Saya tak ingat lagi detailnya apakah itu tangan kanan atau kiri. Tak ingat juga tentang detail ceritanya yang lebih spesifik, atau apakah penyebab terjadinya pembunuhan, serta siapa pembunuhnya. Tapi saya ingat bahwa pada akhirnya bisa diketahui siapa pemilik tangan itu. Dan, melalui tangan termutilasi itu bisa pula terceritakan bagaimana perjalanan hidup sang pemilik tangan. Juga dari kelompok atau kelas sosial masyarakat yang bagaimana ia berasal.
Tentang cerita tersebut di atas tiba-tiba saya ingat lagi ketika melihat salah satu foto karya John Navid. Foto tertentu ini judulnya Untitled, merupakan satu dari sejumlah foto karya John yang dipamerkan di Rubanah-Underground Hub, Jakarta; dalam solo photo exhibition bertajuk Menangkap Gelagat. Pameran yang dikurasi oleh Grace Somboh ini sudah berlangsung dari 19 Maret sampai 28 April 2024 lalu.
Dalam pameran foto solo John ini, foto-fotonya, meski berkelompok, “dibiarkan terdisplai bagai berantakan tak teratur. Pembagian penyajian kumpulan juga dibiarkan seperti tak ada aturannya. Terserah saja. Tapi, memang menurut catatan dari Grace yang saya cuplik bulat-bulat, “Proses pemajangan pameran ini penuh dengan tawa kecil dan seruan kejut, ‘Apaan sih?!’”
Jadi, ya begitu deh …, apaan sih.
John sendiri secara kilat sempat menjelaskan sedikit ke saya.
“Yang ini foto-foto orang merokok yang dikemas dalam bentuk buku foto,” katanya menunjuk ke sebuah buku foto yang terletak di ambalan rak tunggal yang menempel di dinding. “Yang di sana,” ia melanjutkan seraya menunjuk ke bagian terjauh ruang pameran, “foto-foto dengan frame jadul”.
Dalam pembagian kumpulan foto yang khas dan seperti tak ada aturannya itu, foto-foto ia masukkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri. Saya tak tahu apa metode pembagiannya. Secara keseluruhan tercatat ada sembilan kelompok. Displai dalam kelompok pun, dalam pandangan saya, ada yang cenderung sesukanya. Di salah satu kelompok, misalnya, ada yang dengan frame jadul beragam model dan materi, tapi ada juga yang dalam layar monitor. Padahal dalam satu kelompok, lho!
Seluruh foto yang dipamerkan di pameran ini judulnya Untitled semua. Nggak usah dibahas deh, ah, kenapa bisa begitu.
Kelompok 1 dari sembilan kelompok itu adalah yang tadi John sebut sebagai kumpulan foto para perokok. Penyajiannya dalam bentuk buku foto, terjilid mendatar. Terhitung ada 13 foto di kelompok ini. Foto kedua, yang dibuat pada 2018 dengan menggunakan kamera Sony A7 dan lensa Canon 50 mm f1.4 LTM, inilah yang membawa ingatan saya ke film seri TV Body of Proof yang saya jabarkan di atas
Foto yang saya maksud ini berfokus pada sesosok laki-laki dengan rokok yang mengepulkan asap di tangannya. Ia tampak berdiri melamun, tak sadar bahwa abu rokoknya sudah begitu panjang. Batang rokok tersebut terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, pada tangan kirinya yang sekaligus menopang dagunya. Lengan kanannya yang tertopang di sebatang pipa paralon tegak, menjadi sandaran bagi lengan kirinya.
Mata lelaki itu terlihat agak membengkak, dan tampak menerawang jauh. Raut mukanya memperlihatkan hidupnya yang keras. Kulit kecokelatannya menunjukkan bahwa ia selalu berada di bawah elemen alam alias di luar ruangan. Entah apa yang dipikirkannya sampai raut wajahnya ruwet begitu. Utang yang belum terbayarkah? Istri yang terus-menerus memprotes karena mutu beras yang mampu mereka beli makin lama makin turunkah? Anak usia balitanya tak henti menangis minta dibelikan mobil-mobilan barukah? Dan, seterusnya.
Baca juga: Rahasia Jendela: Catatan Kecil dari Pemeran Foto John Navid
Dari segala persoalan yang terbaca dari foto si lelaki secara keseluruhan, sesungguhnya yang paling menarik buat saya adalah jari-jari tangan kiri si lelaki itu. Jari-jemari di mana rokok yang menyala terselip. Sementara itu, jemari tangan kanannya yang memegang sebentuk alat kerja, tak terlalu bercerita kepada saya. Meski dapat diduga bahwa ia tak bertangan kidal karena ada sebentuk alat kerja di tangan kanannya.
Empat dari lima jemari kirinya, dari telunjuk sampai kelingking, terlihat jelas bagian belakangnya. Jempolnya tersirat sedikit saja. Bentuknya gempal. Sepertinya ujung jari manisnya pernah cedera karena tampak sedikit membengkok. Adapun buku-buku teratas jari tengah dan jari telunjuknya juga memperlihatkan tanda-tanda ke-aus-an. Ciri-ciri yang khas untuk seseorang yang bekerja dengan tangannya, di bengkel atau pertukangan.
Warna jari-jemari itu kecokelatan, persis seperti wajah sang empunya jari. Sama seperti apa yang terpancar dari wajahnya, jemarinya juga menggarisbawahi pernyataan saya di atas, tentang kerasnya hidup si empunya jari. Seperti tangan pada Body of Proof, andai foto ini hanya memperlihatkan tangannya saja, kita bisa segera menduga dari kelompok masyarakat manakah ia berasal. Dan, kira-kira jenis apa pekerjaan sang pemilik tangan tersebut.
Menarik bagi saya untuk melihat dan mengamati tangan lelaki itu. Tapi, foto itu kalau hanya merupakan foto tangannya, saya yakini takkan sekuat foto keseluruhan. Tangan itu memang bisa mewakili apa yang terlihat dari pakaian dan alat kerja yang dipegangnya. Tapi, raut wajah terutama mata sendunya yang bisa bercerita tentang kegundahan hatinya, ceritanya tak bisa diwakilkan oleh tangannya. Pada akhirnya, foto ini memang lebih kuat tampil seperti apa adanya.
Sebagai catatan penutup, buat yang tidak tahu, John Navid adalah penabuh drum dari kelompok musik White Shoes & the Couples Company. Mengapa dia jadi fotografer? Kabarnya, bermula dari niatnya untuk mengabadikan momen perjalanan band-nya melanglang Nusantara dan dunia. Begitulah. (***)