24 November 2024
Jejak Para Kleptokrat (Tulisan 3): “Dari Corrumpere ke Corruption”

Ilustrasi: Freepik.com

Pertengahan Mei lalu, kita dikejutkan oleh berita mega-korupsi yang dilakukan salah satu petinggi negara.

Pejabat tersebut adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate yang ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo tahun 2020-2022. Kasus dugaan korupsi yang menjerat Johnny tersebut diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp 8 triliun. Wow, luar biasa!

Jejak Kata

Korupsi menjadi salah satu kata yang populer di jagat nasional ini. Namun, tahukah Anda, kata “korupsi” ini memiliki usia yang sama tuanya dengan sejarah manusia. Korupsi berasal dari kata latin corruptus. Kata ini adalah bentuk lampau dari corrumpere, yang berarti “merusak, menyuap, menghancurkan”.

Ada beberapa sejarah yang merekam aktivitas korupsi. Dinasti Pertama (3100-2700 SM) dari Mesir kuno mencatat adanya korupsi di lembaga peradilannya. Menurut the Conversation, sejarawan Yunani Herodotus mencatat bahwa keluarga Alcmaeonid menyuap para pendeta wanita Oracle of Delphi. Oracle of Delphi adalah kekuatan agamis yang paling berpengaruh di Yunani kuno. Mereka bisa mengeluarkan perintah sesuai petunjuk ataupun keinginan keluarga Alcmaeonid. Saat itu, pendeta merupakan pemuka agama yang sangat diikuti perintahnya. Setiap ucapannya adalah perkataan para dewa. Namun, karena unsur suap ini, Aristoteles pun mengatakan bahwa dewa pun bisa disuap!

Buku From Ancient Times to Modern World: Corruptus juga menyebutkan bahwa Yunani kuno memaknai kata “korupsi” dengan berbagai interpretasi. Kata tersebut juga merujuk pada hilangnya bentuk fisik, integritas, atau keunggulan moral. Dari zaman kuno hingga sekarang, korupsi telah menjadi hambatan yang tidak dapat diatasi. Adanya konflik kepentingan dan ketidakjujuran memunculkan budaya korupsi tersebut. Jadi, bukan hanya masalah moralitas dan kebajikan.

Korupsi di Masa Yunani dan Romawi Kuno

Korupsi menjamur di peradaban Yunani pada abad kelima. Aturan di Athena menghukum mereka yang menerima pendapatan untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan kolektif. Tuduhannya mirip dengan istilah gratifikasi. Namun, sistem perbudakan, nepotisme, dan sistem politik yang mengharuskan jabatan publik tidak dibayar, rupanya mendorong korupsi saat itu.

Pada zaman Romawi kuno, istilah “korupsi” pertama kali muncul di permukaan. Istilah yang berasal dari bahasa Latin “corrumpere” tersebut berarti—dalam istilah hukum—penyerahan dokumen peradilan dengan imbalan kompensasi. Kemudian berkembang pada tindakan yang tidak baik, sistem yang menyebabkan kemerosotan serta kemunduran akhlak dan perilaku.

Baca Juga: Mereka yang Memilih Jalan Gelap

Dalam kehidupan politik Romawi kuno, korupsi merajalela. Struktur negara Romawi tetap stabil selama berabad-abad hingga akhirnya melemah karena perilaku negatif para pejabat negara. Selain dikenal sebagai tokoh Romawi berpengaruh, Julius Caesar, yang hidup dari tahun 100 hingga 44 SM, juga terkenal kerap menggunakan segala cara. Termasuk menggunakan kekerasan dan uang. Tujuannya untuk mendapatkan konsulat, menyingkirkan anggota Senat yang korup, serta mendirikan Roma yang baru.

Jejak Makna

Merujuk pada perjalanan kata korupsi tersebut, makna korupsi pun mengalami perkembangan. Kata corrumpo (corrumpere) dan corropt (Prancis kuno) yang awalnya artinya memutarbalikkan, merusak, menodai, atau menginfeksi (rohani atau perilaku) ternyata kemudian berkembang menjadi corruptio (Latin), corruption (Inggris dan Prancis), yang bermakna (upaya) menyuap, (tindakan) merusak, keadaan atau kondisi yang rusak, atau pembusukan.

Jika melihat perkembangannya, makna kata korupsi ini memang tidak sekadar merujuk pada penyelewengan atau penyimpangan hal-hal yang sifatnya material. Akan tetapi, juga mengacu pada perilaku, mentalitas, dan keadaan subyek/obyek yang dikenai kata korupsi itu. Ini bisa dipahami bahwa korupsi bukan sebuah “penyakit” yang ringan. Melainkan “penyakit” yang sangat berat sehingga sulit diobati dengan hukuman yang setimpal saja. Para pelaku korupsi ini harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya. Tujuannya untuk memberikan efek jera sekali kesadaran kepada siapa pun bahwa korupsi sangat merugikan korban dan juga merusak pelakunya sendiri. Namun, adakah keberanian untuk menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya?

(YULIUS MARTINUS; DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *