24 November 2024
Merayakan Kartini di Rumah Damais (Foto: revaldi)

Merayakan Kartini di Rumah Damais (Foto: revaldi)

Oleh Nina Masjhur, Penulis
Biasanya, Hari Kartini, yang datang setahun sekali tiap 21 April, dirayakan orang dengan memakai kebaya dan pakaian tradisional Nusantara lainnya. Ini mulai berlangsung sejak 1963. Sangat fisik sifatnya, tapi tak masalah, asal kita sadar bahwa sebenarnya Hari Kartini maknanya lebih jauh dari itu.

Memaknai Hari Kartini bisa dilihat dari berbagai sudut. Salah satunya bisa saja dengan mengangkat perempuan-perempuan lain. Terutama perempuan Indonesia, yang kehebatannya bagaikan mutiara terpendam dalam lumpur. Mereka yang jasa-jasanya tak hanya bermanfaat untuk kaum perempuan, tapi juga bagi bangsa dan negara umumnya. Bahkan, mungkin saja bagi dunia.

Begitulah yang dilakukan oleh Rumah Damais, dalam memperingati dan merayakan Hari Kartini 2024. Rumah Damais adalah sebuah pojok di Jakarta Selatan, salah satu oasis di Jakarta, yang berusaha mempertahankan dan menjaga kebudayaan Nusantara. Rumah Damais berada di bawah Yayasan Damais, yang didirikan untuk menindaklanjuti karya dan dedikasi dari keluarga Damais. Yayasan Damais dibentuk untuk selalu berusaha mempertahankan dan menjaga kebudayaan Nusantara. Baik yang benda maupun yang tak benda.

Louis-Charles Damais

Inspirasi awal Rumah Damais adalah Louis-Charles Damais, seorang cendekia asal Prancis, yang sangat peduli dengan Indonesia. Salah satu yang pernah ia lakukan yaitu, menerjemahkan surat-surat Kartini ke dalam Bahasa Prancis.

Baru-baru ini, telah terbit sebuah buku berjudul Surat-Menyurat Louis-Charles Damais – Claire Holt 1945–1947. Louis-Charles Damais dan Claire Holt yang orang Amerika berdarah Latvia, sama-sama merupakan pengamat Nusantara dan Indonesia. Ada 35 surat antarmereka yang dipaparkan dalam buku ini. Dimulai dengan surat Damais yang saat itu berada di Indonesia, kepada Holt yang berdiam di Amerika.

Surat pertama dari Damais tersebut ditulis pada September 1945, menyampaikan kabar tentang meninggalnya Willem Frederik Stutterheim, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda dan kekasih Holt. Surat terakhir jatuh pada Desember 1947.

Editor dan penyusun buku ini adalah Jean-Pascal Elbaz. Seperti Damais, Elbaz merupakan seorang cendekia berkebangsaan Prancis. Juga seperti Damais, Elbaz pun memiliki ketertarikan yang luar biasa besar pada Indonesia dan Nusantara. Mereka sama-sama tak ragu dalam memberikan sumbangsihnya untuk budaya dan sejarah Indonesia.

Elbaz kini menetap di Yogyakarta, tempatnya bekerja. Ia merupakan kandidat PhD pada Universitas Sanata Dharma. Topik doktoralnya adalah catatan harian Louis-Charles Damais. Di universitas yang sama itu pula pada 2023 Elbaz memperoleh gelar Master, dengan subyek tentang Louis-Charles Damais juga.

Membedah Surat-surat Damais

Untuk memperingati Hari Kartini 2024 ini, Rumah Damais mengadakan acara pembacaan dan pembahasan buku tersebut, pada 17 April 2024. Sejumlah tokoh hadir menjadi pembicaranya.

Sebagai pembicara pertama adalah Elbaz sendiri, yang khusus datang ke Rumah Damais. Pembicara berikutnya adalah Marieke Bloembergen, seorang sejarawan budaya dan peneliti senior Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) di Belanda yang, untungnya, kebetulan sedang berada di Indonesia.

Pembicara ketiga adalah Grizelda, cucu dari Louis-Charles Damais. Grizelda hadir untuk bercerita tentang Ibu Toen yang akrab dipanggilnya Mbah. Ibu Toen adalah nenek dari Grizelda, dan istri serta perempuan penting di belakang tokoh Louis-Charles Damais. Last but not least adalah Lily Tjahjandari, seorang doktor di bidang filosofi yang tercatat sebagai Kepala Lembaga Kajian Indonesia FIB UI, serta Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIB UI.

Acara ini dipandu oleh moderator Nadia Hastarini, seorang pelaku dan pemerhati budaya Indonesia.

Claire Holt, Perempuan Serupa Kartini

Dalam pembicaraannya, Elbaz memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan bukunya. Misalnya, tentang proses penyusunan buku. Ia juga membahas persahabatan antara Damais dan Holt. Karena acara ini berkaitan dengan Hari Kartini, Elbaz secara khusus menekankan pembicaraannya lebih banyak pada Claire Holt.

Menurut pandangan Elbaz, Claire Holt itu serupa dengan Kartini. Holt juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi kaum perempuan di Indonesia. Karena, sebagai perempuan, ia cukup berani dalam melanggar batas-batas tertentu, yang dulu pada masa hidupnya masih dianggap tabu. Meskipun bukan orang Indonesia, demikian ditekankan oleh Elbaz, Claire Holt memiliki semangat nasionalisme yang patut dicontoh oleh perempuan-perempuan Indonesia.

Kisah-kisah Personal

Marieke Bloembergen, sebagai pembicara kedua, menyoroti buku yang sama namun dengan lebih mempertanyakan hubungan cinta dan perempuan. Selain itu, ia juga menyoroti keprihatinan Damais akan jaringan ilmiah, sentimen anti-kolonial, dan pengetahuan lokal dalam studi tentang Indonesia dan Asia Tenggara.

Grizelda, sebagai pembicara ketiga, memaparkan latar belakang Ibu Toen. Di manakah beliau dilahirkan, pendidikan maju apa yang dialaminya, bagaimana pertemuannya dengan Eyang Kakung Damais, dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah cerita-cerita kecil dari Grizelda. Tentang pengalaman pribadinya bersama Ibu Toen, yang pernah dilaluinya secara langsung saat Mbah-nya ini masih hidup.

Mengapa Rumah Damais merasa perlu menghadirkan kisah-kisah yang sangat personal begitu? Jawabannya adalah, karena sejarah dibentuk antara lain oleh kisah-kisah personal. Sementara, perempuan seperti Ibu Toen seringkali luput dari bingkai besar sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Grizelda, selama ini Ibu Toen terlalu tertutup oleh bayangan suaminya.

Perempuan dan Revolusi Kemerdekaan

Lily Tjahjandari, pembicara terakhir, memberikan pandangan penting tentang peranan perempuan Indonesia di masa revolusi kemerdekaan. Khususnya, pada masa 1947-1949. Dalam pemaparannya itu, Lily menunjukkan berbagai gerakan perempuan yang muncul setelah masa revolusi kemerdekaan. Salah satu gerakan perempuan yang disebutkan oleh Lily adalah, Perwari atau Persatuan Wanita Republik Indonesia. Ini menjadi sangat menarik, karena Perwari merupakan perkumpulan perempuan Indonesia di mana Ibu Toen dulu bergiat.

Bersama dengan teman-temannya di Perwari, Ibu Toen mendirikan sekolah demi memajukan pendidikan anak-anak. Dimulai untuk anak-anak di lingkungan mereka sendiri, lalu kemudian juga bagi anak-anak Indonesia pada umumnya. Nama sekolah tersebut awalnya SR Perwari, didirikan di Jl. Pegangsaan Tengah No. 2, Jakarta Pusat. SR singkatan dari Sekolah Rakyat, yang setara dengan SD (Sekolah Dasar) di masa kemudian.

Sampai sekarang, sekolah tersebut masih ada dan masih terus mendidik anak-anak Indonesia. Kini dikenal dengan nama SD Trisula Perwari 2. Sekolah ini menjadi salah satu dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh Perwari di Jakarta dan di seluruh Indonesia.

Menjaga Kebudayaan Nusantara

Berhimpun di Rumah Damais malam itu ditutup dengan diskusi yang seru bersama para Sahabat Damais yang hadir. Sebagai catatan, acara membahas buku ini adalah acara yang kedua kalinya diadakan di Rumah Damais, namun merupakan acara sejenis pertama yang sepenuhnya mandiri diadakan oleh rumah budaya ini. Pada acara sebelumnya, Rumah Damais hanya menjadi pihak yang menyediakan tempat belaka.

Ke depannya, direncanakan akan ada lebih banyak lagi acara-acara sejenis atau dalam bentuk lainnya yang akan digelar di Rumah Damais. Apapun bentuk acara yang diadakan di sini, semuanya akan berada dalam skema Rumah Damais dalam mempertahankan dan menjaga kebudayaan Nusantara. Sekaligus, untuk merawat dan menjaga pusaka Damais. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *