24 November 2024
Settlement, Menyentuh Empati Audiens

Foto: The Guardian

Bagian 3: Saat Merek Ditimpa Krisis
10 Oktober 2004, Eric Dooh menerima telepon dari seorang pegawai ayahnya. Tak ada dalam bayangan Eric bahwa hal itu menjadi awal perubahan besar dalam kehidupannya.

Juga keluarga dan warga di kampungnya. Aliran-aliran air di sekitar rumah mereka mulai menghitam karena terkontaminasi minyak. Di daerah pinggiran kampungnya, Desa Goi, telah terpasang pipa-pipa minyak yang dibangun oleh Royal Dutch Shell sejak 1960-an. Pipa itu terbentang dari pedalaman Nigeria sampai terminal lepas pantai untuk kemudian diekspor ke seluruh dunia. Eric menduga pasti telah terjadi kebocoran pipa.

Desa Dibanjiri Tumpahan Minyak

Ia segera ke kantor Relasi Komunitas Shell. Tidak ada orang di sana. Ia lalu ke polisi. Baru keesokan harinya polisi memeriksa lokasi sepanjang Sungai Oroberekiri dari helikopter. Minyak sudah menyebar di seluruh desa. Di Desa Goi bahkan lebih parah karena hari itu juga minyak yang menyebar terkena api yang dipakai warga untuk memasak. Desa di sepanjang sungai dan hutan-hutan bakau langsung terbakar. Pada 12 Oktober, tim investigasi menemukan kebocorannya. Lalu ditambal. Tapi sudah lebih dari 23 ribu liter minyak yang tumpah dan membakar 40 hektare hutan bakau serta merusak empang-empang ikan sumber kehidupan warga

Pada Juni 2005, di Desa Oruma dilaporkan ada gelembung-gelembung keluar dari tanah. Dalam 11 hari, diperkirakan 63.600 liter minyak tumpah. Lalu, pada Agustus 2007, giliran Desa Ikot Ada Udo yang kebagian tumpahan minyak, sekitar 100.000 liter. Bagi Chimma Williams, seorang pengacara lingkungan hidup dan hak asasi manusia, juga Direktur Eksekutif Friends of the Earth Nigeria, ini bukan sekadar bocor acak satu per satu di beberapa titik, tapi juga hasil dari suatu pola yang lebih besar. Ia ingin agar industri minyak secara umum mendengarkan hal ini. Ia lalu menelusuri komunitas-komunitas yang paling banyak terkena polusi dan mendapati lebih dari 20 desa terbengkalai karena dibanjiri minyak.

Chimma bertemu dengan Eric dan ayahnya, Barizaa Dooh. Juga dengan tiga orang lainnya, petani serta nelayan dari Desa Oruma dan Ikot Ada Udo. Chimma yakin ia bisa membuat tuntutan hukum kepada Shell atas nama empat pihak terpisah. Maka, pada 9 Mei 2008, Friends of the Earth Nigeria dan anak usahanya di Belanda-Milieudefensie, menyewa beberapa pengacara, menuntut Royal Ducth Shell dan Shell Petroleum Development Company (SPDC), anak usaha Shell di Nigeria, ke pengadilan Belanda.

Tuntutan Hukum Berujung Kemenangan

Proses hukum ini melalui perjalanan yang amat panjang. Baru kali ini pengadilan di Eropa harus mengadili perusahaan Eropa atas tuntutan dari orang-orang non-Eropa. Shell membela diri dengan berbagai macam alasan. Dari alasan bahwa pipa-pipa tersebut bukan urusan mereka lagi (karena sudah tidak dipakai), kelakuan/sabotase dari penduduk yang membocorkan pipa, menunda-nunda memberikan dokumen pemeliharaan dan sebagainya. Sebisa mungkin sidang ditunda, bahkan kalau bisa dibatalkan.

Jumat, 29 Januari 2021, Eric Dooh, Chimma Williams, bersama banyak aktivis lingkungan dan jurnalis berkumpul di ruang event Hotel Visa Karena-Port Hartcourt, Nigeria, untuk mendengarkan keputusan sidang secara online di The Hague, Belanda. Empat orang penuntut awal, yaitu tiga orang dari Desa Ikot Ada Udo dan Oruma, juga ayah, tidak hadir karena sudah wafat. Tepat saat hakim akan membacakan keputusannya, internet mati! Layar video kosong. Semua pun terdiam.

Beberapa lama kemudian, telepon berdering, dari Belanda. Warga Nigeria menang. SPDC harus bertanggung jawab atas kelalaiannya. Sedangkan kantor pusat Shell di Belanda tidak melakukan kesalahan apa pun. Keputusannya, untuk Desa Goi, Oruma, dan Ikot Ada Udo, Shell harus membayar 15 juta euro. Keputusan ini berefek domino dengan munculnya tuntutan terhadap Shell dan SPDC dari Desa Ogale dan Bille yang diterima oleh Mahkamah Agung Inggris. Sedangkan yang telah diputuskan Mahkamah Agung Nigeria, sepuluh tahun sebelumnya… hemm… Shell akhirnya menyanggupi membayar 111 juta dolar kepada warga Ejama-Ebubu karena tumpahan minyak yang timbul sejak 1970.  

Salah Masuk Jalur Pacu

Pada 31 Oktober 2000 malam hari, pesawat Singapore Airlines nomor penerbangan SQ006 rute Singapore-Los Angeles menyelesaikan transitnya di bandara Chiang Kai-Shek Taipei untuk meneruskan ke Los Angeles. Pesawat mulai bergerak memasuki landasan pacu 05R. Begitu lepas landas pukul 23:15, pesawat menabrak sesuatu dan langsung terjerembap menghantam landasan, terbelah menjadi tiga bagian. Api menjalari bagian bagasi. Sebagian penumpang bisa menyelamatkan diri, tapi 78 orang dan 4 awak kabin tewas seketika. Beberapa masuk rumah sakit. Sebagian menjalani rawat jalan. Tiga minggu kemudian, seorang meninggal karena luka bakar parah.

Dari investigasi, SQ006 ternyata salah masuk jalur pacu. Seharusnya 05L, bukan 05R. keduanya memang berdampingan sejajar. 05R sedang dalam renovasi. SQ006 saat lepas landas menabrak peralatan konstruksi. Bagaimana bisa salah masuk? Pada akhirnya Singapore Airline (SIA) mengakui ada kelalaian pada pilot karena sebenarnya sudah ada pemberitahuan tentang renovasi. Namun pihak bandara pun lalai, karena kurang menaruh tanda-tanda peringatan di landasan.

Crisis Center

Pada 1 November CEO SIA, Dr. Cheong Choong Kong dan Menteri Komunikasi dan IT Singapura Yeo Cheow Tong tiba di lokasi. Mereka menyatakan duka cita kepada keluarga korban. SIA membentuk tim dan mendirikan crisis center di Bandara Changi dan Taipei. Keluarga dan kerabat korban dari beberapa negara diterbangkan ke lokasi dan didampingi staf pendukung.

SIA memberikan 5.000 dolar Amerika kepada yang selamat dan 25.000  dolar Amerika kepada keluarga yang wafat. SIA juga menambahkan “uang duka” sebesar 400.000 dolar ke tiap keluarga penumpang dan kru korban terlibat. Banyak yang menolak dan menuntut uang kompensasi lebih besar lewat pengadilan. Ada 40 tuntutan masuk di pengadilan Singapura dan 60 di Amerika Serikat. Semuanya diselesaikan di luar pengadilan.

SIA lalu mengadakan ibadah umum ekumenis untuk mengenang korban di Taipei. Keluarga dan kerabat atas nama SIA serta Kementerian Transportasi dan Komunikasi Taiwan diundang. Selain itu, CEO Cheong dan semua staf SIA menghadiri upacara penguburan seluruh korban yang ada di Singapura, selama keluarga mengizinkan. Pada 2008 SIA menghentikan penerbangan Singapura-Taiwan-Los Angeles dan sebaliknya, setelah sebelumnya dua kali mengubah nomor penerbangan SQ006 dan SQ005. Baru pada 2021 jalur itu dibuka lagi dengan nomor SQ36 & SQ35.

Pemberian Ganti Rugi

Shell dan SIA melakukan settlement (memberi ganti rugi, juga berarti melakukan penyelesaian). Shell jelas merugi. Tapi warga Nigeria lebih merugi lagi karena kampung halaman mereka tercemar berat. Bahkan sudah tidak bisa dijadikan tempat tinggal bagi semua makhluk hidup. Karena itu, Shell memang harus bertanggung jawab. Sayangnya, hal itu harus diputuskan dahulu melalui jalur hukum.

SIA sejak awal sudah menunjukkan niat baik untuk mengganti rugi, baik bagi korban dan keluarga penumpang maupun awak pesawat. Dari ucapan duka cita oleh CEO Cheong, SIA membayar semua biaya rumah sakit dan rawat jalan, upacara penghormatan kepada korban, uang kedukaan, sampai penyelesaian dengan pihak korban. Bahkan penyelesaian di luar pengadilan alias secara kekeluargaan. Besarnya uang penyelesaian yang diterima tidak diumumkan. Semua diam. Hanya ada bocoran dari satu sumber bahwa besarnya memuaskan, melebihi perkiraan. Berarti semua senang.

Penyelesaian ala SIA ini dianggap efektif dalam menangani krisis yang terjadi dan meminimalkan jatuhnya reputasi perusahaan. Seorang teman pelaku kehumasan pernah mengatakan bahwa kasus SQ006 SIA ini sangat diapresiasi oleh kalangan kehumasan. Bahkan dijadikan contoh bagaimana melakukan public relationship yang baik saat terjadi krisis.

(Sasongko Akhe)

Baca Bagian 1: Apologi yang Meredam Hati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *