27 July 2024

Sumber foto: Worldatlas.com

Bagi penggemar olahraga sepak bola, khususnya liga-liga top Eropa, Agustus ini merupakan bulan yang ditunggu-tunggu.

Pada bulan inilah liga-liga papan atas negara Eropa, seperti di Inggris, Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, dan Belanda, secara konsisten mulai bergulir. Premier League atau Liga Primer musim 2023/2024 di Inggris akan dimulai pada 12 Agustus mendatang. Jadwal permulaan La Liga Spanyol tahun ini juga berbarengan dengan Liga Primer, yakni pada 12 Agustus. Selanjutnya, Liga Seri A Italia akan bergulir pada 19 Agustus. Bundesliga musim 2023/2024 di Jerman juga mulai digelar pada 19 Agustus. Lalu, di Prancis, ada Ligue 1 yang dimulai pada 12 Agustus. Adapun Eredivisie musim 2023/2024, kompetisi sepak bola teratas di Belanda, dijadwalkan pada 11 Agustus. Negara Eropa lainnya, seperti Portugal, juga memulai pertandingan pada 12 Agustus.

Wajar saja kalau liga-liga di Eropa ini menyedot perhatian dunia. Di sinilah berkumpul para calon bintang dan mega-bintang si kulit bundar dari seantero jagat, dari usia belia, remaja, hingga sedang produktif alias hebat-hebatnya. Liga profesional di Eropa—terutama lima liga besar Eropa, yakni Inggris, Spanyol, Italia,  Jerman, dan Prancis—adalah panggung impian para bakat-bakat muda dan bertalenta dari seluruh penjuru dunia. Di sinilah selaksa drama dan pelampiasan aksi-aksi luar biasa para legenda sepak bola. Dari era Pele, Alfredo Di Stefano, Johan Cruyff, Diego Maradona, Roberto Baggio, Michel Platini, Zinedine Zidane, Ronaldinho, Ronaldo Luís Nazário de Lima, Samuel Eto’o, Drogba, George Weah, Cantona, Nakata, Shinji Kagawa, Park Ji-sung, David Beckham, Cristiano Ronaldo, Messi, hingga Neymar, Erling Haaland, dan Kylian Mbappé. Itu hanyalah segelintir seniman sepak bola yang saya ingat. Masih ada ribuan pemain fenomenal yang menorehkan sejarah di liga-liga Eropa.

Karena menjadi magnet sepak bola profesional dunia, liga di Eropa bak industri di era modern. Berdasarkan data dari European Leagues (Liga Eropa), terdapat setidaknya 1.113 klub profesional dari 34 negara Eropa yang ada di bawah naungannya. Dari era ke era, perputaran uang di sana pun sungguh menggiurkan, walaupun terasa njomplang karena penghasilan terbesar masih dikuasai klub-klub di lima besar liga Eropa.

Transfer dan Gaji Termahal Sejagat

Dari sisi transfer alias jual-beli pemain, nilainya kini juga ajib banget. Tahun ini, hingga jendela transfer fase pertama dibuka, rekor jual-beli pemain di Liga Primer pecah setelah Declan Rice, mantan kapten klub Liga Inggris West Ham, dibeli sesama klub Inggris Arsenal. Angkanya mencapai 100 juta pound atau sekitar Rp 1,9 triliun plus bonus 5 juta pound (Rp 97,9 miliar). Ajib, kan? Dengan jangka waktu yang masih panjang, rekor transfer pemain termahal tentu masih bisa dipecahkan. Di bawah itu, angka 40, 50, 60, 70, atau 80 juta pound dengan “entengnya” digelontorkan untuk membeli para pemain incaran yang belum tentu juga menjamin klub itu bakal menjadi pemenang kompetisi. Para agen dan pemandu bakat tentu kecipratan cuan dari penjualan pemain-pemain “bintang baru” itu. Dua atau tiga tahun lalu, siapa yang ngeh kepada Declan Rice, misalnya? Rekor transfer pemain termahal sepanjang sejarah memang masih dipegang Neymar, saat dibeli PSG dari Barcelona pada 2017 dengan mahar sebesar 222 juta euro atau sekitar Rp 3,7 triliun! Di bawahnya, ada Kylian Mbappe (AS Monaco ke PSG sebesar 145 juta euro + 35 juta euro pada 2017), Joao Felix (Benfica ke Atletico Madrid sebesar 126 juta euro pada 2019), Enzo Fernandez (Benfica ke Chelsea sebesar 121 juta euro pada 2023), Philippe Coutinho (Liverpool ke Barcelona sebesar 120 juta euro + 40 juta euro pada 2018), Antoine Griezmann (Atletico Madrid ke Barcelona sebesar 120 juta euro pada 2019), Jack Grealish (Aston Villa ke Manchester City sebesar 117 juta euro pada 2021), Romelu Lukaku (Inter Milan ke Chelsea sebesar 115 juta euro pada 2021), Ousmane Dembele (Dortmund ke Barcelona sebesar 105 juta euro + 45 juta euro pada 2017), dan Paul Pogba (Juventus ke Man United sebesar 105 juta euro pada 2016).

Belum lagi gaji-gaji para pemain itu. Sebelum Ronaldo dan Messi masing-masing pindah ke klub Al-Nassr FC di Arab Saudi dan Inter Miami di Amerika Serikat, kedua pemain ini masing-masing dibayar sekitar Rp 500 miliar dan Rp 643 miliar per tahun oleh Manchester United (MU) dan Paris Saint-Germain (PSG)! Setelah keduanya pergi dari Eropa, bayaran tertinggi pemain di Eropa saat ini digenggam Kylian Mbappe yang menerima total bayaran per tahun sekitar Rp 1,9 triliun! Di bawahnya ada Neymar yang digaji sekitar Rp 1,3 triliun per tahun. Keduanya saat ini bermain di PSG, Prancis. Di bawahnya ada Mohamed Salah yang digaji hampir Rp 826 miliar per tahun oleh Liverpool, Inggris. Declan Rice, pemain termahal sejagat saat ini, digaji klub barunya sekitar Rp 255 miliar per tahun. Angka-angka itu belum termasuk pendapatan dari agenda komersial lainnya. Gaji Rp 500 juta-Rp 1 miliar per pekan sudah hal yang “lumrah” buat pemain-pemain lainnya.

Lantas, dari mana klub-klub itu bisa menggaji pemain-pemain tersebut. Eitts…banyak jalurnya. Selain campur tangan kemurahan hati para investor klub yang rata-rata saudagar kaya dunia—dari 20 kontestan Liga Inggris musim ini,  misalnya, 15 klub dimiliki investor mancanegara—jutaan pound, antara lain, didapat klub-klub ini dari penjualan merchandise, hak siar televisi, hadiah kompetisi, ataupun iklan. Pada Januari lalu, Deloitte, firma keuangan internasional, dalam laporan Money League 2023, melansir 10 besar klub Eropa dengan pendapatan tertinggi. Mereka adalah Manchester City (pendapatan musim 2021/2022 sebesar 731 juta euro—sekitar Rp 12,2 triliun), Real Madrid (713,8 juta euro), Liverpool (701,7 juta euro), Manchester United (688,6 juta euro), Paris Saint-Germain (654,2 juta euro), Bayern Muenchen (653,6 juta euro), Barcelona (638,2 juta euro), Chelsea (568,3 juta euro), Tottenham Hotspur (523 juta euro), dan Arsenal (433,5 juta euro). Pendapatan klub-klub itu memang belum termasuk utang yang mereka miliki.

Menterengnya klub-klub itu membuat valuasi—perkiraan nilai suatu produk yang dilakukan oleh penilai professional—mereka juga meningkat. Pada tahun ini, Forbes melaporkan 10 besar daftar klub sepak bola dengan valuasi tertinggi, masing-masing Real Madrid (US$ 6,07 miliar atau setara dengan Rp 90,7 triliun), Manchester United (US$ 6 miliar), Barcelona (US$ 5,51 miliar), Liverpool (US$ 5,29 miliar), Manchester City (US$ 4,99 miliar), Bayern Muenchen (US$ 4,86 miliar), Paris Saint-Germain (US$ 4,21 miliar), dan Chelsea (US$ 3,1 miliar).

Dari Hooliganisme, Lahirlah Liga Profesional


Penataan dan pengelolaan kompetisi secara profesional diyakini menjadi biangnya. Liga Primer Inggris, yang kini menjadi liga termegah dan terhebat di seantero bumi, adalah contohnya. Untuk mendapat julukan itu, tak mudah. Sebelum era Liga Primer, kompetisi di Negeri Ratu Elizabeth ini tergolong parah. Hooliganisme, antara lain, menjadi penyebabnya.

Di Inggris, hooliganisme dalam sepak bola pertama kali tercatat di era 1880-an, saat para suporter fanatik sebuah kesebelasan melakukan intimidasi, selain menyerang wasit, pendukung, dan pemain lawan.
Tidak ada yang tahu pasti dari mana istilah hooligan ini berasal. Ada beberapa teori mengenai asal kata “hooligan”. The Compact Oxford English Dictionary menuliskan kata tersebut berasal dari nama belakang keluarga Irlandia yang kerap membuat onar dalam pertunjukan musik pada 1890-an. Tapi ada teori lain. Penulis Clarence Rook menulis dalam bukunya pada 1899, Hooligan Nights, bahwa kata tersebut berasal dari Patrick Hoolihan (atau Hooligan), seorang tukang pukul dan pelaku kriminal Irlandia yang tinggal di daerah kumuh London. Buku itu berisi kisah seorang penjahat muda yang menceritakan kisahnya dengan kata-katanya sendiri. Dalam buku tersebut, Rook menulis bahwa Patrick Hooligan merampok dan memukuli orang. Hooligan adalah pria tangguh profesional. Dia memiliki geng di sekelilingnya yang beroperasi sebagai penjahat kecil-kecilan. Mereka merampok orang di jalan. Hooligan sendiri sering terlibat perkelahian jalanan dan merusak properti.

Hooligan kerap berkumpul di pub The Lamb and Flag di wilayah Southwark, tenggara London. Kata “hooligan” sendiri diyakini pertama kali muncul dalam laporan pengadilan kepolisian London pada 1894 untuk nama sebuah geng di daerah Lambeth di London—Hooligan Boys. Pada Agustus 1898, seorang anggota geng Hooligan terlibat dalam pembunuhan. Sejak itu, istilah “hooligan” mulai populer di pers London.

Tak lama berselang, Patrick Hooligan dijatuhi hukuman seumur hidup karena membunuh seorang polisi di jalanan. Dia akhirnya meninggal di penjara. Nama Hooligan semakin terkenal sehingga surat kabar Inggris mulai menjuluki pembuat onar sebagai “hooligan” dan tindakan kekerasan sebagai “hooliganisme”.

Surat kabar London The Daily Graphic tercatat menggunakan kata “hooliganisme” untuk pertama kalinya dalam sebuah artikel pada 22 Agustus 1898. Penulis terkenal, seperti Arthur Conan Doyle dan H.G. Wells, juga mengutip kata “hooligan” atau “hooliganisme” dalam karya mereka pada awal abad ke-20. Dalam karya cerpennya, The Adventure of the Six Napoleons (1904), Doyle mengutip kata hooliganisme. Sedangkan Wells menyebut kata hooligan dalam novel semi-otobiografinya, Tono-Bungay, pada 1909.  

Banyak yang meyakini bahwa Tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 menjadi momentum Inggris memerangi aksi hooliganisme. Saat itu tengah berlangsung pertandingan final antara Liverpool (Inggris) dan Juventus (Italia) di Piala Champions. Peristiwa ini bermula dari fan masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Sekitar satu jam sebelum kick off, sekelompok hooligan Liverpool menerobos pembatas dan masuk wilayah tifosi Juventus. Tragis, suporter Juventus terdesak, dan kondisi diperparah oleh robohnya dinding pembatas. Ratusan orang tertimpa dinding yang berjatuhan. Akibat peristiwa ini, sebanyak 39 orang meninggal dan 600 lebih lainnya luka-luka. Setelah penyelidikan, sejumlah hooligan Liverpool dinyatakan bersalah dan menjadi tersangka. Setahun sebelum final Liga Champions 1985, para hooligan Liverpool sudah lebih dulu bentrok dengan tifosi AS Roma dalam ajang yang sama. Empat tahun setelah itu, aksi kerusuhan yang menghilangkan korban nyawa juga melibatkan suporter Liverpool, tepatnya pada 15 April 1989. Peristiwa ini terkenal dengan Tragedi Hillsborough. Hillsborough adalah nama stadion klub Sheffield Wednesday yang menjadi tuan rumah laga semifinal Piala FA antara Liverpool melawan Nottingham Forest. Akibat kerusuhan dan berdesak-desakan, sebanyak 97 pendukung Liverpool meninggal. 

Akibat ulah para begundal Liverpool pada final Liga Champions 1985 itu, sepak bola Inggris pun terkena getahnya. Awal Juni, UEFA secara resmi memutuskan melarang semua klub sepak bola Inggris bertanding di seluruh Eropa untuk “waktu yang belum ditentukan”. Pada 6 Juni, putusan itu berubah menjadi pelarangan bertanding di seluruh dunia, kecuali untuk timnas Inggris. Klub-klub Inggris pun dikucilkan selama lima tahun. Tambahan satu tahun hukuman khusus untuk Liverpool. Sebelumnya, dalam final European Cup 1975—nama Liga Champions dulu—antara Leeds United (Inggris) versus Bayern Muenchen (Jerman), pendukung Leeds juga sudah berulah dengan menyerang suporter, pemain, dan tim ofisial Muenchen. Akibatnya, Leeds dihukum larangan bermain di Eropa selama empat tahun.

Sanksi akibat Tragedi Heysel itu membuat otoritas sepak bola Inggris berbenah dalam mengatasi keamanan para suporter sepak bola dan mencegah kerusuhan akibat ulah para hooligan. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat kompetisi sepak bola Inggris menjadi lebih baik. Di antaranya menyusupkan polisi berbaju sipil di antara para penonton, terutama pendukung ultra-keras. Lalu memisahkan kedua pendukung kesebelasan dengan pagar tinggi dan memberi jarak. Kursi penonton pun dibuat satu bangku untuk satu orang sehingga tidak ada penonton yang berdiri.

Secara perlahan tapi pasti, aksi hooliganisme di Inggris mulai berkurang. Sejak periode 1990-an, pengamanan di stadion diubah menjadi tugas dan tanggung jawab steward yang berfokus mengawasi suporter. Pagar tinggi pembatas pun tidak lagi digunakan, diganti dengan barisan para steward. Kamera CCTV dimanfaatkan untuk membantu pengawasan. Pada 1989, regulasi khusus untuk suporter bernama Football Spectators Act (FSA) diberlakukan, yang mewajibkan seluruh suporter di Inggris memiliki kartu keanggotaan dari klub yang mereka dukung.

Upaya yang dilakukan Inggris ini nyatanya memang membuahkan hasil. Terbukti, di era Liga Primer, yang didirikan pada Februari 1992, sepak bola Inggris pun menggapai kejayaannya. Hingga kini, liga ini menjadi liga olahraga dengan jumlah penonton terbanyak di dunia, disiarkan di 212 wilayah ke 643 juta pemirsa di rumah dan memiliki jumlah penonton potensial sebanyak 4,7 miliar orang. Liga Primer pun berubah menjadi surganya liga Eropa.

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber) 

BACA: Derby, Penyedap Kemewahan Sepak Bola Eropa (2)
BACA: Rivalitas: Dari Sejarah, Agama, hingga Status Sosial (3) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *