10 November 2024
Rahasia Jendela, Pameran Foto John Navid (Foto: Nina Masjhur)

Rahasia Jendela, Pameran Foto John Navid (Foto: Nina Masjhur)

Oleh Nina Masjhur, Penulis

Bayangkanlah sebuah rumah yang seluruhnya berdinding tanpa celah. Tak berjendela sama sekali. Tanpa lampu, bagian dalam rumah ini tentu akan terus terasa gelap gulita, meski pada siang hari. Cahaya dari luar tak dapat menembus masuk lantaran dindingnya yang rapat dari sudut ke sudut.

Orang yang berada di dalamnya pun tak akan dapat memantau situasi di luar dengan matanya. Ia takkan dapat mengetahui apa yang terjadi di balik dinding luar rumahnya apabila tak pergi ke luar rumah.

Rumah memang selalu memerlukan jendela. Dengan demikian, sinar matahari dapat bebas masuk ke dalam rumah. Tak hanya untuk memberi penerangan, tapi juga untuk memberi kesegaran dan keceriaan. Melalui jendela pula, penghuni rumah dapat dengan mudah memantau situasi apa yang terjadi di luar rumahnya.

Sebaliknya, melalui jendela pula orang asing di luar rumah tadi dapat dengan mudah mengintip ke dalam. Turut melihat dan menyaksikan segala kegiatan penghuni dan segala isi rumah. Ketika malam tiba, cercahan cahaya lampu atau lentera dari dalam rumah juga bisa terlihat sampai ke luar. Bisa membantu pengelana yang kegelapan dalam malam di jalan, bagaikan mercusuar bagi kapal di laut. Tapi, bisa pula mengundang ancaman bahaya bagi penghuni rumah bila orang yang di luar itu punya niat jahat.

Untuk mencegah terjadinya kejahatan dan demi menjaga privasi, diperlukan sesuatu: sebentuk penutup jendela. Tepatnya, tirai yang dapat dibuka dan ditutup sesuai dengan keperluan dan kebutuhan.

Demikian pikiranku berlarian liar memikirkan hal-hal yang kusebutkan di atas, saat melihat sebentuk foto yang memperlihatkan deretan jendela bertirai pada suatu hunian—entah itu rumah atau apartemen. Foto yang diambil dari luar huniannya tersebut adalah karya John Navid, yang dari 19 Maret sampai 28 April 2024 lalu dipamerkan bersama sekumpulan foto lainnya, dalam sebuah solo photo exhibition bertajuk Menangkap Gelagat, di Rubanah–Underground Hub, Jakarta. Kurator pameran foto ini adalah Grace Somboh.

Catatan teknisnya, foto ini direkam dengan kamera Sony A7 dan lensa Canon 50 mm f1.4 LTM. Bisik-bisik dari seorang fotografer senior nan rendah hati, yang tak mau disebutkan namanya, terkatalah bahwa kecintaan John pada sesuatu yang vintage sepertinya telah mengantarnya pada eksperimen pemakaian kamera dan lensa yang berbeda merek.

Foto John ini dicetak dengan teknik cetak dan pada kertas foto tertentu. Sebagaimana frasa yang saya angkut bulat-bulat dari keterangan yang tercatat di Rubanah, disebut, dengan giclee photo print on ‘Ilford Galerie’ textured cotton paper.

Dalam pameran, foto dipajang dengan bingkai kayu vintage. Menariknya, cetakan foto ini dibelah mendatar sehingga menjadi dua frame memanjang. Masing-masing belahan berukuran 118×58 cm. Judul foto ini adalah Untitled, dibuat pada 2018. Sebagai catatan samping, semua foto di pameran ini ternyata berjudul Untitled.

Ada berbagai sensasi lain yang juga saya rasakan ketika melihat foto jendela bertirai ini. Aku juga merasa seperti tertarik ke dalam suatu masa entah kapan, tapi jelas bukan masa kini. Lebih cenderung ke masa yang telah berlalu. Hasil dialogku dengan foto ini terasa bagaikan menggali memori kenangan masa lalu, mengingatkanku pada rumah Oma (nenek)-ku. Kenangan manis yang penuh dengan nostalgia tentang masa kanak-kanak yang bahagia. Tentang kebahagiaan dari masa lalu.

Secara berlawanan, foto ini juga memberiku rasa suram yang aneh. Rasa yang sama seperti saat aku sedang melihat potongan adegan kelam pada film-film Eropa, yang kerap dituduh berjalan lambat dalam berceritanya. Di sini, foto yang kita bicarakan ini sebaliknya membawa kesedihan, mengalirkan kesuraman. Sedikit membuat bulu kudukku merinding. Ah, paradoks!

Mungkin, ketertarikan John, yang lebih dikenal umum sebagai penabuh drum di kelompok band White Shoes & The Couples Company ini, akan barang-barang lawas membuatnya menghasilkan foto yang bersifat nostalgia seperti ini. Sadar atau tak sadar. Tapi, ini sih dugaanku saja, ya ….

Entah di mana foto ini dibuat, sepertinya bukan di Indonesia. Meski awalnya, kupikir ini adalah foto jajaran jendela di salah satu rumah susun lama di Jakarta, yang dipandang dari luar huniannya. Tapi, sepertinya tidak begitu juga. Kotak-kotak yang menempel di jendela, yang sepertinya adalah mesin air conditioner, menjadi tanda yang kuyakini bahwa foto ini bukan berasal dari Indonesia karena bentuknya yang khas. Ini yang membuatku berpikir bahwa foto jendela itu kemungkinan berasal dari tanah seberang, entah di sudut mana di muka bumi ini.

Tapi, lagi, mungkin saja aku salah. Aku pun tak berniat untuk bertanya kepada John. Supaya keseruanku berdialog dengan foto ini tak tercemar oleh info langsung dari si fotografernya sendiri.

Ternyata, lokasi-lokasi asal di mana subyek-subyek foto berada memang tidak menjadi prioritas untuk diungkapkan dalam pameran. Bahkan, seperti yang ditulis Grace dalam kuratorialnya, sumber lokasi cenderung sengaja disamarkan. Pemirsa silakan membaca tanda, atau main tebak-tebak buah manggis. Atau, bertanya-tanya, “ini di mana ya…” dengan seru.

Maka, tempat di mana foto ini diambil sepertinya hanya John dan Tuhan yang tahu.

Senang hatiku bisa berdiskusi dan ngobrol seru dengan foto itu. Menariknya, begitu aku menatapnya pertama kali, foto ini langsung mengajakku berbicara. Meski sebenarnya lebih memberiku teka-teki, sih…

Dalam pameran, foto ini berada dalam kelompok 8 dari 9 kelompok. Hanya ada dua foto besar pada kelompok ini. Foto jendela adalah foto kedua. Seperti foto jendela, foto pertama juga terbelah memanjang yang dikemas dalam frame terpisah. Foto pertamanya adalah tampak belakang kepala botak seorang lelaki tua yang, ya, dicetaknya terbelah juga dari kanan ke kiri.

Iseng banget si John ini, ya… (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *