Di sebuah video dari akun Twitter ProudArmyBread, seorang pria berkata ke kamera sambil berjalan di lorong produk-produk minuman beralkohol sebuah supermarket. Raut wajahnya sangat sedih. Ia berkata, “Saya bekerja di sebuah perusahaan berafiliasi. Saya seorang merchandiser (orang yang terlibat dalam bisnis pemasaran suatu produk dari merencanakan penjualan, mengirim produk, hingga mengatur penempatannya di rak-rak display demi memastikan penjualan). Dan, satu-satunya produk yang dipegang oleh perusahaan tempat saya bekerja ini adalah produk-produk dari Anheuser-Busch.” Ia menunjukkan logo Anheuser-Busch (AB) di lengan bajunya.
Ia mengarahkan kameranya ke bir-bir dari Anheuser-Busch. Terlihat jajajaran produk AB masih penuh, seperti tidak pernah disentuh. “Saya tidak pernah melihat aksi boikot seperti ini sebelumnya. Penjualan produk-produk ini sedikit sekali dalam beberapa hari ini. Dan ini sangat menyedihkan.” Ia terus berjalan perlahan. “Bila orang-orang tidak ada yang membeli bir-bir ini, saya tidak akan mendapatkan uang dan tidak bisa memberi makan keluarga saya. Jadi, saya kira ini sangat membuat patah hati. Anheuser-Busch telah melakukannya. Mereka tidak mengerti tentang pelanggannya sendiri. Jadi ini sangat menyedihkan. Terima kasih Anheuser-Busch.” Ia memberi tanda jempol, lalu berucap lagi, “Saya tidak akan dapat memberi makan keluarga saya dalam beberapa waktu dekat ini.” Ia pun berlalu.
Anjloknya Penjualan
Video semacam ini banyak bermunculan di berbagai platform media sosial. Kebanyakan diunggah oleh pelanggan supermarket yang datang lalu membuat video. Isinya dari soal jajaran Bud Light yang tidak laku, tanda turun harga besar-besaran, juga laporan tentang banyaknya supermarket yang memberikannya gratis! Hanya agar kaleng-kaleng biru itu “menghilang” dari toko itu sesegera mungkin. Bahkan ada yang membuat video parodi, seseorang yang tidak jadi mengambil Bud Light di lemari pendingin di supermarket. Tergagap-gagap ia mengembalikan Bud Light yang baru diraihnya, karena malu terlihat oleh temannya.
Pengakuan senada datang dari Catarina Tucker, pemilik Barnastic, sebuah perusahaan mobile bartending di New Jersey. Mobile bartending adalah layanan berupa sebuah bar dadakan yang menyediakan minuman beralkohol pada acara-acara atau perayaan semacam pernikahan dan lainnya. “Permintaan untuk Bud Light benar-benar anjlok,” katanya di Fox News. “Tak ada yang menginginkan Bud Light lagi di acara-acara mereka. Satu dua klien mengatakan bagaimana perasaan mereka akan hal itu. Bud Light sudah tidak diinginkan lagi.” Para pelanggan Tucker, dan para konsumen umumnya, sudah mulai menyadari apakah merek-merek yang mereka dukung sejalan dengan nilai-nilai pribadi dan pandangan politik mereka. “Dari masukan-masukan yang saya dapat dan terasa sekali begitu tidak setujunya klien akan hal ini, perusahaan (AB) tidak mengubah kebijakannya (dengan meminta maaf ke pelanggan). Saya tidak melihat Bud Light akan kembali disukai.”
Baca Juga: Reaksi Direksi dan Opini Akademisi (Tulisan Kedua dari Trilogi Saga Bud Light)
Laman perusahaan Barnastic memberi kebebasan bagi kliennya untuk membuat proposal pesanan sesuai keinginan mereka. Ini memungkinkan perusahaan untuk melihat dan memahami trend kenaikan permintaan atas beberapa produk tertentu. “Terkadang beberapa hal menjadi terlalu berlebihan. Tapi semua yang dilakukan Bud Light secara korporasi sangat mempengaruhi para pelanggan,” ujar Tucker.
Mereka yang Terdampak
Yang juga terdampak dari aksi boikot ini adalah para sopir truk. Perusahaan angkutan truk yang memiliki produk selain Bud Light masih bisa berjalan operasionalnya. Tapi, yang hanya bekerja sama dengan Bud Light, kegiatan mereka benar-benar terhenti. Mereka tidak bisa mengirim karena toko tujuan mereka sudah tidak mau menerima. Selain itu, banyak kejadian di tengah perjalanan yang mematahkan hati mereka. Banyak mobil membunyikan klakson tanda tidak suka. Banyak yang berteriak-teriak mengejek, mengacungkan tanda jari tidak senonoh, sampai ada yang menantang mereka untuk berkelahi.
Kini pelanggan alergi dengan Bud Light. Penjualannya terus menurun dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan sudah memasuki bulan ketiga. Penjualan sampai bulan Juni tahun ini dibanding di bulan yang sama tahun lalu benar-benar anjlok!
Fox Business awal Juni ini menyebutkan penurunan terjadi di seluruh negara bagian dalam dua dijit. Rata-rata 14%. Di California 18%. Di Rocky Mountain sampai 29%. Tren ini juga menular ke produk Anheuser-Busch lainnya seperti Budweiser. Di bursa saham, nilai saham AB InBev juga turun. Perusahaan keuangan terkenal HSBC menurunkan nilai saham AB InBev di pasar saham, seperti dinyatakan oleh seorang analisisnya Carlos Laboy kepada Washington Times.
Go woke (atau juga Get woke), go broke! Frasa ini sudah mondar-mandir di Amerika kurang-lebih 4 tahun terakhir. Artinya, kurang lebih bila kamu ikut-ikutan (paham/ideologi) woke maka kamu akan rugi/ bangkrut! Woke asalnya dari kata wake yang artinya tetap terjaga. Awalnya digunakan di kalangan kulit hitam Amerika untuk tetap menyadari dan mengkritik berbagai ketidakadilan yang menimpa mereka. Lalu menjadi makin populer seiring dengan adanya gerakan Black Live Matter akibat aksi penembakan terhadap Michael Brown di Ferguson, Missouri, tahun 2014. Kemudian makin berkembang ke hal-hal lain seperti isu-isu perubahan iklim, hak-hak LGBTQ, ketidaksamaan gender, ras, dan lain-lain.
Bud Light go woke dengan Dylan Muvaney, Bud Light go broke. Rugi! Dari merek bir nomor satu di Amerika menjadi bir yang sangat dibenci Amerika hanya dalam waktu dua bulan. Distributor, sopir-sopir truk, merchandiser, dan toko-toko sudah banyak yang rugi. Ancaman kehilangan pekerjaan menghantui karyawan pabriknya.
Belajarlah dari Bud Light
Bud Light bangkrut? Lihat saja nanti. Yang jelas ini kasus branding yang sangat besar dalam satu dekade terakhir, dan pastinya akan menjadi topik utama untuk bidang studi pemasaran di universitas mana pun.
Business wise-nya, pertama, kenalilah pelanggan Anda dengan baik. Dari mulai demografi, sosiografi juga psikografinya. Ketahui dengan jelas apa yang mereka suka dan tidak suka, sepanjang tahun, selamanya.
Kedua, hindari memasukkan agenda-agenda tidak penting (seperti politik) ke dalam komunikasi brand. Apalagi bila masalah yang diangkat itu sangat sensitif.
Ketiga, jujur kepada pelanggan, segera tanggap, mendengarkan masukan, peduli, dan meminta maaf kepada pelanggan adalah langkah bijaksana.
(Sasongko Akhe, kontributor Catatankaki.net)