102 pertandingan berakhir imbang.


3. Pertentangan Kelas: Boca Juniors vs River Plate

Dari semua derby di dunia, mungkin tidak ada yang bisa mengalahkan persaingan panas antara dua klub sepak bola asal Kota Bueno Aires, Argentina. Partai derby Club Atlético Boca Junior (atau dikenal dengan Boca Juniors) dengan Club Atlético River Plate (River Plate) ini dinamai The Superclásico, yang menggambarkan betapa “brutal”-nya persaingan klub-klub tersebut.

Kedua klub ini didirikan di daerah pelabuhan miskin Boca di selatan Buenos Aires. Namun River kemudian pindah ke Nunez, yang menjadi daerah yang lebih elite. Kedua tim merupakan tim-tim yang paling sukses di Liga Argentina. River telah meraih 36 gelar liga, sedangkan Boca mengoleksi 33 gelar. Di Copa Libertadores—semacam Liga Champions di Amerika Selatan—Boca lebih berkilau dengan enam gelar Libertadores. Sedangkan River hanya tiga gelar.

ehebatan kedua klub ini menarik banyak pendukung dari kelas berbeda. Fan River Plate berasal dari masyarakat kelas atas. Sedangkan penggemar Boca justru dari kalangan kelas bawah. Perbedaan kelas ini menyebabkan perang antar-suporter, dari saling mengejek hingga baku hantam. Tidak hanya di luar lapangan, tensi di dalam lapangan pun berlangsung sangar. Perkelahian kerap terjadi dalam pertandingan, meski itu hanya sebuah pertandingan persahabatan. Pada 2016, dalam pertandingan persahabatan dalam pra-musim, lima pemain dikeluarkan dari lapangan akibat perkelahian.

Bagi penggemar sepak bola dunia, derby di antara dua klub terbaik di Argentina ini jelas ditunggu. Tapi, bagi masyarakat Argentina, justru mereka menghindari laga antar-kedua tim. Mereka mencapnya sebagai pertemuan yang melelahkan, berbahaya, dan bodoh. Hal itu antara lain benar terjadi dalam laga final Copa Libertadores yang mempertemukan kedua tim pada 24 September 2018. Menjelang pertandingan, sejumlah pendukung River Plate melempari bus rombongan tim Boca. Beberapa pemain terluka akibat pecahan kaca bus. Dua orang dilarikan ke rumah sakit karena tertancap pecahan kaca dan silet. Situasi pun kacau karena para pemain terimbas semprotan gas air mata oleh petugas kepolisian. Laga yang sudah dipadati puluhan ribu penonton itu pun ditunda.

Hingga 7 Mei 2023, kedua tim telah bertemu dalam 259 pertandingan resmi. Boca telah memenangi derby dengan 91 kemenangan. Sedangkan River 85 kemenangan. Sisanya, 83 pertandingan, berakhir imbang.

4. Perbedaan Kelas Suporter: AC Milan vs Inter Milan

Pertemuan Milan versus Inter sering disebut Derby della Madonnina. Keduanya pertama kali bertemu pada 1909, dan sejak itu keduanya selalu memiliki satu target: menjadi yang terbaik di Milan. Namun derby itu sendiri disebabkan oleh perbedaan kelas dari para suporter kedua tim. Inter Milan mewakili kelas bawah, sedangkan AC Milan merepresentasikan kelas pekerja.

auh sebelum itu, hanya ada satu klub di Milan, yatu Milan Cricket and Football Club. Didirikan pada 1899, para pendiri kedua klub ini merupakan para bekas pemain Inggris. Orang Italia menghilangkan kata AC dan mereka hanya menyebutnya Milan. Warna kaus jersey Milan adalah merah untuk menggambarkan api dan hitam untuk rasa takut, yang diharapkan bisa menjadi spirit pantang menyerah pada para pemain.

Sembilan tahun kemudian, beberapa anggota pendiri meninggalkan klub karena perbedaan pendapat mengenai sikap klub terhadap pemain asing. Para anggota tersebut mendirikan Internazionale, mengambil warna Nerazzurri dari bintang-bintang emas dan malam biru-hitam saat klub ini didirikan. Sejarah dua klub ini, ditambah juga perbedaan kelas para suporternya, membuat Derby della Madonnina selalu sengit.

Salah satu pertemuan paling sengit adalah pada perempat final Liga Champions 2004/2005. Saat itu Inter Milan kalah 0-2 pada leg pertama. I Nerazzurri—sebutan untuk Inter—yang butuh gol cepat, justru tertinggal lebih dulu melalui gol pemain AC Milan, Andriy Shevchenko. Pemain Inter, Esteban Cambiasso, menyamakan kedudukan pada babak kedua, tapi gol tersebut dianulir wasit Markus Berg. Akibatnya, para pendukung Inter Milan mengamuk. Mereka melemparkan berbagai benda ke dalam lapangan, seperti botol dan flare. Kiper AC Milan, Dida, menjadi korban lemparan flare. Wasit kemudian menghentikan pertandingan pada menit ke-74. Setelah terhenti selama 30 menit, wasit pun mengakhiri pertandingan. Inter Milan dijatuhi denda 200 ribu euro, atau sekitar Rp 2,82 miliar, dan dinyatakan kalah 0-3.

Dalam 236 pertandingan resmi, Inter memiliki keunggulan secara keseluruhan, dengan 88 kemenangan, berbanding dengan 79 kemenangan milik Milan, dan 69 hasil imbang. Derby kedua tim asal kota Milan ini terdata dari semua kejuaraan liga yang dimainkan, bahkan sebelum kompetisi Seri A dimulai pada 1929.

5. Rivalitas Sekota: Arsenal vs Tottenham

Persaingan keras dua klub asal London ini dimulai sejak 1919. Satu dekade sebelum itu, tepatnya 1909, Arsenal-Tottenham memang sudah bersaing, tapi belum sesengit itu. Keduanya berada di divisi yang berbeda: Tottenham (Spurs) di Divisi Satu, dan Arsenal di Divisi 2. Persaingan tersebut berkembang dan menumbuhkan bibit-bibit permusuhan ketika Arsenal pindah stadion dari Manor Ground di London Selatan ke Highbury, London, pada 1913. Spurs, Clapton Orient (sekarang Leyton Orient FC), dan Chelsea sebenarnya keberatan atas perpindahan tersebut. Tapi mereka tidak punya kuasa untuk menolaknya.

Pada 1914-1919, Liga Inggris dihentikan karena Perang Dunia I. Pasca-Perang Dunia I, pada 1919, Football League (FL)—badan pengelola Liga Inggris—mengatur ulang jumlah tim Divisi I, dari 20 menjadi 22. Arsenal yang sebenarnya tidak masuk kategori promosi tiba-tiba mendapat jatah masuk Divisi I, sedangkan Spurs yang berharap dipertahankan tetap terdegradasi. Dugaan suap kepada FL yang dilakukan petinggi Arsenal merebak, tapi tidak ada yang bisa membuktikannya. Setahun berikutnya, Spurs kembali masuk Divisi I.

Sejak itu, “dendam” Spurs terhadap Arsenal dilampiaskan di lapangan sehingga derby dua klub London ini berlangsung keras dan selalu tersaji banyak kartu. Ini berpengaruh pula pada suporter masing-masing. Pertemuan pendukung dua klub di luar stadion ini sering diselesaikan dengan adu fisik. Dalam laga lanjutan Liga Primer pada Januari lalu, misalnya, kiper Arsenal, Aaron Ramsdale, ditendang seorang suporter Spurs karena kesal Ramsdale rebut dengan pemain Arsenal, Richarlison, dan timnya kalah.

Hingga 15 Januari 2023, keduanya telah bertemu 193 kali sejak Football League pada 1909. Arsenal telah memenangi duel dengan catatan 81 kemenangan, sedangkan Spurs hanya 61. Sisanya (51) berakhir imbang.

6. Rivalitas Sekota: Manchester United (MU) vs Manchester City

Sesungguhnya Manchester Derby antara MU dan City ini baru memanas dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah City diakuisisi oleh Sheikh Mansour pada 2008 dan mulai mengganggu dominasi MU. Pertemuan pertama kedua tim terjadi pada 12 November 1881, ketika itu City masih bernama West Gorton (St. Marks) dan tuan rumah United yang masih bernama Newton Heath. Persaingan kedua klub menjadi intensif sejak 1960-an dan 1970-an. Pada era 2000-an, rivalitas tim sekota ini memanas karena secara pelan-pelan City mampu merusak dominasi United selama bertahun-tahun. Sebagai klub “kaya baru”, City mampu membeli pemain-pemain hebat dan bersaing dalam persaingan tangga juara. Apalagi sejak MU ditinggal Sir Alex Ferguson, pelatih hebat mereka. Deretan pemain bintang, seperti Yaya Toure, Mario Balotelli, Edin Dzeko, Sergio Aguero, Kevin De Bruyne, Ruben Dias, Riyad Mahrez, Raheem Sterling, Rodri, João Cancelo, John Stones, Robinho, Fernandinho, Gabriel Jesus, hingga Erling Haaland didatangkan ke Etihad Stadium.

Di era kepelatihan Sir Alex, tensi derby Manchester dikenal sangat panas. Saking jengkelnya dengan perseteruan ini, Sir Alex menjuluki City sebagai “tetangga yang berisik”. Istilah ini muncul pada 2009. Saat itu, Sir Alex Ferguson berkomentar, “Terkadang, Anda punya tetangga yang berisik. Anda tidak bisa berbuat apa pun soal itu. Mereka selalu berisik. Anda hanya harus terbiasa dengan itu, menyetel televisi dan mengatur suaranya sedikit lebih keras. Hari ini, para pemain menunjukkan performa mereka. Itu adalah jawaban terbaik dari semuanya.” Kalimat tersebut diucapkan Ferguson saat melakukan perang urat saraf dengan pelatih City kala itu, Mark Hughes. Itu terjadi setelah laga sengit yang dimenangi MU dengan skor 4-3 pada awal musim 2009/2010. Sindiran itu ditujukan kepada fan City yang beberapa kali menyindir MU lantaran timnya berhasil merayu Carlos Tevez agar menolak perpanjangan kontrak di Old Trafford untuk bergabung dengan City. Ferguson murka ketika City membuat poster besar gambar Tevez dengan latar belakang biru muda bertulisan “Welcome to Manchester” di sebuah pusat belanja. Dan, memang, ungkapan “tetangga berisik” itu benar terjadi karena City mampu mendongkel dominasi MU sebagai pemilik Manchester alias “Manchester is Blue”.

Laga panas antar-kedua tim yang masih banyak diingat orang adalah kala Roy Keane (kapten MU) melakukan tekel horor dan mematahkan kaki pemain City Alf-Inge Haaland—ayah Erling Haaland—dalam laga derby tahun 2001. Alf-Inge Haaland akhirnya memutuskan pensiun gara-gara tekel keras itu. Peristiwa itulah yang disebut-sebut menggagalkan kedatangan Erling Haaland ke MU, dan memilih City, karena dendam lama tersebut.

Selama pertemuan kedua tim, United memenangi 78 pertandingan, City 59, dan 53 laga berakhir seri. Di Liga Primer, MU masih unggul dengan raihan gelar 20, sedangkan City 9 gelar. Di Liga Champions, MU juga masih unggul dengan 3 kali mengangkat Si Kuping Besar, sedangkan City baru 1 kali.

7. Rivalitas Sekota: Liverpool vs Everton

Everton FC awalnya merupakan satu-satunya klub yang berada di Liverpool. Klub yang didirikan pada 1878 ini bermarkas di Stadion Anfield, yang dimiliki klub dengan ketuanya John Houlding. Beberapa anggota dewan Liverpool berada di partai yang berseberangan pandangan politik dengan partainya Houlding. Friksi dalam sikap politik menyebabkan para direktur Everton meninggalkan Anfield dan bermarkas di Goodison Park pada 1892. Houlding segera menyikapinya dengan mendirikan Liverpool FC pada tahun yang sama. 

Lokasi stadion Everton ini tidak terlalu jauh dari Anfield. Karena itu, pertemuan kedua klub Liga Inggris tersebut dinamakan Merseyside Derby, mengambil nama Merseyside yang merupakan kabupaten dari kota Liverpool itu.

Berbeda dengan derby-derby lain, Derbi Merseyside cenderung disebut-sebut derby persahabatan (friendly derby). Kekerasan atau kerusuhan sangat jarang terjadi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keluarga di kota ini yang bisa menjadi pendukung Everton dan Liverpool. Ibaratnya, Liverpool dan Everton adalah saudara kandung yang terus mencari perhatian kepada kedua orangnya. Tapi pertemuan kedua tim ini tetaplah sengit. Hal itu terbukti dengan torehan kartu merah kedua tim, yakni terbanyak di era Liga Primer. Kubu The Toffees—julukan Everton—mengoleksi 14 kartu merah. Sedangkan 7 kartu merah dihasilkan para pemain The Reds—sebutan Liverpool.

Liverpool, yang berusia lebih muda dari Everton, justru memegang rekor kemenangan lebih bagus. Dari 242 pertemuan di segala kompetisi, Liverpool memenangi 98 pertandingan. Sedangkan Everton 67. Sebanyak 77 pertandingan berakhir imbang.

8. Rivalitas Sekota: Olympiacos vs Panathinaikos

Persaingan dua klub sekota, Athena, ini merepresentasikan status sosial para pendukungnya. Fan Olympiacos berasal dari kota Pelabuhan Piraeus yang umumnya kelas pekerja (buruh, pelaut, dan para imigran Turki), yang secara ekonomi dan sosial pas-pasan. Sebaliknya, Panathinaikos mewakili kelas menengah ke atas dari warga pusat Kota Athena.

Usia Olympiacos lebih muda 17 tahun dari Panathinaikos yang dibentuk pada 1908. Namun Olympiacos merupakan klub tersukses di Yunani dengan 36 gelar juara liga, Piala Yunani 23 kali, Piala Super Yunani 3 kali, dan 1 Piala Balkan. Sedangkan Panathinaikos meraih 19 gelar juara liga dan 16 Piala Yunani.

Keberhasilan Olympiacos menjadi satu-satunya yang bisa “dipamerkan” warga Pelabuhan Piraeus karena—secara status sosial—mereka merasa tidak ada hal lain yang bisa dibanggakan. Warga pelabuhan merasa tidak ada apresiasi dari penduduk kelas atas kota terhadap sejarah masa lalu. Pelabuhan Piraeus yang strategis telah melindungi Athena dari berbagai invasi, dan warga pelabuhan merasa mereka telah berkorban banyak demi eksistensi penduduk Athena.

Tidak mengherankan jika fanatisme klub ini disalurkan dalam dukungan di lapangan. Pertemuan Olympiacos dan Panathinaikos disebut-sebut sebagai Derby of the Eternal Enemies (derby musuh abadi) atau The Mother of all Battles (ibu dari segala pertempuran). Olympiacos dan Panathinaikos telah bertemu 215 kali. Olympiacos memegang rekor kemenangan dengan 87 kali, Panathinaikos 54 kali, dan sisanya (74) berakhir imbang.

Persaingan kedua tim memanas sejak 1930, ketika mereka bertemu dalam laga final kejuaraan nasional di kandang Olympiacos. Ribuan suporter Panathinaikos hadir dengan membawa peti mati berlambang Olympiacos. Dan memang, Panathinaikos akhirnya menang telak 8-2 atas tuan rumah. Suporter Panathinaikos kemudian mengejek suporter tuan rumah, dan bentrokan tak terhindarkan.

Kerusuhan dan adu fisik para pendukungnya—khususnya yang radikal—masih berlangsung hingga saat ini. Rivalitas dua musuh abadi ini bahkan tidak hanya terjadi di klub sepak bola, tapi juga menjalar ke klub basket, voli, dan polo air dari dua nama tersebut.

9. Rivalitas Sekota: Galatasaray SK vs Fenerbahce SK

Galatasaray SK dan Fenerbahce SK sebenarnya berasal dari satu kota: Istanbul. Uniknya, kota terbesar di Turki ini dibelah oleh Selat Bosphorus, yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara, sehingga membuat Istanbul berada di dua benua berbeda: Asia dan Eropa. Istanbul wilayah Eropa (bagian barat) merupakan pusat komersial dan sejarah, sedangkan Istanbul wilayah Asia menjadi daerah permukiman di pinggiran kota, terbanyak ketiga di Turki. Selat Bosphorus ini memisahkan pula dua tim besar Turki: Galatasaray SK (barat) and Fenerbahce SK (timur).

Galatasaray didirikan sekelompok siswa dari Galatasaray High School, yang setara dengan Universitas Yale, pada 1905. Sekolah itu merupakan lembaga pendidikan bagi para bangsawan dari Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah). Fenerbahce dibentuk pada 1907 dari dana negara (Turki) bagian barat dan dianggap sebagai miniatur Turki Asia yang berkembang pesat secara ekonomi.

Awalnya, dua klub ini bersahabat. Presiden kedua klub bahkan sepakat menyatukan tim untuk membentuk klub super Istanbul agar bisa mendominasi liga domestik. Namun, adanya Perang Balkan, empat negara bagian Kekaisaran Ottoman—yaitu Yunani, Serbia, Montenegro, dan Bulgaria—memberontak dan berupaya melepaskan diri dari Turki, membuat proposal kerja sama itu tidak kunjung selesai. Sejak itu, kedua tim ini berupaya untuk eksis sebagai wakil yang “real” dari Istanbul.

The Intercontinental Derby atau the Battle of the Bosphorus ini selalu panas di dalam dan luar lapangan. Kekerasan dan kerusuhan (sebelum, selama, dan sesudah pertandingan) menjadi bumbu yang biasa terjadi pada pertemuan Galatasaray SK dengan Fenerbahce SK. Korban jiwa pun kerap berjatuhan dalam setiap derby intercontinental tersebut.

10. Rivalitas Sekota: Flamengo vs Fluminese

Rio de Janeiro, Brasil, memiliki empat klub besar: Botafogo, Flamengo, Fluminense, dan Vasco de Gama. Derby Flamengo-Fluminense mungkin bukan pertemuan dua klub sekota terbesar di kompetisi Liga Brasil. Namun ini melibatkan Flamengo yang merupakan klub paling populer dan dibenci para fan di Rio. Klub itu pun menjadi cikal-bakal Fluminense.

Latar belakang Flamengo memang menjadi dasar kebencian itu. Klub yang memiliki nama lengkap Fluminense Football Club ini didirikan oleh sekelompok anak muda penggemar sepak bola dari masyarakat kelas atas Rio de Janeiro pada 1902. Pada 1911, sekelompok pemain yang tidak puas, tidak senang dengan elitisme Fluminese, meninggalkan tim untuk membentuk tim sendiri. Mereka bergabung dengan Clube de Regatas do Flamengo, yang awalnya merupakan klub rowing dan kemudian membuka departemen sepak bola.

Sejak itu, pertemuan keduanya yang disebut Fla-Flu Derby ini selalu sengit. Dari 444 kali pertemuan, Flamengo menang 162 kali dan Fluminese 141. Sebanyak 141 laga berakhir imbang. Flamengo pun bergelimang gelar dengan 60 titel, sedangkan Fluminese hanya 40 gelar.

(Y. Martinus, diolah dari berbagai sumber)

Baca Juga: Surga Bola Liga Eropa (1)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *