18 October 2024
Derby, Penyedap Kemewahan Sepak Bola Eropa (2)

Spanduk yang membuat Sir Alex Ferguson meradang. Sumber foto: Manchestereveningnews.co.uk

“Beberapa orang meyakini sepak bola adalah masalah hidup dan mati. Tapi, saya yakin, sepak bola lebih dari itu.” —Bill Shankly, Manajer Liverpool 1959–1974, salah satu manajer sepak bola tersukses yang dimiliki Britania

Bill Shanky dikenal sebagai bapaknya Liverpool. Selama lebih-kurang 15 tahun menangani klub ini, ia dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang membangkitkan, hingga klub yang berasal dari kasta kedua yang diasuhnya itu merajai Inggris dan Eropa. Dia memimpin Liverpool seperti seorang pemimpin revolusioner. Kutipan pernyataannya di atas, soal hidup-mati dalam sepak bola, misalnya, muncul setelah Liverpool mengalahkan Everton dalam semifinal Piala FA. Menurut Shankly, penyakit sekalipun takkan mencegahnya untuk hadir dan memimpin anak-anak asuhannya. “Bahkan jika saya mati, saya akan menyuruh orang membawa peti mati saya ke lapangan, memberdirikannya, dan membuatkan lubang di permukaannya (agar saya bisa menyaksikan pertandingan itu).”

Everton adalah rival yang selalu dipandang receh oleh Shankly. Shankly berujar, hanya ada dua tim terhebat di Merseyside: tim inti Liverpool dan tim cadangan Liverpool. “Saya selalu mencari tahu di koran bagaimana kabar Everton dalam klasemen sementara liga. Tentu saja diawali dari urutan paling bawah.”

Shankly juga punya cara “menjatuhkan” penampilan duet klub Manchester: City dan United. “Manchester United dan Manchester City ada di dasar klasemen Divisi Satu, dan mereka melakukannya secara bergiliran,” katanya.

Shankly yakin: sukses dalam dunia sepak bola berawal dari alam pikiran. “Kalian harus percaya jika kalian yang terbaik dan baru setelahnya pastikan memang demikian.”

Fondasi kokoh dan mental pemenang yang digaungkan Shankly masih terpampang di Anfield, stadion Liverpool, hingga hari ini. Meski hubungannya dengan Liverpool kurang harmonis di saat-saat terakhir meninggalkan klub itu dan setelah ia pensiun, Liverpool begitu menghormati pahlawannya itu dengan segera mendirikan Gerbang Shankly, gerbang besi setinggi lebih-kurang 4,6 meter di depan tribun Anfield Road bertulisan “You’ll Never Walk Alone”, sebelas bulan setelah kematian Shankly (1981). Salah satu ucapan Shankly, “This is Anfield”, juga terpampang di lorong menuju lapangan.

Gelora seorang Shankly merupakan salah satu gambaran dalam memaknai sebuah derby dalam pertandingan sepak bola. Ada benang merah yang mengaitkan patriotisme pendukung-pendukung fanatik sebuah klub. Orang-orang mungkin akan banyak yang bertanya, buat apa rivalitas itu? Jawabannya tentu cukup sulit dijelaskan.

Ingin menjadi yang terbaik, yang paling hebat, adalah salah satu jawabannya. Tapi, seperti yang dibilang Shankly, yang tentu saja multitafsir, tentu bukan hanya itu. Laga melawan tim lain bisa jadi sengit dan mencekam. Tapi, derby tetaplah derby, lain.

Ada banyak faktor yang mendasari rivalitas beberapa tim; bisa berlatar belakang sejarah, agama, status sosial, dan rivalitas. Faktor-faktor historis itulah yang melatarbelakangi membaranya sebuah pertandingan derby ataupun laga-laga klasik non-sekota, hingga sekarang. Kalimat Shankly soal “This is Anfield” dipercayai sebagai ungkapan pembeda soal rivalitas Liverpool dengan Everton, juga dengan tim-tim besar lainnya, saat itu.   

Awal Mula Derby

Namun, jauh sebelum api perseteruan menjadi yang terbaik ala Bill Shanky, sejarah derby sudah dimulai 1800-an.

Istilah derby diyakini muncul pada 1778, kala Edward Smith-Stanley, Earl of Derby ke-12—gelar dalam kebangsawanan Inggris—mengusulkan penyelenggaraan pacuan kuda elite. Balapan kuda itu akhirnya berlangsung di arena balap Epsom Downs pada 1779, dan pemenangnya adalah kuda betina dari kandang Earl of Derby bernama Bridget. Acara itu akhirnya rutin digelar setiap Mei dan Juni.  

Istilah derby akhirnya populer dan menjadi kalender olahraga yang dihormati di Inggris. Semangat derby merembet ke olahraga lain, seperti rugby dan sepak bola.Pertandingan antara dua tim dari kota yang sama atau kota yang berdekatan mulai disebut sebagai derby, lengkap dengan daya saingnya yang unik dan hiruk-pikuk. Tak lama kemudian, istilah tersebut menjadi identik dengan sepak bola. Dalam bahasa Spanyol, derby diadopsi menjadi derbi. 

Saat ini, kamus Oxford mendefinisikan kata “derby” sebagai “balapan tahunan untuk kuda berusia tiga tahun, didirikan pada 1780 oleh Earl of Derby ke-12 dan dijalankan di Epsom Downs di Inggris pada akhir Mei atau awal Juni. Makna lainnya adalah “pertandingan olahraga antara dua tim rival dari area yang sama”. Karena itu, laga antara Real Madrid versus Barcelona, ​​Porto versus Benfica, atau Milan melawan Juventus kurang pas bila disebut derby. Istilah clasico atau bahkan superclasico, yang diciptakan oleh Argentina untuk merujuk pada derby dari segala derby antara dua tim dari Buenos Aires—River Plate dan Boca Juniors—lebih tepat untuk menyebut perseteruan abadi tim berbeda kota.

Derby sepak bola tertua, antara lain, terjadi di Skotlandia antara Celtic dan Rangers—keduanya berbasis di Glasgow—yang pertama kali diadakan pada 1888. Di Inggris, yang diyakini sebagai tanah kelahiran sepak bola, derby tertua terjadi antara Sheffield FC dan Hallam FC yang pertama kali bentrok pada 26 Desember 1860. Pertandingan itu dimainkan di bawah apa yang disebut “Aturan Sheffield”, yang menjadi dasar permainan modern, memperkenalkan elemen seperti lemparan ke dalam dan tendangan sudut. Didirikan pada 1857, Sheffield FC merupakan tim sepak bola tertua di dunia. Adapun derby pertama di Spanyol dimainkan di Barcelona, ​​​​antara FC Barcelona dan RCD Espanyol, pada 23 Desember 1900 di Camp de l’Hotel Casanovas. Pertandingan ini berakhir imbang tanpa gol.

Setelah era hooliganisme bisa diredam di tanah Eropa, laga derby ataupun klasik yang penuh drama menjadi salah satu penyedap ingar-bingar kompetisi sepak bola di Eropa. Meski tetap saja ulah para pendukung fanatik kadang berlebihan dan tak terkendali, atau pemain terlalu bermain kasar, megahnya sepak bola Eropa bak sayur asam tanpa garam karena laga yang adem ayem.

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)

Baca: Rivalitas: Dari Sejarah, Agama, hingga Status Sosial (3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *