24 November 2024
Jejak Para Kleptokrat (Tulisan 1): “Atas Nama Kekuasaan dan Cuan”

Ilustrasi: Freepik.com

“Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari sebuah mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan menjadi ‘pintu masuk’ bagi tindak korupsi.” Lord Acton, sejarawan dan guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris (1834-1902).

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup. Adagium atau pepatah yang populer ini berasal dari komentar dalam surat yang ditulis John Emerich Edward Dahlberg Acton. Dia adalah penentang sengit kekuasaan negara; apakah negara itu demokratis, sosialis, ataupun otoriter.

Kekuasaan memang tampaknya telah merusak sejumlah politikus. Di awal karir mereka, banyak yang sangat ingin mengubah sistem yang dianggap melenceng atau kehilangan arah. Mereka ingin membantu rakyat jelata dan kurang beruntung serta membasmi korupsi dan hak istimewa yang tidak adil. Namun, ketika mereka benar-benar masuk di lingkaran kekuasaan, ceritanya bisa jadi berbeda. Slogan lama menjadi kenangan dan janji tinggallah janji. Tak terhitung, misalnya, rekan-rekan kita dulu selama menjadi mahasiswa ataupun aktivis adalah figur yang keras, oposan, dan fasih mengkritik pemerintah yang dinilai salah arah. Setelah lulus, atau menjadi anggota partai, mereka masih tetap kritis, berteriak lantang melawan apa yang mereka sebut ketidakadilan. Tapi, setelah mereka menjadi bagian dari pemerintahan, atau menjadi anggota Dewan, misalnya, apa yang kemudian terjadi? Sekali lagi, fenomena itu membuktikan bahwa kekuasaan cenderung mencetak orang-orang yang korup, melakukan kolusi, dan nepotisme.

Mendarah Daging Sejak Ribuan Tahun Lalu

Korupsi ditengarai telah mendarah daging sejak zaman kuno hingga saat ini. Istilah korupsi pun meluas hingga dimaknai sekarang. Dalam bidang linguistik, misalnya, korupsi malah diartikan sebagai “kata yang berasal dari kata sebelumnya, tapi telah berubah dalam beberapa cara”.

Kamus Oxford mendefinisikan “korupsi” sebagai “perilaku tidak jujur ​​atau curang oleh mereka yang berkuasa, biasanya melibatkan penyuapan.” Oxford mendefinisikan makna kedua korupsi, yakni “proses di mana sesuatu, biasanya kata atau ungkapan, diubah dari penggunaan atau makna aslinya menjadi salah satu yang dianggap salah atau direndahkan”.


Baca Juga: “Dari Corrumpere ke Corruption”


Lembaga pengawas korupsi global, Transparency International, punya definisi sendiri soal korupsi. Mereka mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Menurut Transparency, korupsi telah mengikis kepercayaan, melemahkan demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi dan semakin memperburuk ketimpangan, kemiskinan, perpecahan sosial, serta krisis lingkungan. “Mengekspos korupsi dan meminta pertanggungjawaban koruptor hanya dapat terjadi jika kita memahami cara kerja korupsi dan sistem yang memungkinkannya,” demikian salah satu pernyataan lembaga ini di situs webnya. Contoh tindakan korupsi, menurut lembaga ini, adalah penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang oleh orang atau organisasi lain, aktivitas yang berada di luar posisi atau kewenangan seseorang, serta manfaat yang diperoleh untuk keuntungan pribadi karyawan, bukan untuk organisasi mereka.

Adapun International Monetary Fund (IMF) mendefinisikan korupsi publik sebagai “penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi”.

Salah satu kata yang berdekatan dengan kata corruption adalah bribery alias suap.  Penyuapan merupakan bagian khusus dari korupsi dan didefinisikan sebagai penawaran, janji, atau pemberian sesuatu untuk mempengaruhi seorang pejabat. Contohnya pembayaran untuk mendapatkan layanan yang lebih cepat atau lebih baik, misalnya dalam izin barang atau sertifikasi; pembayaran untuk mendapatkan keuntungan dalam proses pengadaan publik; ataupun menawarkan, memberikan atau menerima hadiah, hiburan, dan keramahtamahan atau barang berharga lainnya, seperti donasi, sponsor, dan magang.

Korup Sejak Era Kaisar Nero

Salah satu jejak zadul—zaman dulu—kepemimpinan yang dinilai penuh ketidakadilan dan cenderung korup terjadi pada masa Caius Caesar Augustus Germanicus—lebih dikenal sebagai “Caligula”—kaisar Romawi yang berkuasa pada 18 Maret 37 M-24 Januari 41 M (3 tahun, 10 bulan, 8 hari). Dalam waktu singkat itu, Caligula tidak hanya menghabiskan surplus perbendaharaan besar yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Tiberius Caesar, (sekitar 3.000 juta sestertius—koin perak/kuningan Romawi kuno), tapi juga menghabiskan uang secara berlebihan untuk keinginan dan kesenangannya sendiri. Selain korup secara finansial, Caligula menerapkan kekuasaan yang absolut sehingga dia mengeksekusi banyak orang, sering kali karena alasan yang “receh”. Caligula menganggap dirinya dewa; ingin dihormati dan disembah. Caligula akhirnya dibunuh oleh pengawal pribadinya yang dipimpin oleh Cassius Chaerea.

Selanjutnya ada kisah pemerintahan yang korup pada masa kepemimpinan Kaisar Nero. Nero, yang bernama lengkap Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus, lahir pada 15 Desember 37 M di Antium, sebuah permukiman di dekat Roma. Ibu Nero adalah Agripa, adik perempuan kaisar, Claudius. Agripa diasingkan dari Roma ketika Nero masih kecil. Ayah Nero, Gnaeus, digambarkan sebagai pembunuh dan penipu. Dia didakwa dengan sejumlah kejahatan, tapi lolos dari penganiayaan karena Kaisar Tiberius, yang menuntutnya, meninggal sebelum persidangan berlangsung. Gnaeus meninggal saat Nero berusia 2 tahun. Nero lantas diadopsi Claudius.

Nero pun menjadi ahli waris dan penerus Claudius. Ia naik takhta, dan menjadi kaisar Roma pada 54 M. Dia memerintah sampai 68 M. Meskipun Nero menetapkan sejumlah kebijakan yang menyenangkan kelas bawah di Roma, dia tidak disukai mayoritas penduduk Romawi. Nero dilaporkan dianggap kompulsif, boros, dan korup. Ia juga mengeksekusi banyak orang, termasuk ibunya, dan kemungkinan juga saudara tirinya. Nero dinilai terlalu banyak memfokuskan waktu dan energinya untuk meningkatkan kehidupan budaya kekaisaran daripada bekerja untuk mengembangkan undang-undang, dan sejenisnya. Misalnya, Nero memerintahkan pembangunan banyak teater.

Pada masa pemerintahan Nero, perang Yahudi-Romawi pertama kali berkobar. Di masa pemerintahan Nero juga, terjadi kebakaran dahsyat pada 64 M dan menghancurkan sebagian besar kota. Banyak rakyat mengira Nero-lah yang menyalakan api sendiri untuk membersihkan lahan guna pembangunan lebih lanjut. Nero pun diusir menyusul sejumlah perselisihan dan kurangnya rasa hormat. Dia salah menerima informasi bahwa dia akan dieksekusi. Karena takut, Nero bunuh diri pada 9 Juni 68 M. Nero adalah Kaisar Romawi pertama yang melakukan bunuh diri. Kematian Nero menandai berakhirnya dinasti Julio-Claudian.

Kleptokrasi tak Pernah Mati

Hasrat koruptif sama tuanya dengan sejarah awal peradaban manusia. Bukankah keinginan Adam memakan buah kuldi—yang dilarang Allah—merupakan bagian dari bablasnya nafsu atau mengingkari amanat meskipun ia teperdaya oleh janji-janji manis iblis? Dan korupsi pun tetap menjadi masalah besar hingga menjelang paruh abad ke-21.

Banyak negara memperoleh kemerdekaan, mengalami kekosongan kekuasaan, lantas menelurkan individu dengan niat buruk, dan tidak ada pengawas antikorupsi tingkat nasional yang kuat. Kalaupun ada, lembaga ini dinilai tidak punya taji. Di mana lembaga rasuah berdiri, di situ korupsi tetap terjadi. Indonesia, misalnya, telah mengenal lembaga pengawas rasuah ini sejak republik ini berdiri. Di era pemerintahan Sukarno, tercatat sudah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Keadaan Bahaya dengan produknya bernama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara). Badan ini dipimpin A.H. Nasution dan dibantu dua anggotanya, yakni Prof M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Pada 1963, pemerintah saat itu membentuk Operasi Budhi, yang menyasar perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.

Di era Soeharto, pada 1967, dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai jaksa agung. Lalu, pada 31 Januari 1970, Soeharto mendirikan Komite Empat, yang tugasnya mirip dengan TPK, tapi dengan pimpinan tokoh-tokoh yang dianggap bersih dan berwibawa. Lalu ada Opstib yang dipimpin Laksamana Sudomo. Di era reformasi, Presiden B.J. Habibie membentuk berbagai komisi atau badan baru, seperti KPKPN, KPPU, dan Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 29 Desember 2003, di masa pemerintahan Presiden Megawati, lahirlah “anak kandung” reformasi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun kisah-kisah lembaga yang memelototi kasus-kasus korupsi itu lebih banyak dibumbui oleh ketidakmampuan mereka mengatasi persoalan ini. Malah kehadiran mereka sering di bawah ketiak kekuasaan dalam setiap pergantian rezim.

Seorang pemimpin yang korup adalah siapa pun yang berada dalam posisi berkuasa dalam pemerintahan menggunakan pengaruhnya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara ilegal. Manfaat ini bisa dalam bentuk uang, peningkatan pengaruh, ataupun bantuan politik. Contoh umum adalah penggelapan; yang di dalamnya para pemimpin mengalokasikan dana dari proyek atau skema publik dan menyalurkannya ke kantong mereka sendiri.

Istilah formal untuk pemerintahan yang korup dalam ilmu politik disebut kleptokrasi. Korupsi hadir di sebagian besar pemerintahan di seluruh dunia, terjadi di tingkat yang lebih tinggi di beberapa pemerintahan dan di tingkat yang lebih rendah di negara lain. Namun, ini tidak berarti setiap negara dapat digolongkan sebagai kleptokrasi. Apa yang membedakan kleptokrasi dari pemerintah lain adalah kurangnya akuntabilitas publik dan tuntutan hukum atas tindakan korupsi.

Mereka yang melakukan kegiatan korupsi disebut kleptokrat. Mereka adalah penerima manfaat utama dari tindakan mereka. Namun ciri utama kleptokrasi adalah adanya kroni. Kroni merupakan sekutu dekat dan sahabat para kleptokrat yang sengaja diangkat ke posisi kekuasaan untuk mendukung rezim mereka. Atas dukungan mereka, kroni menuai imbalan, seperti uang, ketenaran, dan kekuasaan.

Korupsi memiliki banyak bentuk. Tapi pada dasarnya korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan secara ilegal yang memanfaatkan kepercayaan publik untuk menguntungkan individu atau minoritas kecil. Korupsi dipandang sebagai penyakit dalam masyarakat yang tidak hanya merusak kepercayaan publik kepada pemerintah, tapi juga melanggengkan kemiskinan dan penyakit sosial lainnya. Pemberantasan korupsi dipandang oleh organisasi seperti PBB sebagai faktor utama dalam menciptakan sistem kekayaan yang lebih setara dan meningkatkan standar hak asasi manusia.

Mungkin jenis korupsi yang paling umum adalah penggelapan, yang berkelindan dengan pencucian uang. Pencucian uang merupakan proses penyembunyian asal dana ilegal untuk menghindari penangkapan. Misalnya, jika seseorang memperoleh uang dalam jumlah besar melalui penggelapan, pendapatan mendadak ini dapat terlihat mencurigakan bagi otoritas yang menangani korupsi. Agar lebih mungkin tidak terdeteksi, orang ini dapat mendirikan bisnis palsu untuk dibayar oleh pelanggan palsu menggunakan dana yang digelapkan. Dengan melakukan ini, pendapatan tersebut terlihat sah.

Korupsi tidak selalu tentang uang; banyak negara dilanda korupsi politik yang berfokus pada kekuasaan dan pengaruh. Pemilihan yang curang, di mana hasilnya sudah ditentukan sebelumnya sebagai akibat dari suap dan penipuan pemilih, serta kronisme adalah contoh bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan untuk menguntungkan sekelompok orang tertentu. Jika tidak dilawan, ini dapat menyebabkan masyarakat yang sangat tidak adil, yang jarang melihat perubahan dan diawasi oleh diktator dengan kekuasaan absolut.

(S. MADUPROJO; DISARIKAN DARI BERBAGAI SUMBER)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *