Bila Anda pencinta sajak-sajak indah Kahlil Gibran, penyair dan pelukis ternama kelahiran Lebanon, 6 Januari 1883, nama May Ziadah tentu tak terlewatkan—banyak versi yang menuliskan lafal namanya: Mai Ziadah, May Ziadah, Mayy Ziyadah, dan Mai Ziyada. Sebagai pribadi yang romantis, boleh dibilang “karir asmara” Gibran tak secemerlang karya-karyanya. Gibran, yang mengembuskan napas terakhirnya di New York pada April 1931 karena penyakit lever, tercatat hanya menjalin kasih dengan 4 wanita, dan yang menggelora hanya kepada dua di antaranya. Yang satu Mary Haskell–wanita Amerika yang ikut berperan besar saat The Prophet (Sang Nabi) terbit serta banyak membantu penulisan buku-buku dan kehidupan Gibran selama di Amerika–dan yang kedua May Ziadah. Kepada kedua pujaannya itu, terutama May Ziadah, cinta Gibran mengalir lembut, mesra, mendalam, sekaligus intelek, sebagaimana tecermin dalam salah satu kumpulan sajaknya, Gibran: Love Letters, yang diterjemahkan dan diedit oleh Suheil Bushrui dan Salma Haffar Al-Kuzbari—terjemahannya dalam bahasa Indonesia antara lain diterbitkan Gramedia: Gibran: Love Letters; Surat-surat Cinta. Kumpulan sajak (surat) ini merupakan salah satu karya sang maestro yang banyak diperbincangkan pengagum-pengagumnya–lihat juga karya-karya lain: Broken Wings (1912) dan A Tear and A Smile (1914). Banyak yang menafsirkan bahwa kumpulan sajak dan lukisan-lukisan yang terdapat dalam Love Letters sebenarnya merupakan “curahan cinta” antara Kahlil Gibran dan May. Semula korespondensi antar-keduanya merupakan hubungan profesional antara pengarang dan kritikus. Belakangan, May dan Gibran tak bisa menyembunyikan rasa saling mengagumi. Sebuah jalinan “kasih tak sampai”, bahkan ironi, karena sampai akhir hayat keduanya tidak pernah bertemu muka.
Korespondensi di antara keduanya dimulai pada 1912, ketika May berkirim surat kepada Gibran mengenai tokoh Selma Karameh yang terdapat dalam Broken Wings. May sangat tersentuh oleh kisah dalam Broken Wings, yang menurut cita rasanya terlalu liberal. Menurut May, nasib yang menimpa Selma merupakan cerminan rasa ketidakadilan atas persamaan hak-hak kaum perempuan. Sejak itulah keduanya saling berkirim argumen melalui surat. Di kemudian hari, saat Gibran menetap di Amerika, May sempat menjadi editor untuk tulisan-tulisan Gibran, menggantikan posisi Mary Haskell. Pada 1921, Gibran berhasil memperoleh foto May.
Tak hanya “curhat” mereka berdua, Love Letters sebenarnya bisa dipahami sebagai ungkapan cinta yang universal, yang mendasari sebagian besar karya-karya Gibran. Dalam peta susastra dunia, nama Gibran memang layak digarisbawahi sebagai salah seorang penyair yang membawa “wahyu” cinta dan kedamaian. Meski dibesarkan sebagai penganut ajaran Kristen Maronite, Kahlil Gibran juga menyatakan keagungan Alquran dan potensinya bagi inspirasi spiritual, sosial, dan sastra. Dunia Barat dan Timur yang dia selami dan jelajahi menumbuhkan kesadaran rekonsiliasi antar-kutub itu, yang diwakili Islam dan Kristen.
Miss May
Lalu, siapa sebenarnya May Ziadah, perempuan yang begitu dipuja Gibran itu? Marie Elias Ziyada–begitu nama lengkap May Ziadah–lahir di Nazareth, Palestina, pada 11 Februari 1886. Sebelum menetap di Kairo pada 1908, ayahnya, Elias Ziyada, pindah ke Palestina dari kampung halamannya di Shatoul, Lebanon, dan menikahi wanita berpendidikan Palestina bernama Nozha Muammer.
Di Kairo, sang ayah memulai usaha dengan mendirikan sebuah surat kabar. Semula May bekerja sebagai tutor bahasa Prancis. Seperti Gibran, May memang fasih berbahasa Inggris, Arab, dan Prancis. Pada tahun 1911, May mulai menulis puisi-puisinya dalam bahasa Prancis, dengan nama samaran Isis Copia. Kemudian, ketika mulai menulis dengan bahasa Arab, ia menggunakan nama samaran yang akhirnya menjadi terkenal: “Miss May”.
Baca Juga: Tersesat dalam Lirik dan Kisah Kelam “Gloomy Sunday”
Selama kuliah di Egyptian University (1911-1914), May belajar tentang filosofi Islam dan bahasa Arab, di bawah bimbingan beberapa syeikh Azharite. Namun, Ahmad Luthfi Al Sayed-lah banyak memberikan ilmu tentang pengetahuan bahasa Arab dan kaligrafi. Saat itu, ia juga belajar membaca Alquran dan retorika bahasa Arab.
Selama masa aktivitas sastranya, salon sastra hari Selasanya merupakan tempat yang sangat terkenal. Selama masa aktifnya menulis dalam kurun waktu 20 tahun (1911-1931), May pun tercatat sebagai sastrawan yang karya-karyanya banyak diminati orang. Tak hanya karya sastra yang dipublikasikan, surat-surat untuk sahabat-sahabatnya juga sama terkenalnya, antara lain kepada Kahlil Gibran. Selain itu, korespondensinya kepada Abbas Mahmoud El-Aqqad juga banyak didiskusikan orang.
Komposisi tulisan yang sangat puitis
Karya-karya May lebih dikenal karena kekuatan puisi dalam tulisan-tulisannya, meski itu berupa novel atau prosa. May boleh dibilang sebagai pelopor syair atau puisi prosa dalam sejarah kesusastraan Mesir. Bukunya, Dhulumat wa Ashi’A (Dan Kegelapan Bersinar), yang diterbitkan Al Hidad pada 1933, mungkin bisa menjadi bukti kepiawaian May dalam membuat sebuah komposisi tulisan yang sangat puitis. Dalam kumpulan tulisannya, ia menyebut karyanya itu sebagai “rangkaian puisi di dalam prosa”. Safynaz Kazeem, jurnalis dan kritikus Mesir terkenal, menyebutkan May begitu tenggelam dan menyatu dalam karya-karyanya.
Ketika Gibran menetap di Amerika, praktis wanita yang banyak membantu dan menemani Gibran adalah Mary Haskell. Namun korespondensi dengan May terus berlangsung. Bahkan, dalam fase sulit kehidupan Gibran menjelang kematiannya—dimulai sekitar tahun 1928, ketika Gibran mulai kecanduan alkohol dan tubuhnya digerogoti lever—Gibran menulis surat kepada May: “I am, May, a small volcano whose opening has been closed…” Sepuluh tahun setelah kematian Gibran, May menyusul sahabat penanya itu pada 19 Oktober 1941, dan dimakamkan di Maronite Cemetery Misr Al-Qadima. Mungkin di alam baka sana, keduanya saling bertemu dan sedang bercengkerama tentang karya-karya dan pengalaman hidup mereka.
(S. Maduprojo, dari berbagai sumber—Tulisan ini pernah dimuat di majalah Muslim Insani)