Kopi adalah salah satu keajaiban alam yang Tuhan persembahkan untuk manusia. Kopi menempati urutan kedua sebagai produk yang paling banyak dikonsumsi umat manusia setelah air. Lebih-kurang 2 juta orang mengkonsumsi kopi setiap hari; menjadikannya sebagai komoditas terbesar ketiga setelah minyak dan gas. Luar biasa!
Salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia adalah Indonesia. Menurut data FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai pemasok kopi dunia.
Kopi dengan Harga di Luar Nalar
Para kafeinis dunia mengenal tiga jenis kopi Indonesia: Kopi Sumatra, Kopi Sulawesi, dan Kopi Luwak.
Kopi Sumatra adalah varietas unggulan negeri ini, sebagai cikal bakal pembuatan Espresso dan Doppio (Double Espresso), dengan aroma yang kuat, tajam, dan menghilangkan kantuk.
Penggila Starbucks, kedai kopi ternama dunia, pasti sangat mengenal Kopi Sulawesi sebagai bahan baku untuk meracik ragam menu minumannya, seperti Latte Machiato, Vienesse Roast, dan Hazelnut Chereme.
Yang terakhir, Kopi Luwak, kopi termahal di dunia. Kopi ini bahkan mampu mempersetankan rasionalitas manusia sehingga dengan gampang mengeluarkan uang dalam jumlah besar tanpa pikir panjang.
Sebagian orang bertanya-tanya, kenapa orang berani mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk segelas kopi? Demikian pun, tak setiap orang mampu membedakan rasa antara Kopi Luwak dan kopi biasa.
Namun peminum kopi sejati dunia berpikir lain. Kopi Luwak adalah kopi yang sangat-sangat istimewa.
Asal Mula Kopi Nusantara
Menelusuri sejarah Kopi Luwak tak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya kopi dunia ke Indonesia.
Kehadiran kopi di Indonesia bermula sejak abad ke-16. Pada tahun 1696, India mengirim bibit kopi Yaman atau Arabika ke Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Sayangnya, saat itu di Batavia terkena musibah banjir sehingga bibit kopi pertama itu mati.
Kemudian pengiriman kedua berjalan lancar, dan benih kopi mulai tumbuh di Indonesia. Pada tahun 1711, biji-biji kopi itu dikirim ke Eropa. Sepuluh tahun kemudian, ekspor kopi meningkat hingga 60 ton per tahun. Lalu Indonesia pun menjelma daerah perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia.
Pada pertengahan abad ke-17, VOC mengembangkan area tanam kopi Arabika di Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor. Di Sulawesi, kopi pertama kali ditanam pada 1750. Di dataran tinggi di Sumatra Utara, kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888.
Kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual seharga 3 guilder (gulden) per kilogram di Amsterdam. Ini sebanding dengan beberapa ratus dolar tiap kilogram saat ini. Padahal income tahunan Belanda saat itu sekitar 200 sampai 400 guilder. Jadi, bayangkan mahalnya harga kopi.
Kekayaan yang Memiskinkan
Perdagangan kopi sangat menguntungkan VOC sekaligus menyengsarakan petani Hindia Belanda. VOC menerapkan sistem Cultuurstelsel (Cultivation System), dengan petani dipaksa menanam kopi juga jenis rempah-rempah lainnya dan memberangus tanaman penghasil bahan makanan pokok mereka. Cultuursstelsel untuk kopi, salah satunya, diterapkan di daerah Prenger, Jawa Barat. Dan hasil pertaniannya dibeli VOC dengan harga sangat rendah.
Pada tahun 1850, seorang Belanda, Eduard Douwes Dekker, menulis sebuah buku berjudul Max Havelaar and the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company.
Buku ini membongkar pemerasan pegawai-pegawai korup Belanda atas para petani dan mengubah opini publik Belanda tentang Cultivate System dan kolonialisasi secara umum.
Hasilnya, muncul politik balas budi, yang di dalamnya bangsa pribumi diberi hak untuk mendapat pendidikan yang layak.
Pada sekitar abad ke-18, kolonial Belanda mendirikan lahan pertanian kopi yang luas di dataran tinggi Ijen di Jawa Timur. Namun bencana menghantam pada tahun 1876, ketika kopi diserang penyakit karat daun yang menyapu Indonesia, membumihanguskan tanaman sejenis.
Kemudian kopi Robusta diperkenalkan di Jawa Timur pada tahun 1900 sebagai pengganti di dataran yang lebih rendah dan penyakit karat pun dibinasakan.
Baca Juga: Surya Kencana, Road of Never Sleeping
Absurditas Lahirnya Kopi Luwak
Meski Indonesia sangat kaya dengan kopi, ironisnya para petani sama sekali dilarang mengambil, bahkan sekadar mengolahnya untuk diminum sendiri. Mungkin karena butiran kopi saat itu harganya semahal butiran mas.
Pelarangan inilah awal mula dari ditemukannya Kopi Luwak. Pada pertengahan abad ke-19, seorang petani kopi di Jawa Tengah menemukan kotoran luwak. Di antara kotoran itu berserakan kopi yang masih utuh. Dengan diam-diam, si petani mengambil kotoran luwak itu, memisahkan kopi dan membersihkannya. Kopi lalu diolah seperti biasanya. Dan ternyata, rasa serta aroma kopi tersebut begitu luar biasa.
Si petani menceritakan pengalaman tadi ke petani lainnya, dan mereka pun menikmati kopi dari kotoran luwak itu secara diam-diam. Hal ini tak berlangsung lama karena seorang mandor memergokinya.
Rasa dan aroma yang luar biasa, membuat mandor memerintahkan para petani untuk mengumpulkan biji-biji kopi dari kotoran luwak itu. Rasa serta aroma yang luar biasa pula membuat Kopi Luwak itu sampai sekarang menjadi kopi paling istimewa dan paling mahal di dunia.
Seorang Oprah Winfrey pernah mengangkat Kopi Luwak dalam acaranya. Tak hanya itu, Kopi Luwak bahkan menjadi bagian dialog panjang Jack Nicholson dan Morgan Freeman dalam film The Bucket List arahan Rob Reiner.
Tak mengherankan, di Hairloom Coffee tadi, untuk menyeruput secangkir Kopi Luwak saja, setiap orang harus mengeluarkan US$ 49 atau sekitar Rp 600 ribu lebih.
Kopi Luwak memang tak hanya kopi biasa, tapi juga simbol dari eksotisisme dan kekayaan Indonesia yang begitu khusus di mata dunia.
(Asep Herna)